14. Malam Perpisahan

1223 Kata
Adi mengerjapkan matanya beberapa kali ketika terbangun tengah malam dan mendapati Dina masih terjaga. Waktu sudah menunjukan hampir pukul dua pagi ketika Adi menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di salah satu dinding ruangan. Adi sudah bisa menebak bahwa Dina sama sekali belum terlelap, karena tisu kering yang tadi ia letakkan di atas bantal milik Dina, masih belum bergeser dari tempatnya. Entah sejak kapan Dina mulai memandangi Sila yang sudah pulas di ranjang sebelah. Ya, Dina dan Adi sengaja meletakkan dua ranjang berukuran kecil di dalam kamar mereka. Biasanya Dina tidur bersama dengan Sila, sementara Adi tidur sendiri di ranjang satunya. Tapi malam ini, Dina sengaja berpindah ke ranjang Adi setelah berhasil menidurkan Sila, sesuai permintaan suaminya. “Diinn … kamu belum tidur?” tanya Adi sembari ikut duduk dan menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur, hingga selimut yang menutupi tubuh bagian atasnya tersingkap dan memamerkan dadanya yang bidang dan dipenuhi bulu-bulu halus. Setelah Dina menidurkan Sila tadi, giliran Adi yang mendapatkan sepenuhnya waktu Dina. Malam itu adalah malam terakhir mereka sebelum berpisah, dan Adi menginginkan malam itu menjadi malam yang berkesan untuk Dina. Segala bentuk perlakuan romantis Adi lakukan untuk memuaskan Dina. Mereka b******u mesra merengguk kenikmatan dunia, hingga melupakan Sila yang berada dalam satu kamar yang sama. Beruntung Sila tidak terbangun dan merengek seperti biasanya. Seolah ia memberi kesempatan ayah bundanya untuk memadu kasih. “Eh, Mas Adi. Kanapa bangun?” Dina balas bertanya sembari menoleh. Ia naikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur dan duduk menghadap ke arah Adi. “Lhah, kok malah nanya. Kenapa? Kamu masih ragu untuk ninggalin Sila? Atau kamu ngga percaya kalau aku bisa ngerawat dan ngejaga Sila?” “Bukan gitu, Mas ….” Belum juga Dina selesai menjelaskan, Adi sudah kembali berbicara. “Ngga ada yang paksa kamu buat kerja di luar negeri. Masih belum terlambat kok kalo kamu mau berubah pikiran. Kita tetep sama-sama di sini. Yaa …. Tapi kamu harus sabar dengan keadaan kita sekarang. Serba kekurangan, banyak hutang, masa depan ngga jelas. Sampe aku bisa punya modal untuk rintis usaha lagi. Ya kalo memang aku bisa diterima di perusahaan yang bagus, gaji tinggi, ngga masalah kok sebenernya. Kita kan bisa nabung dikit-dikit untuk modal nanti. Gimana?” Dina terdiam beberapa saat mendengar penjelasan Adi. Bukan karena ia ragu untuk tetap pergi ke luar negeri dan meninggalkan Sila, tapi ia tahu betul kalau Mas Adi sebenarnya berat untuk melepaskannya, entah karena alasan apa. Tapi setiap ditanya, pasti Mas Adi selalu menjawab kalau ia mengizinkan Dina pergi, lahir dan batin. Lagi pula, sampai kapan Dina harus menunggu Mas Adi mendapat pekerjaan yang layak? Yang Dina tahu, sekarang saja Mas Adi sudah tidak lagi mengirimkan lamaran pekerjaan. Setiap hari ia sibuk menarik ojek yang kini sudah lebih banyak memiliki pelanggan. “Mas ….” Dina menggenggam tangan Adi dengan lembut, yang langsung dibalas oleh Adi dengan mengecup punggung tangan Dina. Sisa-sisa romantisme beberapa jam yang lalu rupanya masih ada dalam jiwa Adi. Hal yang sangat jarang ia lakukan. Bahkan mungkin terakhir kali Adi melakukannya saat mereka masih pacaran dulu. “Engga, Mas. Aku sama sekali ngga ragu. Aku yakin Mas Adi bisa ngerawat Sila dengan baik. Walaupun kehidupan kita sekarang seperti ini, tapi Mas Adi adalah suami dan ayah yang bertangung jawab. Berapa pun penghasilan yang Mas Adi dapatkan, aku tahu Mas Adi sudah berjuang keras untuk untuk itu …. Tapi kita kan sudah pernah bahas ini Mas. Mas Adi bilang ngga masalah, Mas Adi mengizinkan. Aku janji Mas, akan mewujudkan keinginan Mas Adi untuk punya usaha sendiri.” “Iya, iya … aku kan cuma tanya,” sahut Adi sambil memajukan posisi tubuhnya ke depan untuk menggapai kepala Dina dan membelai rambutnya dengan lembut. “Soalnya kamu keliatannya berat banget ninggalin Sila. Tuh, buktinya jam segini kamu belum tidur sambil ngliatin Sila. Takutnya besok kesiangan, kamu cape, nanti ngga fokus ngikutin kegiatan.” “Iya Mas.” Adi kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidur. Direntangkan tangan kirinya dengan telapak tangan kanan menepuk-nepuk bahu bagian depan sebelah kiri. Ia meminta Dina untuk bersandar di bahu bagian depannya agar lebih intim. Seperti itulah biasanya Dina dan Adi jika tengah berbincang santai sebelum tidur malam, atau dalam bahasa populernya sering disebut pillow talk. Dina pun langsung mengerti dengan bahasa tubuh yang ditunjukkan Adi. Sambil tersenyum manis, Dina segera mendekat ke arah Adi dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan suaminya itu. Terasa angat dan nyaman. Seketika beban hidup lenyap begitu saja. “Mas?” “Hm?” “Mas Adi … bakal setia kan nunggu aku pulang?” tanya Dina lirih. Mendengar pertanyaan itu, sontak membuat Adi langsung tertawa terbahak. Tapi buru-buru ia menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan ketika teringat ada Sila, putri mereka yang sedang tidur di ranjang samping. Adi tidak ingin membangunkannya. Terlihat Sila menggeliat dan sedikit merengek karena kaget, tapi untungnya ia kembali tertidur setelah Dina bersenandung kecil. “Memangnya ada yang lucu?” tanya Dina sambil mengerutkan keningnya. Masih dengan menahan tawanya. Adi mengelus kepala Dina dan mendekapnya lebih erat. “Kamu nih nanyanya ada-ada aja. Jadi kamu masih curiga sama Mba Siska?” tanya Adi tanpa nada marah. Adi benar-benar sudah melupakan masalah mereka saat itu dan berjanji untuk tidak akan mengungkitnya lagi. Mungkin wajar jika saat itu Dina sampai menaruh curiga seperti itu. Semua memang serba kebetulan. Kecurigaan Dina benar-benar sangat masuk akal setelah Dina menceritakan semua yang terjadi. Dina hanya diam, tak menjawab pertanyaan Adi karena takut mereka kembali bersitegang. “Nih, kamu denger aku baik-baik ya. Kita ini sudah menikah, tanggung jawabku bukan hanya ke Mas Damar sebagai wali kamu, tapi juga kepada Allah. Apalagi sudah ada Sila di antara kita. Aku ngga mungkin macam-macam. Itu sama artinya dengan aku menggadaikan kebahagiaan Sila. Kamu tahu kan, kebahagiaan Sila adalah kebahagiaanku. Kalau saja aku boleh memilih, pasti aku juga ngga mau kita pisah kaya gini. Membiarkan kamu yang mengambil alih tugasku sebagai seorang suami. Kamu sudah banyak berkorban Din buat keluarga kecil kita. Makasih banyak ya, Din. Aku janji aku bakal nunggu kamu pulang. Kita pasti bakal rindu banget sama kamu. Dan aku janji … aku bakal jaga Sila baik-baik sampe kamu pulang nanti. Kamu akan liat Sila sudah tumbuh semakin besar dan cantik saat kamu pulang nanti,” ucap Adi panjang lebar, yang membuat Dina terharu sekaligus bangga memiliki suami sepertinya. Ia juga semakin yakin dengan keputusannya itu untuk bekerja di luar negeri, dan akan segera kembali, menata kehidupannya lagi seperti dulu. “Iya Mas … aku percaya sama kamu. Makasih ya, Mas.” “Eee … tapi kamu juga ngga boleh lirik-lirik di sana. Walaupun nanti majikan kamu lebih ganteng, lebih kaya, kamu juga harus inget, masih ada aku sama Sila yang nungguin kamu di sini,” pesan Adi. Karena tak jarang ia mendengar seorang istri yang pergi meninggalkan suami dan anaknya bekerja di luar negeri, namun akhrinya sang istri tidak pernah kembali karena tergoda dan akhirnya menikah dengan laki-laki di sana. “Iya Mas, iya. Aku itu berjuang untuk kalian. Jadi, ngga mungkin aku … eh, mau ngapain, Mas??” Perkataan Dina terhenti karena tiba-tiba saja Adi menarik tubuhnya hingga ia terbaring di tempat tidur. Lalu dengan cepat, ditariknya selimut yang sedari tadi menutupi tubuh bagian bawah Adi hingga menutupi tubuh keduanya hingga ujung kepala. Kini Dina benar-benar tidak bisa berkutik dalam dekapan Adi. Hal romantis kembali terjadi. Malam ini benar-benar milik mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN