11. Perang Dingin

2034 Kata
“Mah, Papah kok ngga pulang-pulang sih. Ini kan udah lama banget. Papah kan janji mau ngajak Kakak sama Cica jalan-jalan,” ucap Delia sambil menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, tepat di samping Siska yang tengah membaca novel. Masih dengan kedua tangan memegang ipad yang sejak tadi dipakainya untuk bermain game, Delia menyenderkan kepalanya di sandaran sofa sambil menatap Ibunya sendu. Terlihat jelas dari pancaran kedua bola matanya kerinduan yang sudah lama ia simpan. Ya, sudah hampir dua bulan ini Reno, ayah Delia dan Cica yang merupakan suami Siska tidak bisa pulang ke Jakarta karena kesibukannya di tempat kerja. Bekerja sebagai pengawas di sebuah perkebunan apel di kota Batu, Malang membuat jadwal kerjanya tidak menentu. Belum lagi jika pemilik perkebunan tidak ada di tempat atau tengah bepergian ke luar kota untuk waktu yang lama, maka segala tanggung jawab diserahkan kepadanya. Siska menghembuskan napasnya pelan sambil tersenyum. Diletakannya buku novel yang tengah dibaca itu ke atas pangkuannya, lalu menoleh ke arah putri sulungnya itu. “Iya, Sayang. Tapi kan kamu denger sendiri kemarin Papah bilang apa. Papah ngga bisa pulang karena Papah masih banyak pekerjaan yang ngga bisa ditinggalkan. Nanti kalau bos Papah udah kembali, baru deh Papah bisa pulang ke Jakarta,” jawab Siska sambil menirukan perkataan Reno saat di sambungan telepon beberapa waktu yang lalu. “Ya tapi kan sebentar lagi Kakak udah selese libur sekolahnya, masa iya ngga ke mana-mana sih. Temen-temen Kakak semuanya kan pada liburan,” lanjut Delia yang masih menyuarakan nada protesnya. Berbeda dengan Cica, adik perempuannya yang lebih terlihat cuek. Ia jarang menanyakan keberadaan ayahnya. Namun, jika ayahnya pulang, Cica hampir tak pernah bisa jauh dari ayahnya itu. Kalau Siska bilang, nempel terus seperti perangko. “Iy, iya Sayang … Mamah ngerti. Nanti juga Papah pulang. Kalau misalnya liburan sekolah udah selesai dan Papah baru bisa pulang, kita bakal tetep jalan-jalan kok. Mamah janji.” “Beneran Mah?” tanya Delia untuk meyakinkan dengan mata yang berbinar-binar. Siska mengangguk. “Yeeee …!!!” sorak Delia sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Bibirnya yang sedari tadi dimanyunkan, seketika merekah meluapkan kegembiraannya. Walaupun liburan mereka tidak jauh dan biasanya hanya di sekitar kota Jakarta, tapi bagi anak-anak seperti Delia tentu itu sangat menyenangkan. Apalagi sudah lama mereka tidak pergi keluar untuk sekedar jalan-jalan santai atau makan malam di luar. Dan biasanya untuk sekedar jalan-jalan, Siska pun selalu mengatakan untuk menunggu saat libur semester tiba. “Maaf, Bu. Kayaknya handphonenya bunyi. Ada telepon masuk,” ucap Mbak Ana Assisten rumah tangga Siska yang tiba-tiba menghampiri Siska dan Delia di ruang tamu. “Oh, iya Mbak,” sahut Siska. “Sebentar ya Kak,” ucap Siska pada Delia. Siska pun segera beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke kamarnya yang berada di samping ruang keluarga. Benar kata Mba Ana, telepon genggamnya berbunyi. Tapi nada deringnya tiba-tiba berhenti saat Siska hendak mengangkatnya. Rupanya sudah ada dua panggilan tak terjawab. Siska benar-benar tidak mendengarnya dari ruang tamu karena tadi pagi nada deringnya ia pelankan ketika bergantian dengan adiknya saat menjaga ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit. “Hallo, Pah?” sapa Siska ketika berhasil menghubungi suaminya. “Maaf ya, tadi ngga denger, lagi di ruang tamu sama Delia,” lanjutnya. “Iya, ngga papa kok. Ini … Papah cuma mau ngabarin kalau minggu ini Papah ngga jadi pulang. Soalnya kepulangan Pak Irwan dari Kalimantan diundur minggu depan. Jadi mungkin Papah baru bisa pulang minggu depan.” “Yaahh … diundur ya Pah?” sahut Siska sedikit kecewa. Tadinya ia sengaja tidak memberi tahu Delia dan Cica bahwa ayahnya akan pulang ke Jakarta minggu ini untuk memberi kejutan. Tapi rupanya kepulangan Reno harus diundur. “Ngga papa kan? ” tanya Reno dari ujung telepon. “Ya mau gimana lagi Pah ….” “Minggu depan pasti jadi kok. Pak Irwan juga sudah beli tiket pesawatnya untuk pulang. Mamah masih rahasiain ini kan ke anak-anak? Jadi mereka kan ngga terlalu kecewa.” “Iya, mereka belum tahu kok. O ya, Pah. Makasih ya kadonya. Uangnya udah Mamah beliin kalung,” kata Siska sambil memegang liontin yang tergantung di lehernya. “Iya, sama-sama. Ya udah dulu ya ... ini mau balik dulu. Badan udah lengket. Mana hujan terus dari tadi.” “Iya, hati-hati ya Pah.” Klik! Siska menutup teleponnya dan meletakkannya kembali di atas meja nakas. Dipandanginya kembali kalung emas dengan liontin dua hati yang menyatu dengan mutiara di tengahnya di depan cermin yang tertempel di lemari pakaian, lalu tersenyum manis. Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja Reno mentransfernya sejumlah uang di luar biaya hidup bulanan mereka di Jakarta. Kata Reno, itu adalah hadiah ulang tahun untuknya dan ia bebas membeli barang apa pun yang ia inginkan. Uang itu adalah uang bonus yang diterima Reno dari Pak Irwan, pemilik perkebunan apel karena telah dibebani tanggung jawab yang cukup besar untuk menjaga perkebunan. Kebetulan orang yang biasa memegang tanggung jawab itu mengundurkan diri beberapa bulan lalu. Sementara Pak Irwan belum mendapatkan penggantinya. Dengan berbagai pertimbangan, Siska pun memutuskan mempergunakan uang itu untuk membeli sebuah kalung emas yang kini ia pakai di lehernya. Tak hanya menjadi investasi, tapi juga hadiah yang akan selalu ia pakai kemana pun dan kapan pun. *** Suara mixer terdengar keras memenuhi ruang dapur yang tidak terlalu besar. Tak hanya suara mixer, tapi juga suara wajan yang beradu dengan spatula. Sore itu selepas maghrib, sambil menyiapkan lauk untuk makan malam, Siska juga membuat kue bolu klasik favorit kedua putrinya. Tentu saja dengan dibantu oleh Mba Ana. Kringg! Terdengar suara oven berbunyi, menandakan bahwa kue bolu pertama sudah matang. Segera Siska membuka ovennya dan mengeluarkan loyang itu dari dalam oven. Tercium bau harum yang menyeruak hingga membuat Delia dan cica yang tengah menonton televisi di ruang keluarga langsung berebut lari untuk cepat sampai ke dapur. Rupanya mereka sudah tidak sabar untuk menikmati kue itu. “Aku dulu, aku duluu …!” teriak si Kakak yang sudah pasti berlari lebih kencang dibandingkan si Bungu. Sementara si Bungsu seolah tak mau kalah, ia menarik ujung pakaian si Kakak sambil berteriak. “Iihhh, Kakak! Aku dulu!” teriak si Bungsu Cica. “Eh, eh … mau ngapain ini? Nanti dong sabar. Kue ini bukan buat kalian. Punya kalian yang ini. Nanti ya, tunggu matang dulu,” ucap Siska sambil menunjukkan adonan kue yang baru dimasukkan ke dalam loyang, lalu dimasukkannya lagi ke dalam oven untuk dipanggang. “Yaaahh …,” ucap Delia dan cica bersamaan. Dengan kompak keduanya berbalik badan dan berjalan kembali ke ruang keluarga dengan membungkukkan badan. Siska hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua putrinya itu. Mungkin karena mereka terlalu banyak menonton serial kartun hingga terkadang tingkahnya menjadi lucu. Dikeluarkannya kue bolu klasik itu dari dalam loyang dan diletakkan di dalam dus makanan yang sudah ia siapkan dengan dilapisi kertas roti. Dari tampilannya cukup menggoda, hanya saja ia tidak tahu apa mereka menyukainya atau tidak. “Mba, aku keluar dulu ya lewat pintu belakang. Takut anak-anak nyariin,” ucap Siska sambil meraih dus makanan berisi bolu tadi. “Oh, iya Bu,” jawab Ana yang masih sibuk membuat nasi goreng dengan toping telor orak-arik, bakso dan juga sosis. Segera Siska keluar dengan pakaian sekedarnya karena ia memang malas mengganti pakain lebih dulu yang basah karena keringat. Lagi pula ia belum selesai membuat kue walaupun hanya tinggal menunggu matang. Tok! Tok! Tok! Siska menunggu beberapa saat dan mengetuk pintunya kembali karena pemilik rumah belum juga membukakan pintu. Tok! Tok! Tok! Krek! Akhirnya pintu dibuka dari dalam. “Mba Siska?” “Mba Dina … maaf ya Mba, mengganggu malam-malam gini. Ini Mba, tadi anak-anak minta dibuatkan kue bolu. Jadi sekalian aku buatkan juga untuk Sila. Maaf ya Mba, kalau kuenya ngga seenak yang Mba Dina buat,” ucap Siska ramah sambil tertawa. Ia sedikit bercanda agar hubungan mereka kembali hangat. Ya, akhir-akhir ini Siska sendiri merasa Dina tidak seperti biasanya. Ia jarang keluar rumah dan tak banyak bicara. Walaupun rumah mereka bersebelahan, tapi sudah dua hari ini mereka tak bertatap muka. Mungkin Siska memang tidak menyadari kalau Dina memang sengaja menghindarinya. Dina mengarahkan pandangannya ke dus kue yang dipegang Siska, namun tak langsung menerimanya. Jujur saja Dina masih merasa tidak nyaman berhadapan dengan Siska, apalagi menerima kue pemberiannya. Terlebih hubunganya dengan Mas Adi kini tidak baik-baik sana. Sudah beberapa hari ini sejak pertengkarannya dengan Mas Adi terjadi, mereka kini tak lagi berkomunikasi dengan baik. Adi dan Dina pun sudah beberapa malam ini tidak tidur dalam satu kamar. Dina tidur di kamar mereka seperti biasa bersama dengan Sila. Sementara Adi tidur di kamar tamu. Perang dingin itu sudah berlangsung beberapa hari, dan tidak ada yang berusaha untuk mencairkan. Keduanya masih bertahan dengan ego masing-masing. Siska terlihat sungkan ketika ucapannya sepertinya tidak mendapat tanggapan. Namun, akhirnya Dina menerimanya. “Makasih ya,” ucapnya singkat tanpa bertanya apa pun. “Maaf ya Mba, waktu itu jadi ngrepotin Mas Adi.” Terlihat Siska masih tetap berusaha mencairkan suasana walaupun tanggapan Dina masih tetap saja kaku. Mendengar itu Dina mulai mengerutkan dahinya. Ngrepotin?, batin Dina. “Soalnya motor saya mogok, jadi saya minta antar Mas Adi aja, daripada saya order ojek online. Kebetulan sekali Mas Adi baru mau berangkat jadi saya panggil aja. Maaf ya, Mba. Apalagi Mas Adinya juga ngga mau terima uang dari saya. Jadi, anggep aja itu ucapan terima kasih dari saya,” lanjut Siska, menceritakan kejadian pagi itu tanpa ditanya. Dina kembali terdiam, berusaha mencerna dengan baik seluruh perkataan Siska. Apa benar semua yang dikatakan Mba Siska barusan? Jika itu benar, maka dugaannya selama ini salah besar. Ia sudah sangat berdosa telah menuduh Mas Adi dan Mba Siska macam-macam. Bahkan kini membuat rumah tangganya goyah. Mba Siska pun ternyata tahu bahwa Mas Adi kini membuka jasa sebagai tukang ojek. Sungguh, Dina benar-benar merasa malu. Pepatah yang mengatakan bahwa kebenaran pasti akan terungkap tanpa harus dijelaskan, itu memang terbukti benar. Tanpa Mas Adi berusaha menjelaskan pun ternyata Siska sendiri yang datang kepadanya dan menceritakan kejadian yang membuatnya berburuk sangka. Perlahan, Dina mulai melunak, walaupun sebenarnya masih ada yang mengganjal di hatinya mengenai kalung emas yang dipakai Mba Siska. Ah, tidak mungkin juga Mas Adi yang membelikannya. Mungkin memang Mas Adi benar-benar mengover kontraknya dengan harga murah agar cepat laku. “Oh, i-iya ngga papa kok Mba,” jawab Dina yang masih berusaha mencerna dengan baik seluruh perkataan Siska. Mba Siska mengakui sendiri kejadian pagi itu, itu artinya Mba Siska bukanlah ‘maling’, karena tidak ada maling yang mau mengaku. “Maafin saya ya Mba?” Kali ini justru Mba Siska yang mengerutkan keningnya. “Minta maaf kenapa Mba?” “Maksudnya, mmm … maaf kalau merepotkan. Makasih ya Mba kue-nya,” jawab Dina mencari alasan. Ia terlihat canggung. Tapi kali ini ucapannya dibarengi dengan sedikit senyum. “Oh, iya sama-sama Mba. Kalo gitu saya pamit dulu. Masih mau lanjut buat kue.” “Oh, iya Mba.” Dina kembali menutup pintu rumah setelah Mba Siska sudah pergi. Diletakkannya dus kue itu di atas meja ruang tamu. Dengan ragu, Dina melangkah ke arah pintu kamar tamu yang tertutup. Di sanalah Mas Adi berada. Beberapa hari ini, setelah pulang dari mengojek, pasti Mas Adi langsung menuju ke kamar depan setelah selesai membersihkan diri. Bermain bersama Sila pun hanya sebentar, tak seperti baisanya. Bahkan Mas Adi selalu makan malam ketika ia dan sila sudah masuk ke dalam kamar untuk tidur. Diketuknya pintu kamar itu perlahan. Ia takut mengagetkan Mas Adi jika ternyata ia sudah tidur. “Mass …,” panggilnya pelan. “Masuk.” Mas Adi langsung menyaut panggilan Dina. Rupanya Mas Adi masih terjaga. Tiba-tiba saja jantung Dina berdegup lebih kencang. Ia takut jika Mas Adi masih marah dan menyalahkannya. Tapi kesalah pahaman ini harus segera diluruskan. Dina tidak ingin semakin berlarut-larut dan akan semakin merusak hubungan mereka. Lagi pula Sila sudah tidur. Ia tidak akan mendengar jika terjadi keributan seperti sore itu. Dilihatnya Adi tengah berbaring di tempat tidur dan langsung duduk di tepiannya setelah Dina membuka pintu. “Mas ….” Diluar dugaan, Mas Adi tersenyum begitu Dina masuk ke dalam kamar “Maafin aku ya Mas,” ucap Dina yang tetap berdiri di samping pintu.” “Iya. Aku udah maafin. Aku juga udah dengar tadi Mba Siska bilang apa. Sini duduk.” Adi menepuk tempat tidur dua kali agar Dina mendekat dan duduk di sampingnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN