Bagian 8

1377 Kata
Nisa menatap sendu punggung Arvin yang semakin menjauh. Dia menyusut air matanya dan menatap cincin indah yang membuat hatinya sakit. Cincin dengan dibumbui berlian itu sangat cantik, akan lebih cantik jika cincin ini nanti akan membawa kebahagiaan untuk mereka. Nisa menggeleng, dia tidak pantas membersamai sosok Arvin. Laki-laki tampan, baik dan tidak pernah melakukan hal aneh ketika bersama dirinya. "Nisa enggak pantas untuk Kak Arvin, Nisa kotor Kak. Nisa enggak bisa jaga diri Nisa Sendiri, Kak. Kakak akan kecewa jika mengetahui apa yang telah terjadi kepada Nisa." Nisa menangis sendirian, sungguh dalam hatinya dia mencintai Arvin, tetapi dia sadar dia bukan wanita baik-baik. Harga dirinya sudah direnggut oleh laki-laki yang tidak dia kenal. Membayangkan kejadian itu membuat tubuhnya bergetar hebat. "Nisa?" Nisa Mendongakkan kepalanya dan menatap siapa yang memanggil dirinya. Dia langsung memeluk laki-laki yang satu bulan ini berubah sangat menyayanginya dan sangat perhatian terhadap dirinya. "Dek, ada apa?" Tidak ada jawaban dari adiknya. Hanya Isak kecil dari Nisa yang dia dengar. Azzam mengelus kepala adiknya dengan lembut, sesekali dia mencium pucuk kepala adiknya menyalurkan kasih sayang yang mendalam. "Nisa enggak pantas buat Laki-laki manapun. Nisa kotor, Bang." Azzam menarik nafas dalam, dia tahu kejadian satu bulan yang lalu menumbuhkan trauma tersendiri kepada adiknya. Penyesalan selalu membuat Azzam nelangsa, seharusnya hari itu tidak ada pertengkaran yang terjadi, jika saja tidak ada pertengkaran, kejadian naas itu tidak akan terjadi pada sang adik. Azzam menarik nafas dalam dan melepaskan pelukannya. Dia merangkum wajah Nisa, menatap mata sembab itu dengan penuh kasih sayang. "Jangan Bilang seperti itu. Akan ada Laki-laki baik yang akan mendampingi kamu. Lupakan kejadian kemarin. Percaya sama abang, kamu akan menemukan orang yang mencintai kamu dengan tulus. Orang yang tidak akan mempermasalahkan masa lalu kamu. Paham?" Nisa menatap Azzam, dalam hati dia mengaminkan apa yang dikatakan kakaknya. Dia mengangguk pelan, pertanda paham atas penjelasan Azzam. "Ya sudah kita pulang ya? Abi dan umi sudah menunggu kita di rumah." Nisa mengangguk dan kemudian pulang kerumah bersama sang Abang. *** Di lain tempat, sosok tampan yang saat ini tengah dikuasai amarah. "Gia!" Teriak Arvan saat sampai di rumah orang tuanya. Anggia thalia, wanita berhijab yang saat ini tengah mengandung seorang janin. Gia yang duduk di sofa dengan membaca majalah menatap suaminya yang sudah pulang. "Ada apa, Van?" Bukan suara Gia, melainkan suara Mama Arvan, Rita. Arvan tidak mengindahkan pertanyaan mamanya, dia menghampiri Gia yang masih setia dengan majalah miliknya. "Gia?" Dengan sekuat tenaga dia menahan emosinya, dia tidak ingin urusan rumah tangganya di ketahui oleh orang tuanya. Apalagi sang mama, sedari awal sangat tidak menyukai Gia. "Ada apa, Van?" Arvan menghela nafas mencoba meredam amarah yang ingin dia lampiaskan. Segera Arvan menarik Gia agar mengikutinya. Mama Arvan hanya diam menatap anak bungsunya menarik sang istri. "Seharusnya kamu mendengarkan mama, nak," gumamnya pelan. "Apa sih, Van. Kenapa kamu kasar sama aku. Sakit Van, lepasin!" Arvan menarik nafas dalam dan mencoba menggenggam tangan seseorang yang sangat dia cintai dengan lembut. "Kamu dari mana tadi? Kenapa kamu bertemu Laki-laki lain?" Tanyanya penuh selidik. Gia terdiam, tidak menjawab pertanyaan dari Arvan. "Kamu sudah menyetujui waktu kamu minta aku bertanggung jawab, bahwa kamu tidak akan pernah menemui laki-laki lain. Tapi kenapa kamu melanggar itu? Aku sudah berkorban untuk kamu, tetapi kamu begini? Kenapa kamu enggak berubah!" Gia mendongak, "mau bagaimana pun juga,--" "Cukup! Aku tau dia ayah dari anak kamu. Kenapa kamu selalu membela dia, kamu sendiri tahu bukan, apa yang dia lakukan sama kamu. Kalau dia menganggap anak ini anaknya, dia akan bertanggung jawab. Bukannya tidak mau!" "Van, aku mohon dengerin aku dulu. Aku bertemu dengan dia hanya meminta dia untuk tidak menganggu aku lagi. Enggak Lebih. Aku mohon percaya sama aku," jelasnya seraya menatap lekat mata Arvan dengan tatapan sayu. Dia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hati suaminya itu. Arvan menghela nafas, kelemahannya hanya menatap mata gia yang sendu, dengan segera dia memeluk Gia dengan erat. Sebenarnya ada rasa bersalah yang menyeruak kala teringat dia juga sudah mengkhianati Gia. "Maaf, aku Hanya cemburu karena melihat kamu dengan dia. Aku tidak ingin kehilangan kamu." Gia tersenyum, entah senyum apa yang dia tunjukkan. Dia mengangguk dan membalas pelukan suaminya. "Aku ingin meminta sesuatu, boleh?" Ucapnya dengan manja. Arvan mengangguk. "Aku ingin kita pindah rumah. Aku enggak betah di sini. Mamamu dengan terang-terangan menunjukkan kebenciannya terhadap aku. Aku enggak bisa lama-lama tinggal di sini." Arvan melepaskan pelukannya, dia menatap tidak suka atas apa yang diutarakan oleh Gia. "Mamaku juga Mamamu Gia. Aku menikahi mu bukan hanya menikahi diri sendiri, tapi juga menikahi keluargamu. Sama seperti dirimu, jika kamu sudah menerima pernikahan ini seharusnya kamu juga menerima semua keluarga ku." Gia memutar bola matanya malas, membuat Arvan menatapnya tajam. "Tidak pantas kamu memutar bola mata malas seperti itu. Aku suamimu, Gia." Gia melepaskan diri dari Arvan dan menatapnya tak kalah tajam. "Suami? Suami yang tega membiarkan istrinya di rumah yang semua keluarga tidak ada yang menyukai ku?" Arvan mengepalkan tangannya, dia menarik bahu Gia agar mendekat kearahnya. "Kalau kamu merasa tidak disukai, kenapa kamu tidak mencoba mendekati mama dan papa? Kenapa kamu selalu diam dan tidak mau berbaur dengan mama dan papa? Harusnya kamu bisa mengambil hati mereka!" Gia menatap Arvan, "kamu enggak pernah ngertiin aku, Van!" "Ini juga keluarga kamu, Gia! Aku enggak akan pindah dari sini. Aku kepala rumah tangga di sini, jadi kamu harus menurut!" Setelah mengatakan itu, Arvan segera beranjak dan keluar dari kamar dengan membanting pintu depan kasar. Dia turun ke lantai bawah dan duduk disofa dengan wajah kesal. "Van, Lo kenapa?" Laki-laki tiga tahun lebih tua darinya itu membuat Arvan menoleh. "Pusing, Gue Vin," gumamnya. "Kenapa lagi sih? Istri Lo?" Arvan mengangguk, dia tidak pernah bohong kepada Abangnya ini, semua keluh kesah yang di hadapi selalu dia utarakan. Begitupun dengan abangnya, dia juga tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari adiknya. "Gue udah saranin dari dulu, lo enggak usah tanggung jawab apa yang bukan kesalahan lo. Eh Lo malah ngeyel mau tanggung jawab." "Gue cinta sama dia, Vin." "Cinta enggak harus memiliki kan. Lo mengorbankan masa depan lo hanya untuk dia yang hanya memanfaatkan diri lo. Tapi ya sudahlah, semuanya telah terjadi. Lo harus menghadap ini semua. Gue harap Lo bisa bahagia. Walaupun Gue yakin lo enggak akan bisa bahagia kalau terus-terusan sama dia." Arvan Menggeleng lemah dia menatap Arvin yang saat ini juga sedang menatapnya. "Capek gue. Udahlah gak usah di bahas. Gimana sama mahasiswi yang berhasil buat abang gue belum menikah hingga sekarang?" Arvin diam sejenak, kemudian mengalihkan ceritanya. "Cari yang lain aja," ujar Arvan. "Enggak bisa. Dia sudah ambil seluruh hati gue. Mana bisa gue cari yang lain sedangkan hati gue udah gue kasih semua ke dia," ujarnya pelan. Dia teringat kejadian tadi, sakit Tapi tidak apa, dia akan berusaha untuk memperjuangkan pujaan hatinya. "Jika gebetan lo nikah, apa yang akan lo lakukan?" Tanyanya iseng. Arvin menatap tajam adiknya. "Apa maksud lo? Lo do'akan semoga dia bukan jodoh gue?" Arvan terkekeh, dia menepuk pundak Abangnya. "Enggak, gue cuma tanya. Jawab aja." "Kalau dia bahagia, Gue bisa apa? Gue akan berusaha untuk ikhlas, walaupun sulit. Tapi jika dia tidak bahagia, enggak ada salahnya gue memperjuangkannya lagi, kan?Karena kebahagiaan dia adalah kebahagiaan gue juga." "Gue do'akan semoga dia adalah jodoh lo," do_a Arvan tulus . Arvin mengangguk dan mengaminkan doa Arvan. "Lo juga yang sabar, semoga saja Gia akan luluh akan cinta dan perjuangan lo. Tapi kalau lo udah enggak tahan. Gue orang paling depan yang akan mengurus gugatan cerai lo," ucapnya diiringi Kekehan pelan. "Sialan!" umpat Arvan kesal. Dia tidak tahu mengapa keluarganya sangat tidak menyukai Gia, padahal Gia gadis cantik yang berhijab. Arvin terbahak dan itu mengundang Papa dan mamanya. "Haduh, anak-anak mama pada kumpul. Seneng deh kalau lihat kalian seperti ini," ucap sang mama. Arvin dan Arvan tersenyum menatap mama dan papanya. Kedua orang tuanya duduk di sofa lain dan menatap kedua putranya dengan binar bahagia. "Vin, gimana dengan gadis itu?" Tanya sang Mama, lagi. "Dia baik kok, ma. Ada apa?" Rita memutar bola matanya jengah. "Hubungan kamu maksudnya, Vin. Gimana ada kemajuan apa enggak? Kalau sudah segera kita pergi ke rumahnya, iya kan, pa?" Suaminya mengangguk dan tersenyum menatap istrinya. "Do'akan saja, Ma. Semoga dia adalah jodohnya Arvin." Semua mengaminkan ucapannya. Arvin tersenyum, dia yakin cepat atau lambat gadisnya akan jatuh cinta kepada dirinya. Diapun yakin jika Nisa adalah nama yang tertulis indah di lauhul Mahfudz nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN