12. Keputusan Berat

1820 Kata
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, semua berjalan seperti sebelumnya. Adi masih mengais rezeki dengan menjadi tukang ojek pangkalan, semantara Dina sibuk menjual jasanya menjadi buruh cuci. Namun, kehidupan ekonomi mereka tak kunjung membaik. Setiap harinya, penghasilan keduanya tidak menentu. Terkadang semua kebutuhan tercukupi, terkadang mereka pun harus mengambil dulu kebutuhan sehari-hari mereka di warung Babeh Ahmad yang terletak di perkampungan sebelah, dan akan membayarnya besok ketika mereka sudah me dapatkan uang lebih. Pertengkaran-pertengkaran kecil juga masih kerap terjadi, walaupun keduanya akhirnya menyadari dan kembali berbaikan. Tentu itu semua adalah hal yang wajar jika keduanya sedang merasa lelah. Terlebih bagi Dina karena ia tak hanya harus bekerja membantu suaminya, tapi juga mengurus rumah dan putri kecil mereka. Sebenarnya saat itu Adi sempat bekerja di perusahaan advertising. Walaupun gajinya tidak banyak tapi paling tidak setiap bulannya ia mendapatkan pemasukan tetap, daripada menjadi tukang ojek yanh tidak menentu. Tapi baru saja mendapatkan gaji pertama, Adi memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya karena tekanan dari bosnya yang terlalu banyak menuntut, kurang ramah, dan selalu menyalahkan. Padahal Adi dan pegawai yang lain sudah berusaha keras dan melakukan semua pekerjaan sesuai dengan apa yang seharusnya. Dan itu membuat Adi berasa stres. Hampir setiap pulang bekerja Adi selalu mengomel tidak jelas untuk meluapkan kekesalannya. Tak bisa dipungkiri, bekerja dengan orang lain tentu banyak tidak enaknya. Kita selalu dituntut untuk disiplin dan menerima apa pun yang sudah diputuskan oleh atasan atau pemilik perusahaan walaupun bertentangan dengan apa yang kita yakini. Terlebih kita lah yang selalu disalahkan jika tidak mencapai target yang diinginkan. Bagi Adi, yang sudah merasakan berwirausaha tentu akan lebih memilih untuk menjalankan bisnis sendiri dibandingkan bekerja dengan orang lain. Adi pun merasa bahwa ia lebih memiliki passion di bisang bisnis. Ia yakin dengan kemampuan analisa dan kerja kerasnya, ia mampu mendulang kesuksesan di dunia usaha. Hanya saja, mereka tidak memiliki modal yang cukup. Lagi-lagi semua terkendala oleh biaya. Belum lagi hutang mereka kepada Babeh Ahmad, Om Irwan, dan Mas Damar belum bisa mereka bayarkan. Entah kapan mereka bisa melunasinya. Tak hanya itu, Om Irwan pun saat itu sempat menawari Adi pekerjaan, untuk mengelola salah satu usaha kulinernya yang baru saja dirintis. Namun, dengan sopan Adi menolaknya karena tidak ingin merasa terbebani jika nanti Adi tidak bisa mengelolanya dengan baik. Usaha kuliner Om Irwan tak main-main. Di atas tanah seluas tujuh ratus meter persegi itu, Om Irwan membangun restorannya dengan tema alam. Di sana ia menyediakan berbagai jenis menu makanan mulai dari indonesian, western, dan juga makanan jepang. Semua diolah oleh koki-koki handal yang sudah memiliki jam terbang tinggi. Tentu hal itu membuat rasa percaya diri Adi menciut. Ya, dulunya ia hanya mengelola warung nasi padang kecil yang tidak ada apa-apanya dibandingkan restoran milik Om Irwan. Lagi pula Adi ingin mendapatkan sesuatu dengan perjuangannya sendiri. Mengenai keinginan Adi untuk membuka bisnis kembali itu pun sempat diungkapkannya kepada Dina ketika mereka mengobrol santai sambil menikmati senja di teras rumah. Tapi sepertinya keinginannya itu tidak akan pernah mungkin bisa terwujud. *** Di sebuah rumah sederhana yang tidak terlalu besar di daerah perkampungan, suasana terlihat cukup ramai. Beberapa jenis jajanan pasar seperti arem-arem, bolu, dan dadar gulung terhidang di atas meja. Juga beberapa gelas minuman dingin dengan perasa jeruk pun turut memenuhi meja kayu ruang tamu. Cuaca yang panas siang ini membuat es sirop buatan Mba Indah laris manis sampai-sampai ia harus membuatnya lagi dan dituangkan ke dalam teko kaca bening. Teriakan dan celotehan Sila dan Rama, putra bungsu Damar, kakak Dina memenuhi setiap sudut rumah berlantai keramik itu, semakin menambah hangat suasana. Keduanya berlarian ke sana ke mari seolah tidak mengenal lelah. Beberapa kali mereka menggoda Nabila dan Indra, kakak Rama yang tengah asyik menonton televisi dengan mencolek bahu keduanya dari arah samping. Sontak Nabila dan Indra pun langsung menoleh dengan cepat, membuat Sila dan Rama kembali tertawa lepas. Memiliki usia yang hampir sama memang membuat keduanya menjadi cepat akrab walaupun mereka terbilang jarang bertemu. “Udah Rama, Sila … jangan lari-lari terus, nanti jatuh.” Entah sudah berapa kali Damar memperingati mereka, namun keduanya tetap Asyik berlarian sambil tertawa. Dina, Mba Indah, dan Adi yang melihat tingkah lucu dan kedekatan mereka pun ikut tertawa. Hal itu justru menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. “Nah, gini dong. Kalian sering-sering main ke sini. Kalau bisa juga nginep di sini. Pasti Sila seneng banget banyak temannya,” ucap Damar yang terlihat sangat senang dengan kedatangan Dina. Terakhir mereka bertemu yaitu saat Damar mampir ke rumah Dina malam itu, setelah berkunjung ke rumah kawannya. Itu pun tidak lama karena suasana hati Dina dan Adi sedang tidak baik-baik saja. Bagaimanapun mereka menyembunyikan masalah mereka dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, tapi Damar tahu betul ada masalah besar yang tengah mereka hadapi. Hal itu juga terlihat dari kedua bola mata Dina yang memerah dan sedikit bengkak. Dina yang biasanya menceritakan apa pun yang ia alami selama ini kepada Damar, akhir-akhir ini lebih memilih diam. Bahkan cenderung menutup-nutupi. Damar pun memahami hal itu dan tidak memaksakan diri untuk ikut campur lebih jauh. Ia menyadari, kini adik perempuannyan itu telah memiliki keluarga kecil. Mungkin ia ingin menyelesaiakan masalahnya sendiri dengan pasangannya. “Iya, Mas. Pengennya juga gitu. Tapi kan jauh,” jawab Dina beralasan. Sejak usaha warung makan mereka bangkrut, Dina dan Adi memang sudah jarang berkunjung ke rumah Damar. Apalagi sekarang, pekerjaan mereka seperti tidak mengenal waktu. Alasan utamanya mungkin bukan karena jarak rumah mereka yang cukup jauh, tapi lebih kepada kesibukan. Sabtu dan Minggu justru Adi manfaatkan untuk menarik ojek karena biasanya di hari libur, ia lebih banyak mendapatkan penumpang. “Kamu ini alasan aja …,” sahut Damar sembari tersenyum. “Din, kamu tuh mbok ya jangan cape-cape. Memang kamu itu butuh uang untuk membantu Adi kamu memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi inget, ada Sila yang masih kecil, yang masih sangat butuh perhatian kamu. Kalau Adi sibuk kerja, kamu sibuk kerja … kasian dong Sila,” nasihat Damar. “Iya, Mas,” jawab Dina tanpa membantah. Selama ini, Mas Damar lah yang selalu menasihatinya, apa pun itu yang dirasa kurang sesuai. Dina pun sangat menghormatinya, begitu juga den1gan Adi yang sudah menganggap Mas Damar seperti kakak kandungnya sendiri. Tapi kembali lagi, apa pun yang dikatakan Damar, semua keputusan ada di tangan Adi dan Dina. Tanpa Damar mengatakannya, Dina pun sebenarnya sudah menyadarinya. Ya, sejak ia mulai bekerja membantu Adi dengan membuka jasa buruh cuci, Dina merasa lebih sensitif dan cepat marah. Bahkan tak jarang Sila menjadi sasarannya, hingga akhirnya ia menangis. Bukan emosinya tersalurkan, tapi justru membuatnya semakin kerepotan karena harus menenangkan Sila, sementara ia juga harus menyelesaikan pekerjaannya. Tak bisa dipungkiri, rasa lelah dan kurang tidur membuatnya seperti itu. Seringkali ia juga menangis tengah malam karena rasa bersalahnya kepada Sila, jika seharian itu ia menuangkan kemarahan dan kekesalannya pada Sila. Dina pun menyadari, jika selamanya seperti itu, tentu tidak akan sehat untuk rumah tangganya. Dina menoleh ke arah Adi yang sejak tadi hanya mendengarkan. Wajahnya yang tadi ceria sejak kedatangan mereka ke rumah Mas Damar, tiba-tiba berubah mendung. Ia sangat tahu apa yang tengah dipikirkan Mas Adi. Kembali Dina menatap Mas Damar yang duduk tepat di hadapannya, hanya dibatasi meja. “Ini Mas. Ada yang mau Dina sampein ke Mas Damar. Sekaligus Dina ingin meminta izin untuk … untuk bekerja di luar negeri, Mas,” Dina terlihat ragu untuk mengatakannya, nada suaranya pun semakin lama semakin melemah. Ia tahu Mas Damar pasti kurang setuju dengan keputusannya itu. Tapi Dina sudah membicarakan ini semua dengan Mas Adi. Awalnya Mas Adi memang keberatan dengan keinginan Dina menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Ia merasa tidak sanggup untuk berpisah dalam waktu yang cukup lama dengan Dina, juga merawat Sila yang masih kecil seorang diri. Belum lagi wibawa dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah. Seharusnya ia-lah yang memenuhi kenutuhan hidup mereka, bukan sebaliknya. Berita-berita negatif mengenai TKW yang kerap terjadi pun membuat Adi takut terjadi sesuatu pada Dina. Berbagai alasan pun memenuhi pikirannya. Namun, dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang dilontarkan Dina, akhirnya dengan terpaksa Adi pun menyetujui dan mengizinkan Dina. Tentu saja ia juga harus berkonsultasi dengan Mas Damar sebagai kakak laki-lakinya. Pasti Mas Damar tahu mana yang terbaik untuk mereka. Bagi Dina, itulah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk segera keluar dari masa sulit yang selama ini membelenggunya. Bagaimanapun juga, ia harus memikirkan masa depan Sila. Itulah yang membuatnya mengambil keputusan berat itu. Dengan tawaran gaji tinggi, tentu hal itu sangat menggiurkan. Rencana-rencana baik pun sudah memenuhi isi kepalanya. Dengan gaji yang didapatnya menjadi TKW, pasti dengan cepat ia bisa melunasi hutang-hutang mereka. Ia pun bisa mengumpulkan uang untuk modal memulai usaha kembali, seperti yang diinginkan Adi. Dina yakin, mereka akan bisa memulai kembali kehidupan mereka seperti sebelumnya. Damar terlihat mengerutkan dahinya, sekilas menatap Indah, istrinya yang duduk di sampingnya. “Maksudnya? Kamu mau jadi TKW?” tanya Damar untuk meyakinkan apa yang dipikirkannya. Dina mengangguk. “Iya, Mas “ jawab Dina, lalu tertunduk. “Kamu serius? Ini baru wacana kamu aja kan?” tanya Damar lagi, yang berharap Dina tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya itu. “Dina serius, Mas. Dina juga udah bicarakan ini semua sama Mas Adi. Mas Adi juga sudah mengizinkan,” jawab Dina pelan. “Kamu sudah pertimbangkan baik-buruknya, Din? Buat keluarga kamu, buat perkembangan Sila ….” Kali ini Mba Indah ikut berkomentar karena bekerja di luar negri tentu saja bukanlah sesuatu yang mudah. Akan banyak hal yang harus dikorbankan. “Sudah, Mba.” “Maaf ya Mas, Mba … aku udah ngga bisa apa-apa lagi. Aku sudah gagal memenuhi kebutuhan Dina dan Sila,” ucap Adi lesu. Ia menyapu wajahnya dengan telapak tangan, seolah menunjukkan betapa berat keputusan yang harus ia ambil dengan mengizinkan Dina bekerja menggantikan posisinya mencati nafkah keluarga. “Maass ….” Dina mengusap tangan Adi untuk tidak lagi merasa bersalah. Kalaupun ia pergi bekerja, Adi pun juga harus merawat Sila dan bertanggung jawab sepenuhnya. Itu juga bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi selama ini, Dina lah yang lebih banyak mengurus Sila, seperti memandikan, menyuapi, dan sebagainya. “Tapi ini bukan salah Mas Adi, Mas, Mba … Mas Adi sudah berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan kami. Mungkin ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan. Mas Adi pun sudah menawarkan kalau Mas adi aja yang bekerja di luar. Tapi aku tahu Mas Adi ngga bisa bekerja sama orang lain. Jadi, biar Dina aja.” Dina berusaha menjelaskan tanpa ditanya agar Mas Damar dan Mba Indah tidak berpikir buruk tentang Mas Adi. Damar menghela napasnya pelan, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Berat rasanya melepaskan adik semata wayangnya itu. Apalagi ia seorang perempuan. Tapi, jika memang itu sudah dibicarakan dengan matang bersama suaminya, tentu ia tak bisa melarangnya. Lagi pula, Damar melihat tekad Dina begitu besar untuk pergi. “Ya sudah kalau itu memang sudah menjadi keputusan kalian. Mas, sama Mba Indah hanya bisa doakan yang terbaik untuk kehidupan kalian. InsyaAllah Mas sama Mba Indah akan bantu Adi untuk merawat Sila,” sahut Damar, yang diaminkan oleh Indah. “Makasih ya Mas, Mba,” sahut Dina sedikit lega.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN