6. Sambutan Tante Mery

1727 Kata
Pagi itu cuaca tidak seperti biasanya. Langit mendung dan udara pagi pun terasa begitu dingin, sampai-sampai Dina mengurungkan niatnya untuk menjemur pakaian di halaman rumah yang tak seberapa besar itu. Semakin siang bukannya langit semakin cerah dengan matahari yang mulai bersinar, rintik-rintik hujan justru mulai turun membuat rencana yang sudah disusun menjadi terkendala. Namun, itu tidak berlaku bagi Adi dan Dina yang sudah merencanakan untuk pergi ke rumah om Irwan siang ini. Om Irwan adalah paman Dina yang tinggal di daerah Tangerang. “Kamu yakin, Din? ngga papa kalau kita minta bantuan sama Om Irwan lagi?” tanya Adi yang sudah berada di atas sepeda motor supranya dengan mengenakan jas hujan. “Ya, mau bagaimana lagi Mas. Memangnya kita mau minta bantuan sama siapa lagi?” sahut Dina yang terlihat sangat kerepotan menggendong Arsila. Dina sendiri harus memastikan jas hujan batman yang dikenakannya dapat melindungi Sila dari rintik-rintik hujan. Mungkin Sila tidak begitu nyaman berada di dalam sana. Kemungkinan ia akan rewel karena gerah dan pengap, apalagi jarak antara rumahnya dengan rumah Om Irwan cukup jauh. “Maafin aku ya, Din,” ucap Adi pelan. Ia merasa begitu bersalah karena belum bisa memberikan solusi atas permasalahan yang tengah mereka hadapi. Ya, hari ini Dina berniat untuk meminjam uang kepada om Irwan. Dialah satu-satunya yang bisa Dina harapan saat ini. Rasa malu dan ia kubur dalam-dalam demi menyambung hidup. Juga rasa tidak enaknya yang ia kesampingkan. Sepertinya tidak mungkin Dina meminjam uang lagi kepada Damar, kakak laki-lakinya karena ia pun hidup pas-pasan bersama dengan istri dan ketiga orang anaknya. Tidak mungkin rasanya Dina kembali membebani kakaknya itu. Uang yang ia pinjam kemarin saja belum bisa ia kembalikan. Selama ini Damar sudah banyak berkorban dan membantunya. Tentu bukan hal yang mudah bagi Damar untuk membiayai hidup Dina dan menyekolahkannya karena kedua orangtua mereka sudah tiada sejak Dina berusia tujuh belas tahun. Ini adalah kesekian kalinya Dina meminta bantuan dan merepotkan Om Irwan. Saat menikah, Om Irwan lah yang mengurus semuanya. Beliau yang menjadi sosok pengganti ayahnya, termasuk menjadi wali nikah. Walaupun hanya acara sederhana di rumah peninggalan Ayahnya, tapi biaya yang dikeluarkan Om Irwan tentu tidak sedikit. Tidak, Dina tidak memintanya, Om Irwanlah yang menginginkannya sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang paman. Belum lagi sebelum Dina menikah, entah sudah berapa banyak bantuan yang diberikan Om Irwan. Saat hendak melahirkan pun, Dina sempat meminjam yang untuk menutup biaya melahirkan, tapi uang itu sudah dikembalikan saat usaha rumah padang mereka mulai berkembang. Sementara Adi, Adi berasal dari keluarga broken home sejak usianya tujuh tahun. Kedua orangtuanya sudah memiliki keluarga masing-masing hingga membuat Adi merasa terabaikan dan akhirnya memilih tinggal bersama budhe Lastri, kakak dari Ibu kandungnya. Hingga kini, Adi pun sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah berkomunikasi dengan kedua orangtuanya. Mereka seolah sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing dan hanya bertemu dengan Adi setiap satu tahun sekali ketika lebaran Idul Fitri. Tidak mungkin ia meminta bantuan kepada kedua orang tuanya walaupun mereka hidup berkecukupan. Mungkin lebih karena sakit hati yang Adi rasakan, yang ia simpan selama ini di dalam hatinya. Dan Adi pun merasa sungkan jika harus meminta bantuan kepada budhe Lastri. Itu karena selama ini ia belum bisa membalas kebaikan budhe Lastri yang telah merawat dan menyekolahkannya sejak kecil. “Iya, Mas. Ngga papa. Aku juga ngga tau gimana, kita kan usaha. Semoga aja Om Irwan bisa bantu,” sahut Dina. Mereka pun akhirnya bernagkat menuju ke rumah Om Irwan dengan menerjang hujan gerimis yang semakin lama semakin lebat. Menunggu huja. Reda sepertinya tidak mungkin karena hampir sejauh mata memendang, langit mendung seluruhnya, dan kemungkinan akan turun hujan hingga malam hari walauoun dengn internsitas rendah. Setelah menempuh sekitar satu jam perjalanan, sampailah mereka di sebuah perumahan Grand Saphira. Perumahan yang cukup asri dengan banyak lahan terbuka hijau ketika mulai memasuki pintu gerbang utama. Saat memasuki pintu gerbang utama pun mereka harus meninggalkan identitas di bagian pos security untuk meminimalisir sesuatu yang tidak diinginkan. Beruntung, cuaca sedikit cerah dan gerimis pun berangsur reda. Selama perjalanan, Arsila juga tampak nyaman dan tertidur sepanjang perjalanan sehingga tidak menganggu konsentrasi Adi yang mengendara. Adi menghentikan sepeda motornya ketika mereka sampai di sebuah rumah dua lantai bergaya minimalis dengan area taman yang cukup besar. Di sudut taman itu terdapat sebuah gasebo dari kayu dengan kolam ikan kecil di bagian bawahnya. Benar-benar terlihat nyaman dan tenang untuk menenangkan diri tanpa harus pergi keluar. Om Irwan adalah seorang pengusaha di bidang garmen dan kini mulai merambah di bidang kuliner. Usahanya terbilang sangat sukses hingga mereka bisa membeli rumah sebesar dan sebagus itu. Om Irwan yang merupakan adik kandung ayah Dina memang bukan orang berada, sama seperti ayahnya yang hanya seorang lulusan SMK dan bekerja di sebuah perusahaan elektronik sebagai teknisi. Itu pun Om Irwan hanya dipekerjakan hanya ketika dibutuhkan saja. Kehidupannya berubah ketika ia bertemu dan menikah dengan Tante Mery, anak seorang pejabat TNI yang bertugas di luar pulau jawa. Hingga akhirnya Om Irwan memulai usaha dengan modal yang diberikan oleh ayah mertuanya itu. Tak tangung-tanggung, modal yang diberikan pun cukup fantastis hingga akhirnya usahanya kini berkembang dengan pesat. Tentu kesuksesan yang diraih om Irwan saat ini berkat kerja keras dan kepiawaiannya dalam menjalankan bisnis dan memutar pendapatannya. Jika tidak, mungkin usahanya pun tidak akan sesukses sekarang. Walaupun begitu, sebenarnya Dina tidak enak hati jika harus meminjam uang kepada om Irwan. Ia tidak ingin dianggap memanfaatkan om-nya itu. Ia hanya bermaksud meminjam sedikit uang, dan akan segera mengembalikannya ketika ia sudah memilikinya “Unda ia yapel,” rengek Sila tiba-tiba yang berada dalam gendongan Dina. Rupanya ia sudah terbangun dan mengeluh lapar. Biasanya jam-jam pagi menuju siang begini memang jadwal Sila biasa makan cemilan, entah itu biskuit atau buah-buahan potong. Tapi kali ini Dina tak membawa camilan apa pun karena memang stok camilan di rumah sudah habis. Sementara ia harus berhemat. Daripada uangnya untuk membeli biskuit atau buah, lebih baik ia belikan beras atau lauk pauk yang bisa mengenyangkan. Lagi pula, Dina pikir kepergiannya ke rumah Om Irwan menjadi hiburan tersendiri untuk Sila. Jika berada di luar rumah, Sila memang tak banyak makan dan bahkan tak mau makan. Ia akan asyik sendiri menikmati suasana baru yang tidak ia temui di rumahnya. “Iya, sayang ... nanti ya. Kita mau ke rumah Opa dulu. Tuh rumahnya, kita udah sampe,” sahut Dina sambil melepas jas hujannya dan diberikan kepada Adi untuk dilipat. Sila berhenti merengek dan menoleh ke bangunan rumah itu. Sepertinya ia tertarik dengan rerumputan hijau yang terhampar di halamannya. Mungkin Sila berpikir bahwa mereka tengah berjalan-jalan di taman yang biasa mereka kunjungi untuk bermain-main. Setelah selesai melipat jas hujan, mereka pun melangkah menuju pintu masuk. Suasana memang terlihat sepi. Tapi Dina yakin Om Irwan dan keluarganya berada di rumah. Mereka memang selalu menghentikan semua aktivitas mereka ketika hari minggu untuk beristirahat, kecuali jika mereka pergi liburan ke luar kota. Adi menekan bel rumah yang tertempel di salah satu tiang penyangga yang ada di teras rumah. Bunyinya terdengar begitu nyaring hingga ia pun mendengarnya. Tak berapa lama Bi Surti yang bekerja di rumah itu pun membukakan pintu. “Siang Bi ...,” sapa Dina setelah pintu dibuka. “Siang, Mbak.” Terlihat mata Bi Surti menerawang seperti sedang berusaha mengingat. “Ini ... ini Mbak Dina yang keponakannya Bapak itu kan?” tanya Bi Surti memastikan setelah ia berhasil mengingatnya. “Iya, betul Bi. Bi Surti apa kabar?” tanya Dina ceria. Ternyata Bi Surti masih mengenalinya. Wajar saja jika Bi Surti mudah lupa karena usianya yang sudah sangat senja. Apalagi Dina sudah jarang berkunjung ke rumah Om Irwan. Dina mentaksir usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tenaganya pun sudah tidak sekuat dulu. Dina tahu, Bi Surti sudah ikut bersama Om Irwan dan Tante Mery sejak keduanya baru saja menikah, jadi ia tahu bagaimana hebatnya Bi Minah yang mengurus segala keperluan semua anggota keluarga di rumah itu. Mulai dari membereskan rumah, memasak, bahkan mengurus kedua putri mereka sejak bayi. Karena itu Om Irwan dan keluarga sudah menganggap Bi Minah seperti bagian dari keluarga. Saat ini Bi Minah hanya bertugas mengatur kebutuhan rumah dan membawahi dua orang assisten rumah tangga dan satu tukang kebun, tanpa dibebankan pekerjaan rumah yang berat. “Alhamdulillah, sehat Mbak. MasyaAllah ... udah lama ngga ke sini, Mbak Bibi sampe pangling lho. Mbak Dina nih tabah cantik.” “Bi Minah nih, bisa aja,” sahut Dina malu-malu. “Lho, ini siapa Mbak?” tanya Bi Minah heran sambil menunjuk ke arah Arsila yang masih ada dalam gendongan Dina. “Ini Arsila, Bi. Anak Dina.” Sila yang merasa diperhatikan, dengan cepat mendekap tubuh Bundanya dengan erat sambil melirik ke arah Bi Minah, seolah merasa terancam dengan tatapan Bi Minah. “Lho, lho ... Kok udah punya anak sih Mbak? Memangnya Mbak Dina sudah menikah?” tanya Bi Minah yang sering kali ceplas ceplos, sesuai dengan suasana hatinya. Dina tertawa melihat ekspresi dan gaya ceplas ceplos Bi Minah. “Ya sudah lah, Bi. Ini suami Dina,” jawab Dina sambil menoleh ke arah Adi yang jelas-jelas sejak tadi berdiri di samping Dina. “Lagian Bi Minah gimana sih, kan waktu itu Bi Minah juga dateng ke acara nikahan Dina. Bi Minah waktu itu dateng sama Om Irwan, Tante Mery, Mira, sama Mei. Om Irwan sendiri yang jadi wali nikah Dina,” terang Dina panjang lebar. “Oh, gitu ya Mbak.” Lagi-lagi Bi Minah berusaha mengingat. “Ooohh ... iya, iya Mbak. Sekarang Bibi inget. Maaf ya Mbak. Maklum Bibi sudah tua. MasyaAllah cantik sekali,” ucap Bi Minah sambil menggenggam tangan mungil Sila. “Iya ngga papa, Bi ...” “Lhah kok malah ngobrol di sini. Ayo, ayo masuk Mba, Mas.” “Om Irwan di rumah kan, Bi?” tanya Dina sambil beranjak masuk dan duduk di sofa ruang tamu, begitu juga dengan Adi yang berjalan di belakang Dina. “Ada kok Mbak. Tadi sih Bapak lagi di taman belakang sama ibu. Sebentar ya Mbak saya panggilkan dulu,” sahut Bi Minah. “Iya. Makasih ya Bi.” “Yuk sini Sila sama Ayah,” ajak Adi sambil meraih tubuh Sila dari pangkuan Dina dan kembali duduk di samping istrinya itu. Samar-samar Dina mendengar suara Tante Merry dari dalam rumah, yang membuat Dina semakin merasa tidak enak hati. Walaupun lirih, Dina masih bisa mendengarnya dengan jelas. Dina menghela napasnya panjang dan berusaha mengabaikan perkataan Tante Mery. Lagi pula ini bukan kali pertama Dina mendengar perkataan itu dari mulut Tante Mery. #Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN