8. Kecurigaan Dina

1827 Kata
Pagi masih gelap. Lampu jalan yang terpasang di ruas jalan depan rumahnya pun masih menyala dengan terang. Suasana pagi itu masih tampak sepi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar keras dan sesekali suara cicak yang tiba-tiba lari berkejaran dengan sesamanya, membuat Dina tersentak kaget. Dina memang bukan seorang pemberani, tapi jika dalam keadaan terdesak, maka seluruh keberaniannya bisa datang begitu saja tanpa diduga-duga. Rumah bersubsidi itu memang tak terlalu besar, hanya terdiri dari dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu, ruang keluatga, dan dapur yang ukurannya tidak besar. Itu pun ruang keluarga menyatu dengan ruang tamu. Sementara ruang makan menyatu dengan area dapur. Tapi yang membuat Dina sering kali bergidik ngeri karena rumah yang mereka tempati berada di ujung, dan itu berbatasan dengan area sungai yang berada dekat komplek perkampungan. Dari cerita yang pernah ia dengar, area sungai itu sempat membuat heboh dengan ditemukannya seorang mayat berjenis kelamin laki-laki yang tidak diketahui identitasnya beberapa tahun lalu. Sampai saat ini, cerita itu masih saja terngiang-ngiang walaupun Dina sudah menempati rumah itu hampir tiga tahun lamanya. Karpet sudah digelar, ujung setrikaan pun sudah dicolokkan, hanya tinggal menunggu suhunya panas. Dari arah dapur, Dina tergopoh-gopoh sambil membawa satu keranjang besar berisi pakaian yang sudah bersih dan siap untuk disetrika. Sementara satu keranjang besar masih menunggu di atas meja dapur untuk diangkut dan dikuras semua isinya. Bukan, itu semua bukan pakaian Dina, Adi, apalagi Sila. Itu semua adalah pakaian orang lain. Demi memenuhi tuntutan hidup, Dina menjadi buruh cuci para tetangganya yang membutuhkan jasanya. Ia memang telah mendapatkan pinjaman dari Om Irwan, tapi hal itu tak serta merta membuat Dina terlena. Ia hanya akan memakai uang yang didapat dari Om Irwan hanya jika ia terdesak. Jadi tidak terlalu berat untuk Dina saat ia hendak mengembalikannya. Sudah dua minggu iniia menjadi buruh cuci. Ya, hanya itu yang bisa ia lakukan karena tidak mungkin ia meninggalkan Sila seorang diri di rumah. Apalagi hafus menyewa orang untuk menjaga Sila. Tentu tidak akan worth it dengan penghasilan yang di dapat. Dina sendiri tidak mungkin meninggalkan Sila. Begitu sayangnya ia pada Sila dan menginginkan yang terbaik untuk tunbuh kembangnya. Adi pun juga tidak akan setuju jika Dina meninggalkannya. Walaupun tak banyak uang yang ia dapat sebagai buruh cuci, paling tidak ia bisa membeli sendiri camilan atau popok untuk Sila. Dina meletakkan keranjang besar itu di samping tumpukan selimut yang digelar di atas karpet, lalu duduk di hadapan tumpukan selimut itu sambil duduk bersila. Dengan rambut yang diikat ke atas menggunakan jedai, Dina mulai mengambil satu per satu pakaian dalam keranjang itu, lalu menyetrika dan melipatnya dengan rapi. Ia lakukan hal yang sama untuk pakaian yang lain hingga semakin lama isinya semakin berkurang. Keringat mulai mengucur deras, apalagi pagi ini cuaca sedikit panas. Sesekali ia menyeka keringat yang keluar dari keningnya menggunakan handuk kecil. Hingga tak terasa pagi sudah menjelang. Suara adzan subuh mulai berkumandang di beberapa mushola yang ada di sekitar rumah tinggalnya, baik di komplek perumahan maupun komplek perkampungan. Tentu hal itu membuat Dina sedikit tenang. Sebentar lagi, suaminya juga pasti akan terbangun untuk menjalankan sholat dua rakaat. Soal kewajiban sebagai umat muslim, Adi memang tidak pernah sekali pun meninggalkannya. Didikan Budhe Lastri memang begitu keras soal agama, karena suaminya adalah seorang guru agama islam di salah satu pondok pesantren modern di daerah Bekasi. Benar seperti dugaannya, dari dalam kamar tidur terdengar suara sebuah benda yang diletakkan di atas meja kayu kecil di sudut kamar. Itu pasti suara Mas Adi yang meletakkan telepon genggamnya. Setiap pagi setelah membuka matanya, Mas adi pasti selalu mengecek teleponnya untuk memeriksa apakah ada panggilan atau pesan masuk. Sesekali ia pun melihat media sosial miliknya sebagai hiburan sebelum ia beranjak dari tempat tidur. “Tumben Din, pagi banget bangunnya?” tanya Adi sambil mengucek matanya. Tak biasanya subuh-subuh begini Adi melihat Dina sudah mengoleksi beberapa tumpukan baju yang sudah rapi, sejak dari jam berapa ia memulainya. “Eh, Mas. Iya, soalnya nanti Bu Bayu yang rumahnya di Blok depan minta diambil cucian kotornya, jadi yang ini aku buru-buru selesein biar ngga numpuk. Alhamdulillah Mas, satu minggu ini rame,” kata Dina sambil tersenyum. “Bu Bayu? Bu bayu yang ambil tiga kampling itu?” tanya Adi memastikan karena ia pun tak terlalu hapal tetangga di blok depan. “Iya, bener Mas. Katanya Bu Bayu habis dari luar kota, jadi cuciannya numpuk.” “Ooh … yang punya pembantu seksi itu kan?” tanya Adi yang semgaja menggoda Dina. “Maasss … mulai nih,” seru Dina sambil melirik tajam ke arah suminya sambil bersungut-sungut. Melihat ekspresi wajah Dina, Adi pun tak bisa menahan tawanya karena usahanya berhasil dengan mudah untuk membuat Dina cemburu. Padahal ia tak menyadari bahwa ia sendiri lah yang paling posesif dan cemburuan. “Iya, iya …bercanda kok.” Adi masih saja berusaha menahan tawanya. “Lhi, udah punya ART kok nyuci baju di kamu?” tanya Adi heran. “Soalnya pembantu yang kamu bilang seksi itu lagi pulang kampung,” jawab Dina dengan penekanan nada. Adi pun kebali tak bisa menahan tawanya. “Ya udah, aku mau ke kamar mandi dulu ya. Hii … takut,” seru Adi sambil berlari kecil menuju kamar mandi dengan tujuan meledek Dina yang semakin mengeluarkan taringnya. *** Pagi semakin cerah, matahari kini sudah naik setinggi tombak. Jalanan pun sudah semakin bising dengan orang-orang yang lalu lalang dan mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing. Si kecil Sila juga sudah bangun sekitar lima belas menit yang lalu dan kini tengah bermain bersama boneka kura-kura kesayangannya yang merupakan hadiah ulang tahunnya yang kedua dari orangtuanya. Namun, Dina masih saja berkutat dengan setrikaan bajunya yang masih setengah keranjang. Ia terpaksa menjeda pekerjaannya untuk menyiapkan sarapan pagi. Dua butir telor dadar dan semangkuk oseng tempe ia rasa sudah lebih dari cukup untuk sarapan pagi mereka bertiga. Bagi mereka saat ini, menu itu pun sudah cukup mewah dan Sila pun menyukainya. Sementara itu, seperti biasa pagi-pagi begini Adi sudah siap dengan celana jeans yang dipadu dengan kaos oblong, lengap dengan jaket kulitnya. Sambil menunggu panggilan kerja yang tak kunjung datang, Adi masih terus menjalani profesi tukang ojeknya. Apa pun itu ia akan lakukan demi keluarga kecilnya. Ia menyadari jika ia terus mempertahankan gengsinya, maka bukannya ekonomi mereka akan semakin membaik, justru akan semakin terpuruk. Ya, mungkin karena ia sempat berhenti dari dunia kerja dan bergelut di dunia bisnis, membuat para pemilik perusahaan menjadi ragu untuk mempekerjakannya. Begitulah yang Adi pikirkan. Dina mengendus-endus hidungnya, sepertinya ia mencium bau yang tak biasa ketika Adi melintas di depannya. Bau harum yang baru pernah ia rasakan. “Bau apa ini, Mas? Mas Adi pake parfum?” tanya Dina yang langsung menghentikan gerakan tangannya yang masih memegang setrikaan, sambil terus mengendus. Adi menoleh ke arah Dina sambil nyengir kuda. Tanpa menjawab pun Dina sudah tahu jawabannya. Dan kini Dina mulai mengerutkan dahinya, karena tak biasanya suaminya membubuhkan parfum di tubuhnya. Yang Dina ingat, terakhir kali Adi memakai parfum yaitu ketika masih bekerja di perusahaan asuransi, saat surat pemberhentian sebagai karyawan itu ia terima. Ya, hari itu adalah terakhir kalinya Dina mencium bau harum parfum dari tubuh suaminya. “Mas Adi beli parfum?” Dina kembali bertanya dengan nada heran. Ya, Dina merasa ada sesuatu yang aneh. Sebenarnya Mas Adi mau ke mana? Sampai-sampai ia rela mengeluarkan uang untuk membeli sebotol parfum. Bukan seperti Mas Adi yang ia kenal, batin Dina. Dina masih ingat betul saat masih memiliki usaha warung makan padang, Adi pernah mengatakan kalau ia malas memakai parfum, karena selain membuang-buang uang, ia pun hanya berada di dalam warung. Rasanya tidak penting baginya terlihat rapi dan wangi. Yang penting adalah banyak yang datang ke warung makannya. “Iya. Kebetulan kemarin ada orang yang minta anter ke minimarket. Ya udah sekalian aja iseng-iseng masuk. Trus beli parfum deh. Ngga papa kan? Murah kok, cuma dua puluh ribu. Sekali-kali lah, biar wangi?” sahut Adi sembari duduk di lantai dan memakai sepatunya. “Memangnya Mas pake parfum buat siapa? Kok tumben?” Nada bicara Dina masih saja terdengar curiga. “Hmm … pasti deh mikirnya yang aneh-aneh. Gini ya Dinaku sayang, aku kan kerja narik ojek. Kalo badanku bau, mereka pasti ngga mau lagi minta anter aku. Bener ngga? Apalagi kan kamu tau, biasanya dari pagi sampe sore aku ngga pulang. Panas terik, penuh keringat, pasti bikin badan aku cepet bau. Udah deh jangan mikir aneh-aneh. Oke?” Ya … bener juga sih apa kata Mas Adi. Kalau biasa naik ojek dan suatu ketika ketemu sama tukang ojek yang bau badan, pasti ngga mau lagi naik tuh tukang ojek, pikir Dina. Hmm … kecurigaannya memang tak beralasan. Ada-ada aja nih mikirnya, pasti gara-gara semalam ia kurang tidur karena bangun terlalu pagi, jadi pikirannya terlalu sempit. “Iya, iya ….” “Ya, udah … aku berangkat dulu. Doakan hari ini banyak yang ngojek ya. Pengen banget ngajak Sila jalan-jalan. Udah lama kayaknya ngga kemana-mana,” kata Adi. “Iya Mas. Aamiin.” Adi pun segera mendekat ke arah Sila yang masih asyik dengan bonekanya. “Sila Sayaanngg … Ayah berangkat dulu ya. Sila baik-baik di rumah, jaga Bunda ya. Truss ….” “Ga boyeh nakal, Yayah …” sahut Sila yang sudah begitu pandainya menirukan ucapan Ayah Adi yang selalu diucapkannya sebelum pergi. “Pinter anak Ayah. Sini dong cium dulu.” Seperti biasa karena terlalu gemas, Adi mengecup pipi dan dahi Sila berkali-kali hingga membuat Sila tertawa geli. Dina pun ikut tertawa melihat kelakuan dua kesayangannya itu. “Udah, udah Mas. Kasian Sila. “Ya udah, Ayah berangkat ya …” ucap Adi sambil melepaskan pelukannya dari Sila. “Dadaahh Sila Sayang ….” “Maaf ya Mas, aku ngga anter ke depan.” “Iya ngga papa. Kamu kan lagi repot,” sahut Adi yang selalu berusaha mengerti keadaan Dina dan tidak banyak menuntut. Sekitar lima menit berlalu, Dina tak kunjung mendengar kembali suara mesin sepeda motor. Padahal tadi ia sudah mendengar mesin motor dinyalakan, lalu dimatikan kembali. Merasa ada sesuatu yang tak biasa, ia pun meninggalkan pekerjaannya dan melangkah ke ruang tamu. Ia mengintip ke arah luar dari balik gorden berwarna merah yang belum sempat ia buka. “Mas Adi?” ucap Dina lirih. Rupanya Adi masih berada di depan rumah. Tidak, lebih tepatnya berada di depan rumah Mba Siska tetangganya. Itu pun lebih dekat ke rumah tetangga di sebelahnya dan tertutup tanaman rambat sehingga tidak terlalu jelas terlihat. Dina harus menggeser tubuhnya ke sudut rumah agar bisa melihatnya dengan jelas. Seketika keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhnya, darahnya terasa mendidih, dan tubuhnya bergetar menahan amarah. Dina melihat Mba Siska tetangganya tengah berjalan dan sedikit berlari ke arah Mas Adi, lalu mereka pergi begitu saja setelah Mba Siska sudah berada di boncengan Mas Adi. Mau ke mana mereka? Apa Mba Siska memakai jasa ojek Mas Adi? Tapi kenapa mereka seolah pergi diam-diam? Engga, ngga mungkin. Tetangga sekitarnya tidak tahu kalau Mas Adi kini menjadi tukang ojek. Lalu, kenapa Mas Adi harus menunggu Siska di sana? Apakah sengaja agar Dina ridak melihatnya? Berbagai pertanyaan kini muncul di kepala Dina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN