Bagian 9

1520 Kata
Nisa menatap Arvin yang saat ini menatapnya juga. Setelah kejadian tempo hari, Arvin sedikit menjaga jarak darinya dan itu sukses membuat bagian sisi hatinya hampa. Arvin yang selalu ada untuknya, yang selalu menemani dirinya ketika ada waktu luang, beberapa hari yang lalu tidak mendekati Nisa sama sekali. Baru hari ini, Arvin mengajaknya bertemu. "Makan, Nisa. Jangan lihatin kakak terus." Nisa tidak menanggapi dia menatap Arvin lekat seraya bertanya, "kenapa kakak menjauh?" Arvin menghentikan makannya, mereka saat ini tengah berada di ruangan Arvin, makan bersama dengan makanan yang dibawa Arvin dari rumah, karena dia tahu Nisa sangat jarang makan makanan luar. Mereka sekarang berada di ruangan Arvin, banyak dosen yang mengetahui bahwa Arvin menyukai Nisa, jadi ketika Nisa diajak keruangan Arvin tidak ada yang protes karena paman dari Arvin adalah rektor universitas ini. Tidak ada yang berani macam-macam atau sekedar menggosipkan Arvin. "Kakak Enggak menjauh. Kenapa?" "Berapa hari inikakak menghindari Nisa. Saat bertemu dengan Nisa kakak seolah enggak kenal dengan Nisa," ungkapnya sedih. Arvin Menghela Nafas, dia menatap nNisa dengan lembut. "Kakak tidak bermaksud, Nis. Kakak beberapa hari yang lalu banyak hal yang harus di urus ada pekerjaan penting, jadi tidak sempat untuk berbicara sama kamu," jelasnya lembut. "Kenapa kamu sedih? Bukannya kamu engga ada perasaan apa-apa sama kakak?" Arvin sedikit bahagia ketika Nisa berkata seperti itu. Menandakan bahwa gadis itu merindukan dirinya. Nisa terdiam, dia melepaskan tatapan mereka. "Kakak lanjutkan saja makannya. Nisa juga lapar ingin makan." Arvin Menghela nafas dan segera memakan makanannya. Setelah selesai Nisa pamit untuk pulang terlebih dahulu karena kelasnya sudah selesai. "Hati-hati, kamu di jemput kan?" Nisa mengangguk. "Iya. Assalamualaikum." "Waalaikum salam." Arvin menatap Nisa yang kian menjauh, dia ingin sekali segera menikahi gadis itu, dia sangat mencintai Nisa, dia ingin memiliki gadis itu. *** tiga bulan berlalu... Nisa duduk dihalte dekat dengan kampusnya, dia sedang menunggu abangnya namun tidak kunjung datang. Ingin menelfon Azzam, namun sayang sekali baterai ponselnya habis karena kemarin lupa dia cas. Nisa memilin tanganya, pandangannya mengedar menatap lalu lalang kendaraan yang berjalan. Dia ingin naik angkutan umum, tapi Azzam tadi berpesan agar dia menunggu sampai dia datang, akhirnya dia memutuskan untuk menunggu. Sedangkan dari arah lain, seseorang mengendarai mobilnya dengan kecepatan pelan, saat lewat di halte bus, matannya yang tajam melihat seseorang yang beberapa hari menghantui pikirannya. Terhitung hampir 3 bulan dia tidak bertemu dengan seseorang yang telah dia rusak hidupnya. Diberhentikannya mobil mewah tersebut tak jauh dari halte. berjalan pelan sembari memastikan bahwa wanita itu benar-benar adalah orang yang dua bulan yang lalu dia temui. "Kamu?" Nisa menoleh menatap siapa yang duduk di sebelahnya. Matanya membelalak sempurna saat melihat seorang yang membuat dirinya tidak memiliki harga diri. Nisa beringsut menjauh, tetapi tanganya dicekal laki-laki itu. Nisa sudah meneteskan air mata takut jika kejadian bulan lalu terjadi lagi. "Lepas!" Laki-laki itu menggeleng dia menarik Nisa dalam pelakunya, entah apa yang dia rasakan, rasa bersalah itu menggerogoti hatinya. Nisa meronta untuk dilepaskan lagi-lagi kekuatannya tidak sebanding dengan laki-laki ini. Tubuhnya selalu lemas ketika mengingat kejadian dua bulan yang lalu. "Kamu jahat! Lepaskan saya. Jangan lakukan itu lagi, Nisa mohon." Mendengar nada memohon dari wanita yang bernama Nisa ini membuat dirinya semakin mengeratkan pelukannya. "Nisa salah apa sama kamu, hingga kamu melakukan itu kepada Nisa. Lepaskan Nisa!" Nisa Terus berontak membuat Laki-laki itu melepaskan pelukannya dan menangkup wajah sembab Nisa. "Maaf." Nisa memukul d**a laki-laki itu, hingga tangannya sakit dan tubuhnya lemas. Pukulannya semakin lemah dan matanya kian terpejam. laki-laki tampan itu terkejut dia mencoba membangunkan wanita ini namun tidak ada tanda-tanda jika perempuan ini sadar. "Hei bangun." Merasa tidak ada gunanya dia segera membopong tubuh mungil itu menuju ke mobilnya. Hingga sampai di rumah sakit Nisa belum sadarkan diri, membuat hatinya khawatir. Laki-laki tampan dengan rambut berwarna coklat itu menunggu dengan tidak sabar. Saat dokter keluar dari ruang pemeriksaan, dia segera bangkit. "Bagaimana keadaannya, dokter?" Dokter Laki-laki paruh baya itu tersenyum. "Apakah anda suaminya?" Laki-laki itu terdiam sejenak, Suami? Bahkan dia baru tahu nama perempuan itu hari ini, mana ada orang tidak saling kenal menjadi suami istri. "Iya," jawabnya tidak yakin. Dokter itu tersenyum dan menepuk bahu kekar Laki-laki itu. "Selamat, istri anda tengah hamil. Untuk memastikan usia kandungannya anda bisa membawa istri anda kedokter kandungan. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Jaga istri anda, jangan sampai stres. Saya permisi." Setelah kepergian dokter tersebut, laki-laki tampan itu diam didepan pintu dimana wanita yang hamil anaknya tengah tak sadarkan diri. Air matanya menetes dia yakin itu adalah anaknya, anak kandungnya. Kenapa dia yakin? Karena dia yang merenggut kehormatan wanita ini. Senyumnya melengkung indah, kala membayangkan jika dia akan menjadi seorang ayah dari anak kandungnya sendiri. Dia menyusut air mata bahagianya dan segera masuk menemui wanita yang tengah mengandung darah dagingnya. Dia duduk di bangku, tangannya mengelus kepala Nisa dengan lembut, senyumnya tidak kunjung pudar, seolah dirinya adalah orang yang paling bahagia saat ini. Walau janin itu hadir karena kebejatannya, sungguh dia tidak menyesal melakukan itu. Dia bahagia, dia akan menjadi seorang ayah dari darah dagingnya sendiri. Egois bukan? Tanpa sungkan dia menyibak baju yang dikenakan perempuan cantik itu. Air matanya lagi-lagi menetes, saat tangannya mengelus perut yang di Dalamnya ada darah dagingnya. "Kamu hadir di sini, Nak?" Tanyanya penuh haru. Setelah puas mengelus perut datar Nisa, dia menatap Nisa dengan tatapan haru. "Terima kasih," ujarnya tulus. Nisa yang mengerjapkan matanya, dia mengedarkan pandangannya mencari tahu dia ada di mana sekarang. "Kamu sudah bangun?" Pertanyaan lembut seseorang itu membuat Nisa menoleh. Nada lembut itu membuat Nisa mengerjap, selama satu Minggu dia hidup dengan laki-laki yang memperkosanya baru kali ini dia mendengar nada lembut sarat akan perhatian itu kepadanya. "Nisa ada dimana?" Laki-laki itu menggenggam tangan Nisa, Nisa tersentak Ingin dia melepaskan genggaman tangan itu, namun ditahan oleh laki-laki iti. "Saya akan bertanggung jawab." Nisa mengerjapkan matanya, apa maksud Laki-laki ini, bertanggung jawab apa maksudnya? "Apa yang harus di pertanggung jawabkan?" Laki-laki itu tersenyum, dia mendudukkan Nisa dan langsung memeluk Nisa dengan sangat erat, dengan air mata yang tidak bisa dia bendung. Nisa segera melepaskan pelukan laki-laki itu, dia sedikit beringsut menatap curiga pada pria yang ada didepannya saat ini. "Maafkan saya. Maafkan saya," ungkapan penuh rasa penyesalan itu membuat Nisa bingung. Nisa tahu apa yang dimaksud Laki-laki ini, dia menahan gejolak air mata dan amarah saat mengingat kejadian dua bulan yang lalu. Namun hatinya yang selembut sutra membuat dirinya gampang memaafkan orang lain, dia tidak ingin membenci siapapun, dia tidak ingin mengotori hatinya dengan membenci orang lain. Semua sudah terjadi, tidak bisa diputar atau diulang lagi. "Maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang membuat saya dengan tega menyekap dan menyentuh kamu. Maafkan saya, izinkan saya untuk bertanggung jawab, atas kamu dan anak kita." Tubuh Nisa menegang mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Laki-laki yang tengah memeluknya saat ini. Jemarinya semakin erat mencengkeram seprai dibawahnya. Isakkanya mulai keluar membayangkan dalam rahimnya ada janin kecil yang akan mengisi hidupnya. "Enggak, Nisa enggak mau hamil. Nisa enggak mau." Nisa menatap kosong kepada laki-laki itu, dia menggeleng. Apakah dia jahat terhadap anaknya sendiri? Dia hanya belum siap, dan apa kata orang jika dirinya ketahuan hamil diluar nikah. "Saya akan bertanggung jawab, kita akan segera menikah." "Enggak, Nisa enggak mau hamil. Nisa mau pulang!" "Saya mohon tenanglah, apa kamu tega membunuh anak kandung kamu sendiri? Dia anak kamu. Dia darah daging kamu. Saya mohon pertahankan anak ini. Kita menikah ya? Dan juga saya mohon maaf kan saya." Nisa terdiam, dia menunduk dalam, tangan meraba perutnya sendiri. Benar kata laki-laki itu, tapi dia belum siap jika umi Abi dan semua orang tahu. Nisa Menggeleng, dia tidak kenal laki-laki ini bagaimana mungkin dia akan menikah dengan laki-laki yang tidak dia ketahui namanya. Walaupun paki-laki itu sudah tahu dan sudah menyentuh tubuhnya. "Nisa memaafkan kamu. Tidak perlu bertanggung jawab. Nisa akan merawat ini sendiri." "Apa maksudmu? Saya akan bertanggung jawab, dia anak saya." "Tidak usah. Nisa bisa merawatnya sen--" "Kamu memang bisa merawatnya Sendiri, tapi bagaimana dengan tanggapan masyarakat yang mengetahui kamu hamil di luar nikah? Dan anak ini akan di cap sebagai anak haram jika lahir tanpa adanya pernikahan. Biarkan saya bertanggung jawab. Pikirkan jika dia sudah besar, dia pasti akan merasa sedih jika mengetahui jika dia anak yang lahir di luar nikah." Nisa terdiam, isakkanya semakin jelas ketika menyadari apa yang dibicarakan laki-laki ini benar adanya. Apa dia sanggup mendengar cacian masyarakat jika mengetahui jika dirinya hamil diluar nikah, apalagi orang tuanya sudah mendapatkan image baik dari masyarakat. Walaupun image baik itu dia nodai dengan dirinya yang tidak berhijab. Apa dia harus menambahkan aib lagi untuk kedua orang tuanya. Laki-laki itu mengelus wajah Nisa dengan lembut. "Saya tahu, kamu belum mengenal saya. Tapi biarkan saya bertanggung jawab terhadap janin ini dan kamu." Nisa menatap manik mata tajam laki-laki itu tidak ada keraguan sama sekali. Apa yang harus dia lakukan. "Nisa belum mengenal kamu. Dan Nisa tidak mau menikah dengan kamu. Lanjutkan hidup kamu seperti biasa. Nisa bisa melewati ini semua sendiri." Nisa melepaskan selang infus dari tangannya, perih, namun tidak dia rasakan. Laki-laki itu diam, tidak menahan Nisa, dia tau perempuan itu butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Nisa keluar dari rumah sakit tersebut, dia mencari taksi dan segera pergi. Tanpa sadar jika laki-laki yang tadi bersamanya mengikutinya dari belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN