13. Ratu Sehari

1390 Kata
Tanpa membuang waktu setelah mendapat izin dari Mas Damar, Dina pun segera mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendaftar di perusahaan penyalur. Ia pikir, semakin cepat ia berangkat, akan semakin baik. Sejak awal Dina terpikirkan untuk menjadi TKW, ia sudah memutuskan untuk bekerja di Malaysia. Walaupun mungkin gaji yang didapatkan tidak sebesar jika ia bekerja di negara lain, namun banyak hal yang menjadi pertimbangannya. Malaysia tidak terlalu jauh dan masih berada satu rumpun dengan Indonesia. Bahasa yang digunakan pun masih terbilang mudah dipahami tanpa harus belajar terlalu mendetail, dan juga mayoritas penduduk di Malaysia beragama muslim, jadi Dina pikir, ia tidak akan kesulitan untuk beribadah tepat waktu karena orang yang mempekerjakannya pun pasti tahu kewajiban seorang muslim. Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter itu Dina mulai mengepaki pakaian dan segala kebutuhannya ke dalam koper berukuran besar. Rencananya, besok ia sudah harus berangkat ke perusahaan penyalur tenaga kerja untuk mulai mendapatkan pelatihan sebelum ia berangkat ke Malaysia. Setiap perusahaan penyalur pasti akan mengadakan pelatihan terlebih dahulu untuk memastikan seberapa besar kesiapan para tenaga kerjanya sebelum memberangkatkan mereka. Banyak hal yang harus dipelajari, seperti belajar bahasa untuk berkomunikasi, memasak, menggunakan berbagai barang elektronik, dan lain sebagainya. Lamanya pelatihan pun bervariasi sekitar tiga bulan atau lebih. Tergantung bagaimana mereka menguasai materi pelatihan yang diberikan. Jika mereka cepat menguasai materi, tentu mereka akan lebih cepat diberangkatkan ke negara yang dituju. Dengan dibantu Sila, Dina memasukkan satu per satu pakaiannya yang sudah disusun rapi di atas meja kecil. Tak banyak yang ia bawa. Mungkin jika dihitung-hitung hanya sepuluh setel atasan dan bawahan agar bisa muat dalam satu koper. Lagi pula baju-baju itu nantinya bisa dicuci untuk dipakainya kembali. Ditatapnya dengan tersenyum, Sila yang ikut sibuk memasukkan alat mandi yang sudah dimasukkan ke dalam pouch anti air. Apa yang Sila lakukan memang tak banyak membantu karena ia meletakkannya begitu saja tanpa disusun, dan Dina harus menatanya ulang. Tapi Dina biarkan karena inilah moment terakhirnya bersama Sila sebelum mereka berpisah dalam waktu yang cukup lama. Mungkin dalam bayangan Sila mereka tengah bermain sesuatu yang baru, dengan memasuk-masukkan barang-barang ke dalam koper. Ia tidak tahu bahwa mulai besok ia tidak akan bertemu dengan bundanya. Sedih, sudah pasti. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana rewelnya Sila ketika malam-malam ia terbangun dan menanyakan keberadaannya. Apalagi selama ini Sila sama sekali tidak pernah berpisah dengannya. Belum lagi jika Sila demam atau kurang enak badan. Ah, bayangan-bayangan itu pun sudah terekam jelas dalam pikirannya. Dua tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Itu pun jika Dina tak memperpanjang kontrak kerjanya. Jika dihitung-hitung, dengan kontrak kerja selama dua tahun bekerja di Malaysia, rasanya tabungannya belum cukup aman untuk membuka usaha. Dan kemungkinan Dina akan memperpanjang kontrak bekerjanya. Dengan terpaksa ia harus bisa menahan rasa rindunya kepada Mas Adi dan Sila. Ya, Dina lakukan semua itu demi masa depan putri semata wayangnya. Tak terasa air mata mulai menetes di kedua pipinya. Seketika gerakan tangannya terhenti dan segera mengusap air matanya sebelum Sila menyadarinya. “Unda angis? Kenapa Unda? Sila nakal ya Unda?” tanya Sila dengan polosnya sambil mendekat dan memeluk Dina. Rupanya Sila melihat Bundanya meneteskan air mata. Dikecupnya pipi Dina dengan bibirnya yang mungil. Begitulah cara Sila meminta maaf pada Bundanya. Setelah itu biasanya Dina akan luluh dan balas memeluknya sambil tersenyum. Tapi tidak untuk kali ini. Sikap Sila justru membuat Dina semakin sedih dan membuat Dina kembali meneteskan air mata. Sila yang begitu polos dan lembut hatinya. Pasti Dina akan sangat merindukannya. Juga celotehan-celotehan Sila yang sangat menghibur dengan suaranya yang masih cadel. Ah, itu semua membuat Dina semakin berat meningalkan Sila. Yang membuat Dina sedih, sikapnya yang beberapa bulan terakhir ini jadi lebih mudah marah, membuat Sila jadi amat perasa. Sila selalu merasa jika ia yang telah berbuat nakal hingga membuat Bundanya marah. Terlebih jika ia tak sengaja menumpahkan makanan, memecahkan gelas, atau merusak sesuatu, pasti Sila akan sangat ketakutan. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, pasti Dina akan memilih untuk lebih sabar dan tidak menumpahkan kekesalannya pasa Sila. Rasa lelah adalah resiko yang harus ia tanggung dengan keputusannya sendiri untuk bekerja. “Engga, Sayangg … Sila ngga nakal kok. Sila itu anak yang baaaiiikk … dan juga manis. Maafin Bunda ya Sayang kalo Bunda suka marah-marah,” jawab Dina ramah sembari tersenyum. “Teyus kenapa Unda angis?” tanya Sila lagi sambil menatap mata Dina dan mengusap air mata yang jatuh di pipi Bundanya itu. “Bunda itu nangis karena … karena Bunda bangga sama Sila. Menangis itu kan bukan berarti sedih. Bahagia pun juga bisa sampai menangis. Ya … seperti Bunda ini yang bahagia karena ada Sila,” terang Dina beralasan. Sila hanya mengangguk-anggukan kepalanya seolah mengerti apa yang dikatakan Dina. “Duh … ngomongin apa sih ini kalian berdua. Kok kayaknya serius banget,” tanya Adi yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan pintu yang terbuka. “Yayah …,” sapa Sila sambil berlari ke arah Adi dan bergelayut manja di kakinya. Adi pun berjongkok, lalu merengkuh tubuh Sila dan mulai menginterogasinya. “Sila ngomongin apa sama Bunda? Hayoo … ngomongin Ayah ya?” tanya Adi dengan nada bercanda. “Ega Yayah. Beneyan Sila ga bohong,” jawab Sila sambil tertawa. “Terus kenapa dong Bunda nangis?” tanya Adi lagi karena saat sekilas ia melirik ke arah Dina, ia lihat mata Dina memerah dengan sedikit air mata yang menggenang. “Mmm … kata Unda, Unda bagahia karna Sila ….” “Bahagia, Silaa …,” ralat Dina. “Iya ….” Sila membenarkan. “Bahagia? Memangnya Sila kenapa?” “Ga tau …,” jawab Sila sambil mengangkat kedua bahunya. Adi menoleh ke arah Dina yang masih menatap mereka sambil tersenyum. “Kamu udah bilang sama Sila, Din?” Dina menggeleng. “Belum, Mas.” “Lho kok belum sih? Kamu bilang dong, biar dia ngga kaget kalo kamu pergi,” ucap Adi. Ditatapnya Sila sambil tersenyum. “Sila … besok Bunda mau pergi ya. Nanti Sila sama Ayah. Makan sama Ayah, mandi sama Ayah … semuanya sama Ayah.” “Teyus Unda?” tanya Sila dengan tatapan polosnya. “Bunda mau kerja. Kerjanya jauuuhhh banget. Jadi, Sila ngga boleh ikut. Sila pinter ya sama Ayah?” “Ga mauuu … Sila mau sama Undaaa ….” Segera Sila berlari mendekat ke arah Dina yang masih duduk di lantai, di hadapan barang-barangnya yang sebagian belum masuk ke dalam koper, lalu memeluknya dengan erat, seolah enggan untuk berpisah barang sedetik. Lagi-lagi air mata Dina tumpah tanpa bisa dicegah. Hidup bertahun-tahun tanpa kehadiran kedua orangtua membuatnya seperti ditempa untuk menjadi perempuan yang kuat dan tegar, dan itu terbukti. Dina tumbuh menjadi wanita yang mandiri, tidak cengeng, dan juga pekerja keras. Ia tidak takut untuk mencari uang semampu yang ia bisa. Apa pun bisa ia lakukan. Tapi tiba-tiba saja ia menjadi rapuh saat dihadapkan dengan suami dan putri tercintanya. Mungkin saja karena ia begitu mencintai keduanya dan tidak ingin kehilangan mereka, sama seperti ia kehilangan kedua orangtuanya. Kini seluruh hidupnya, Dina curahkan untuk mereka. “Silaa …,” ucap Dina dengan suara parau. “ Sila pinter ya sama Ayah. Sila jangan rewel, kasian Ayah. Bunda janji kalau Bunda udah selesai kerjanya, Bunda bakal cepet pulang. Bunda pasti kangeeennn banget sama Sila.” Dipeluknya kembali tubuh mungil Sila dengan kedua tangannya. Erat. Sesekali Dina belai dengan lembut rambut Sila yang sedikit kemerahan dan bergelombang. “Ya udah, pelukannya nanti lagi. Mending sekarang kita makan dulu yuk. Ayah udah buatin nasi goreng spesial buat Bunda sama Sila,” kata Adi yang sejak tadi hanya melihat adegan romantis Dina dan Sila yang sama-sama tidak ingin melepaskan pelukan mereka. Mulai hari ini dan seterusnya, Adi memang tidak lagi pergi menarik ojek. Ia akan fokus mengurus Sila di rumah untuk menggantikan peran Dina. Sementara hari ini, hari terakhir Dina sebelum ia pergi, ia ingin menghabiskan waktu untuk berkumpul bersama, melayani Dina bak seorang ratu dengan menyiapkan makanan untuk keluarga, memandikan dan menyuapi Sila, serta mengurus semua kebutuhan Sila yang lain. Sekaligus membuktikan bahwa ia mampu untuk menjaga dan merawat Sila. “Kita cobain masakan Ayah yuk, Sila. Pasti enak deh,” ajak Dina yang sudah lama tidak memakan masakan yang dibuat Adi. “Yuk,” sahut sila dengan semangat sambil menarik tangan Dina keluar dari kamar, menuju ke meja makan. “Nanti malam giliran Ayah yang dipeluk ya Bunda,” celetuk Adi sambil menatap punggung Dina yang semakin menjauh. Dina hanya menoleh sekilas sambil tersipu malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN