5. Kecurigaan Adi

1655 Kata
“Mas udah coba lapor polisi?” tanya Dina saat Adi menceritakan semua yang baru dialaminya. Motor hilang, gagal mendapatkan pekerjaan, tentu begitu membuat suaminya syok dan stres, karena itu Dina tak ingin menyudutkannya. Marah? Sudah pasti karena harga satu buah sepeda motor tentu bukan harga yang murah untuk mereka, apalagi dalam kondisi ekonomi seperti ini. Belum lagi, suaminya itu juga gagal mendapatkan pekerjaan yang sudah ada di depan mata. Tapi Dina berusaha sabar dan mengendalikan seluruh emosinya. Ia tidak ingin membuat keadaan semakin kacau. Semua yang terjadi adalah musibah. Tentu suaminya juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Saat sampai di rumah beberapa menit yang lalu, Adi pun terlihat sangat lesu. Penampilannya sudah tidak jelas, baju dan sekujur tubuhnya penuh dengan peluh, dan berantakan dengan kemeja yang dikeluarkan dan beberapa kancingnya sudah terbuka. Sangat jauh berbeda dengan penampilannya saat berangkat pagi tadi. Dina tahu bagaimana perasaan Adi saat ini. Menghakimi adalah cara terbodoh untuk menghancurkan hubungan dengan sangat mudah. Dina yakin mereka akan bisa melewati ini semua dengan baik, jika semua dibicarakan dengan kepala dingin. Adi menggeleng pelan dengan tatapan kosong. “Percuma saja lapor polisi. Aku tidak memiliki bukti apa pun. Lagi pula tempat parkir itu juga tempat parkir liar dan tidak ada yang menjaganya. Waktu aku tanya ke security pabrik juga dia tidak bisa berbuat apa-apa karena berada di luar area pabrik. Trus apa? Ngga ada yang bisa dilakuin.” “Kenapa ngga diparkir di dalam pabrik aja, Mas?” “Aku pikir aku cuma sebentar. Itu pun cuma di gerbang pintu masuk. Tapi ....” Adi terdiam beberapa saat. “Kamu ingat temenku yang namanya Roni kan?” tanya Adi sambil menatap Dina. “Roni? Maksud Mas, Roni yang waktu itu jual motor ke kamu mas?” tanya Dina memastikan. “Iya.Ternyata dia kerja di pabrik itu. Trus dia ngajak aku ngobrol di kantin pabrik. Ngga lama kok, cuma sekitar empat puluh menit. Ya udah, pas aku balik motornya udah ngga ada lagi di tempat parkir. Padahal masih banyak motor-motor di situ, tapi kenapa harus motor aku yang diambil!” ucap Adi dengan penekanan. Dari nada bicaranya, kini Adi sudah mulai terbawa emosi. “Ya sudah lah, Mas. Mungkin belum rezeki. Nanti kalau udah ada rezeki, Mas kan bisa beli lagi. Lagi pula masih ada motor supra. Masih bisa kamu pakai untuk cari kerja lagi.” Dina mencoba menenangkan suaminya sambil membelai lengannya. Ia tahu motor itu adalah motor yang selama ini diidam-idamkannya dan ia tahu bagaimana senangnya Adi ketika bisa membeli motor itu walaupun hanya motor bekas pakai. Harganya pun tidak terlalu mahal dibandingkan jika ia membelinya di dealer motor bekas. “Iya! ngomong itu gampang. Tapi apa kamu ngga tau perjuangan aku selama ini untuk bisa mengumpulkan uang dan akhirnya beli motor itu. Ah, bodoh! Harusnya aku tolak ajakan Ron,” keluh Adi. Kalau saja ia fokus dengan tujuannya mencati pekerjaan, tentu semua ini tidak akan terjadi. “Iya, Mas. Maaf. Ya udah, mas istirahat aja dulu. Atau mau makan dulu? Biar nanti aku siapin. Soalnya Sila batu aja tidur jadi aku belum sempat masak buat makan siang.” “Aku mau tiduran dulu. Pusing,” kata Adi masih dengan nada tinggi. Ia pun beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar tamu yang berada di samping ruang tamu. Mungkin karena pikirannya yang sedang kacau, Adi bahkan tidak menanyakan bagaimana kabar putrinya yang masih demam saat meninggalkannya pagi tadi. Padahal Adi adalah tipe ayah yang begitu mengkhawatirkan putri kecilnya. Dialah yang paling tidak tenang jika Arsila sakit. Tanpa mengganti bajunya, ia pun menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Siapa tahu saat bangun nanti pikirannya jauh lebih dingin dan tenang. Namun, setengah jam berlalu, Adi tak kunjung terlelap. Ia masih saja memikirkan nasib keluarganya. Kalau saja ia masih bisa mengejar waktu untuk datang ke tempat tes interview itu, pasti keadaannya tidak seburuk ini. Ia yakin, di interview terakhir ini, ia pasti lolos dan diterima di perusahaan otomotif itu karena hanya tersisa dua orang, sementara perusahaan itu pun membutuhkan dua orang untuk dipekerjakan di bagian Control. Bekerja di perusahaan yang cukup besar dan bagus, sudah pasti gaji yang ditawarkan pun rasanya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-dari dan bisa disisihkan untuk ditabung yang nanyinya bisa membeli apa pun yang ia mau. Namun, sayangnya semua tidak seperti apa yang ia bayangkan. Ya, saat Adi mendapati sepeda motornya hilang, ia sempat panik dan mencari di sekitar tempat itu. Beberapa orang yang berada di sana, semua sudah ia tanyai, tapi tak satu pun mengetahui ke mana orang yang membawa sepeda motornya pergi. Lagi pula kalaupun Adi mengetahuinya, ia tak mungkin dapat mengejarnya. Orang itu pasti sudah pergi jauh, memacu sepeda motornya dengan cepat. Saat ia tersadar, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Hanya kurang lima menit dari jawdal interviewnya. Sontak hal itu membuat Adi panik bukan kepalang. Padahal perjalanan untuk menuju ke perusahaan otomotif itu memerlukan waktu kurang lebih sekitar sepuluh menit. Itu pun dengan kondisi jalanan yang lancar tanpa macet. Belum lagi ia harus memikirkan kendaraan untuk menuju ke tempat itu. Tanpa pikir panjang, Adi segera mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut jalan. Beruntung tak jauh dari situ ada pangkalan ojek yang biasa menjadi langganan para buruh pabrik. Adi pun tanpa pikir panjang segera berlari ke arah tukang ojek itu dan langsung meluncur ke lokasi. Tepat dua belas menit kemudian, ia sampai di pintu gerbang besi berukuran besar yang dijaga beberapa security. Ya, Adi terlambat tujuh menit dan ia sudah tidak diizinkan masuk intuk mengikuti interview terakhir dengan kepala HRD, apa pun alasannya karena Adi dianggap tidak disiplin. Adi benar-benar menyesalkan semua yang terjadi. Hanya karena ia tidak bisa berpikir jernih maka ia tak hanya kehilangan sepeda motornya, tapi juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus. Adi sangat menyadari, menyesal tentu tidak akan mengembalikan semuanya kembali seperti semula. Waktu tidak dapat diputar kembali. Sungguh ini menjadi pelajaran berharga untuknya agar selalu berpikir jernih dan bisa mempertimbangkan dan mengambil keputusan terbaik dengan cepat dan dalam waktu singkat. Arrrggghhh!!! Adi memekik dengan keras untuk meluapkan emosinya. Bagaimana tidak, uang yang digunakan untuk membeli sepeda motor itu adalah uang tabungannya yang selama ini ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari keuntungan warung nasi padangnya. Dan kini hasil jerih payahnya itu tiba-tiba raib begitu saja. Belum lagi untuk menutup kekurangan pembelian sepeda motor itu sebanyak dua juta rupiah, ia pinjam dari Yusuf, pemilik counter handphone yang berada dua ruko dari ruko yang ia sewa. Hubungan mereka memang terbilang dekat karena Yusuf seringkali menyantap makan siang di warung padang milik Adi sembari bercengkerama setelahnya. Atau jika sedang penat, pasti Yusuf akan datang ke warung Adi untuk sekedar menyeruput kopi pahit. Dan yang membuat Adi semakin bingung, bulan ini Adi berjanji untuk melunasi pinjamannya yang masih setengahnya itu, karena Yusuf pun membutuhkan uang itu untuk memutar usahanya. Tentu saja hal itu membuat Adi semakin dibuat pusing. Harus dari mana ia mendapatkan uang untuk membayar hutangnya. Sementara mereka pun membutuhkan uang untuk makan sehari-sehari dengan sisa tabungannya yang kian menipis. Ketika hendak memejamkan matanya kembali, tiba-tiba saja Adi merasa ada sesuatu yang janggal mengenai sepeda motornya yang hilang. Entah feelingnya yang kuat atau dirinya yang terlalu berburuk sangka, tapi tiba-tiba saja Adi mencurigai Roni kalau semua itu pasti ada hubungannya dengan Roni, mengingat track record-nya selama ini yang dikenal buruk. Semua orang pun tahu bahwa Roni memiliki seribu satu macam cara untuk mendapatkan uang, walaupun dengan cara yang curang dan menipu. Namun, Adi selalu berusaha berpikir positif. Lagi pula saat membeli sepeda motor Roni, Adi membawanya ke bengkel terlebih dahulu untuk mengecek semua onderdil dan kualitas mesinnya sebelum membayarnya secara cash. Dan terbukti Roni tidak sedang membohonginya. Kualitas mesin sepeda motor itu masih bagus dengan onderdil yang juga asli dan terjamin kualitasnya. Ya, saat bertemu Roni tadi, sikapnya begitu aneh. Ia terus menerus mencoba menahan Adi untuk tetap tinggal dengan berbagai macam alasan. Adi juga masih ingat betul saat mereka baru sampai di kantin pabrik, Roni terlihat menelepon seseorang sambil melirik ke arahnya, seolah ia sedang membicarakan sesuatu mengenai dirinya. Begitu pula saat ia hendak pergi, tapi Roni memaksanya untuk tinggal lima menit lagi. Roni pun juga terlihat mengambil telepon genggamnya dan mengirimkam pesan kepada seseorang. Mungkinkah Roni menyuruh seseorang untuk mencuri sepeda motornya dengan kunci cadangan yang diam-diam masih ia simpan? Ya, mungkin saja. Dugaan itu diperkuat dengan sikap Roni yang tidak mengantarkannya sampai ke gerbang depan saat mereka berpisah. Begitu pula saat Adi menanyakan kepada orang-orang sekitar, di mana Adi memarkir sepeda motornya. Mereka sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Karena biasanya pencuri sepeda motor akan menunjukkan gelagat yang aneh dan kesulitan saat membobol kuncinya. Segera Adi meraih telepon genggamnya yang tadi ia lempar begitu saja di sampingnya. Ia menggulir phonebook-nya dan mencari nama “Roni” di sana. Ketemu! Tanpa pikir panjang Adi menekan tombol dial. Namun, beberapa kali ia mencoba menghubunginya, teleponnya tidak pernah tersambung. Roni seperti menonaktifkan telepon genggamnya atau memblokir namanya agar ia tak bisa menghubunginya. “Ah, sial!! Harusnya gue udah curiga dari tadi!” pekik Adi dengan keras sambil melemparkan sebuah mainan kayu milik Sila yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Karena emosi, ia lemparkan mainan itu ke arah lemari pakaian yang juga terbuat dari kayu, hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. “Ada apa Mas??” tanya Dina yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar sambil menggendong sila yang tengah menangis karena kaget mendengar bunyi yang keras “Aku udah tau siapa yang ngambil motorku!” ucap Adi dengan nada emosi. “Memangnya siapa Mas? Trus Mas mau ke mana?” tanya Dina lagi karena Adi terlihat terburu-buru membereskan pakaiannya dan sepertinya hendak pergi. “Aku harus balik lagi ke pabrik dan ketemu sama Roni. Aku mau minta penjelasan sama dia!” “Hati-hati ya Mas,” ucap Dina yang merasa khawatir, apalagi ia pergi dalam keadaan sangat emosional. Namun, ucapannya itu tidak didengar oleh Adi karena ia sudah berlalu, pergi dengan cepat meninggalkan Dina yang sebenarnya masih ingin bicara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN