15. Tatapan Dua Pasang Mata

1548 Kata
Dina melangkahkan kakinya pelan sambil memandangi setiap sudut ruangan di rumahnya dengan mata berkaca-kaca. Ditatapnya cukup lama setiap detail perabot dan barang-barang yang sudah sangat dihafalnya. Bahkan ia pun akan menyadari jika letaknya bergeser barang sejengkal. Setiap bagian ruangan beserta isinya itu yang nantinya pasti akan sangat ia rindukan. Kamar pribadinya bersama dengan Adi, di mana mereka biasa menyempatkan waktu sebelum tidur malam untuk berbincang-bincang santai, ruang keluarga di mana ia banyak menghabiskan waktunya bersama Sila dengan menemaninya bermain sekaligus melakukan pekerjaan rumah, juga ruang dapur yang selalu menjadi favoritnya untuk menyajikan hidangan-hidangan favorit untuk keluarga kecilnya. Dina sudah bisa membayangkan bagaimana kerepotan Adi nanti ketika harus mengurus Sila dan juga melakukan pekerjaan rumah. Bagi perempuan seperti Dina, mungkin hal itu sudah biasa ia lakukan. Itu bukanlah sesuatu hal yang sulit dan luar biasa. Ia bahkan bisa mengasuh anak sambil melakukan dua atau tiga pekerjaan rumah sekaligus, namun hal itu jarang sekali bisa dilakukan oleh para ayah dan suami. Karena menurut sebuah study ilmiah, seorang perempuan memiliki kemampuan lebih baik dalam melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu atau biasa disebut dengan Multy Tasking, dibandingkan dengan laki-laki. Seharian kemarin adik benar-benar memperlakukan nya seperti seorang ratu iya tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan pekerjaan rumah yang biasa dilakukannya semuanya adi sendirilah yang melakukannya termasuk menghandle sila bahkan adik melakukan pekerjaan rumah yang tidak ia lakukan setiap hari, seperti mengepel dan mengelap meja, lemari, dan juga pajangan dinding. Kini rumah kecil itu terlihat bersih dan juga wangi oleh pengharum dan pembersih lantai. “Unda … Unda ngapain di sini?” tanya Sila yang berlari ke arah Dina. Sepagi ini Sila sudah mandi dan sudah rapi dengan celana soft jeans warna biru dan kaos pink lengan panjangnya. Ia pun sudah sarapan dengan telur dadar yang Ayahnya buat. Hari ini Sila akan ikut mengantar Dina ke tempat pelatihan agar ia tahu di mana Bundanya akan tinggal untuk sementara. “Eh, ngga papa Sayang. Bunda cuma mau pastiin rumahnya udah bersih atau belum. Eh, ternyata udah bersih. Ayah emang hebat!” jawab Dina sambil menggandeng tangan Sila ke ruang depan. Mungkin Sila memang belum terlalu memahami kepergiannya kali ini dan berpikir Bundanya itu hanya pergi untuk beberapa saat. Jadi, biarlah Sila menggapnya seperti itu agar ia tidak terlalu rewel saat berpisah nanti. Di saat yang sama, Mba Siska datang bersama dengan putri bungsunya, Cica untuk melepas kepergian Dina. Ia tahu bahwa pagi ini Dina akan pergi ke tempat pelatihan, dan kemungkinan tidak akan kembali lagi ke rumah jika nanti visa kerjanya sudah turun. Sejak kesalah pahaman Dina dan Adi beberapa waktu yang lalu sudah terselesaikan, hubungan Dina dengan Siska pun berangsur baik. Bahkan kini keduanya semakin terlihat dekat dan akrab. Dina benar-benar menyesal dan merubah sikapnya. Ia tidak lagi diam dan menghindar ketika bertemu dengan Siska, tapi justru semakin ramah dan respect padanya. Dina benar-benar malu pada dirinya sendiri, walaupun ia menunjukkan sikap yang dingin, tapi Siska tetap bersikap ramah dan baik padanya. Itulah yang membuat Dina semakin yakin, Mba Siska tidak mungkin melakukan hal-hal yang buruk. Apalagi Siska pernah mengatakan bahwa ia sudah menganggap Dina seperti adiknya sendiri. Kecurigaan itu pun Dina kubur dalam-dalam dan ia simpan sendiri, berharap Mba Siska tidak menyadari alasan perubahan sikapnya saat itu. “Udah mau berangkat Mba?” tanya Siska sambil melangkahkan kakinya masuk ke teras rumah, ketika dilihatnya Dina tengah berjalan ke arahnya. “Eh, Iya Mba. Ini lagi nunggu Mas Adi beli obat-obatan dulu di warung depan. Katanya takut kalau sakit atau apa di sana susah nyarinya,” terang Dina tanpa ditanya. “Iya, mending bawa sendiri aja Mba, daripada repot. Kita kan ngga tau, di sana ada warung yang deket atau ngga. Iya kalau ada yang dimintain tolong, kalau ngga gimana,” sahut Siska membenarkan. “Iya, Mba.” Dina merasa sangat bersyukur, kehadiran Adi benar-benar telah melengkapi hidupnya. Adi yang begitu perhatian, Adi yang begitu protective, dan mau melakukan apa pun untuk meringankan pekerjaannya. Sejak kemarin, Adi-lah yang mempersiapkan segala keperluan Dina secara detail, termasuk obat-obatan. Bukan karena ia menginginkan Dina sakit, tapi lebih kepada sikap preventif. Apalagi selama ini ia tahu bahwa Dina sering kali bersikap cuek dengan kesehatannya sendiri. “Ini Mba, kebetulan tadi pagi-pagi aku udah ke pasar. Jadi, sekalian aku belikan ini. Ada arem-arem, tahu chrispy, sama dadar gulung. Siapa tahu bisa buat camilan di sana. Dan ini satu lagi buat Sila,” kata Siska sambil memberikan dua kantong plastik berwarna putih kepada Dina. “Waah … makasih banyak ya Mba. Pake repot-repot segala,” ucap Dina dengan senyum yang mengembang. “Ini sih membantu banget Mba kalo lagi laper,” lanjutnya dengan mengintip sedikit isi dalam kantong plastik itu. “Iya, sama-sama Mba. Hmm … sedih deh, nanti ngga ada lagi yang bisa diajak ngobrol. Aku pasti kehilangan banget lho, Mba.” “Mba Siska ini bisa aja,” sahut Dina sambil tertawa.”Eh, ayo duduk Mba,” ajak Dina yang baru tersadar, sejak tadi mereka hanya berdiri di teras rumah. Semantara Cica dan Sila sudah menghilang dari pandangan mereka. Saat ini, mereka pasti sudah asyik bermain di halaman belakang rumah. “Udah deh di sini aja. Eh, beneran lho. Kalau ibu-ibu di komplek sini tuh kebanyakan seneng ngegosip, ngomongin orang, jadi males deh. Takut nambahin dosa,” lanjut Siska sambil berbisik karena takut didengar tetangga yang lain. Dina hanya tersenyum simpul, tidak ingin menanggapi. Jika ia menanggapi, lalu apa bedanya ia dengan mereka? Dina pun tahu, Mba Siska tidak bermaksud apa pun dengan ucapannya tadi. Ia hanya berbicara sekilas untuk menegaskan perkataannya. Tapi, memang benar apa yang dikatakan Mba Siska. Tentu Mba Siska lebih mengenal karakter masing-masing tetangganya karena ia lebih lama tinggal di komplek perumahan itu. Sepertinya obrolan ibu-ibu komplek tidak seru jika tidak membicarakan seseorang. Dan Dina pun sempat berpikir bahwa kepergiannya ke luar negeri untuk menjadi TKW, kemungkinan akan menjadi perbincangan hangat di kelompok mereka. Ah, tapi Dina berusaha untuk tidak memperdulikan hal itu. Gengsi, bukan kata yang pas untuk menyelamatkan ekonomi rumah tangganya saat ini. “Mas Reno jadi pulang hari ini, Mba?” tanya Dina menanyakan suami Mba Siska yang rencananya akan pulang hari ini. Walaupun sudah lebih dari tiga tahun bertetangga “InsyaAllah jadi Mba. Biasa, kemungkinan sore sampe sini. O ya, bilangin sama Mas Adi, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bilang. InsyaAllah kalau aku bisa, pasti aku bantu. Trus kalau lagi repot, titipin aja Sila ke rumah. Cica pasti kan juga seneng, ada temen main.” “Wah, makasih banyak lho Mba sebelumnya. Iya, nanti aku akan bilang sama Mas Adi. Nah tuh dia, yang diomongin langsung nongol,” seru Dina yang langsung menoleh ketika terdengar suara mesin sepeda motor yang sudah sangat dikenalnya mendekat ke arah mereka. Siska pun ikut menoleh ke arah Adi dan menunggu sampai Adi berhenti dan memarkirkan sepeda motornya. Ia sempat menyapa Siska dengan melontarkan senyum padanya sembari menganggukkan kepala sebelum bertanya pada Dina. “Gimana? Mau berangkat sekarang?” tanya Adi sambil melangkah mendekat. Ia menoleh ke arah jarum jam yang ada di tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, sementara Dina harus sudah berada di sana pukul setengah delapan pagi. Jarak rumah mereka dengan tempat pelatihan itu pun cukup jauh kurang lebih hampir setengah jam perjalanan. Itu pun jika jalanannya tidak macet. “Boleh, Mas.” “Sila-nya mana?” “Kayaknya sih lagi main di belakang sama Cica.” “Ya, udah aku pangil Sila dulu ya,” sahut Adi sambil melepas sandalnya dan masuk ke dalam rumah, dengan menenteng kantong plastik hitam berukuran kecil di tangannya. “Aku pamit ya, Mba … maaf kalo selama ini aku ada salah sama Mba Siska. Aku juga nitip Sila ya Mba, kalau-kalau Mas Adi butuh bantuan Mba Siska,” ucap Dina sambil menyalami Siska. “Iya, Mba. Ati-ati ya. Semoga semuanya lancar dan bisa cepat kembali lagi ke Indonesia,” sahut Siska. Keduanya pun saling berpelukan dan tidak menyadari ada dua pasang mata yang mengawasi mereka balkon rumah. *** Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh lima menit menggunakan sepeda motor, akhirnya Dina sampai ke tempat pelatihan TKW. Selama perjalanan itu, Sila yang didudukkan di jok tengah, antara Dina dan Adi sempat tertidur. Mungkin ia masih mengantuk karena bangun terlalu pagi. Dan begitu sepeda motor berhenti di sebuah pintu gerbang besar bercat putih itu, Sila langsung terbangun. Ia terlihat bingung dan menoleh ke sekitar. “Kita sudah sampe, Sila. Sila nanti pulangnya hati-hati ya sama Ayah. Sila jangan bobo ya kalo duduk di depan. Nanti Ayah susah peganginnya,” ucap Dina yang kini sudah menggendong Sila dalam dekapannya. Sila sendiri masih terdiam karena mungkin masih mengantuk. “Bunda pergi dulu ya, Sila,” kata Dina, yang berusaha menahan air matanya. Ia tidak ingin menangis lagi di hadapan Sila agar Sila pun menganggap perpisahan ini bukanlah sesuatu yang berat dan menyakitkan. Didekapnya erat tubuh kecil Sila yang masih dalam gendongannya. Diciuminya pipi Sila dengan lembut beberapa kali. Dengan berat hati, ia pun memberikan Sila pada Adi. Dan segera melangkah masuk ke dalam pintu gerbang setelah berpamitan dengan suaminya itu. Ia melangkah dengan cepat sebelum Sila merengek, yang membuat Dina semakin sulit untuk meninggalkannya. Semakin jauh melangkah, samar-samar Dina mendengar tangisan Sila yang membuat hatinya terasa teriris-iris. Sengaja ia tidak menoleh agar Sila tak menangis berlarut-larut. Lagi pula sebelum ia benar-benar terbang ke Malaysia, sesekali Sila masih bisa datang berkunjung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN