Bagian 10

1112 Kata
Nisa masuk ke dalam taksi dengan perasaan campur aduk. Harus kah dia menerima laki-laki itu, laki-laki yang namanya saja tidak diketahui. Dia menatap jendela, dalam benaknya dia ingin menghilangkan janin yang ada di kandungannya ini, namun hatinya tidak sanggup jika harus membunuh darah dagingnya sendiri. Nisa keluar dari taksi ketika sudah sampai tujuan. Kakinya lemas melangkah menuju ke dalam rumah. "Nisa!" Teriakkan Azzam membuat Nisa menoleh. Abangnya itu dengan panik keluar dari mobil dan berlari menuju tempatnya berada. "Nisa, kamu dari mana? Kakak cari kamu di kampus kok kamu gak ada? Abang khawatir." Azzam menatap adiknya dengan penuh kekhawatiran. Dia takut kejadian dua bulan yang lalu kembali terjadi kepada adiknya ini. Nisa mencoba tersenyum. "Nisa tadi ke toko buku sebentar. Tadi enggak sempat kasih kabar, ponsel Nisa mati. Maaf ya, bang." Azzam mengangguk. "Ya sudah, masuk sana. Abang mau kembali ke kantor." Nisa mengangguk dan segera masuk kedalam rumah. Pikirannya masih jelas teringat kejadian beberapa menit yang lalu, kabar dirinya hamil, bertemu dengan seseorang yang telah merusak dirinya. Nisa menghela nafas, rasanya tidak sanggup jika nanti ketika kabar dirinya hamil dan menyebar ke seluruh tetangga. Apa yang akan di hadapi umi dan abinya. * Matahari telah muncul dari persembunyiannya, pertanda pagi menyapa. Hari ini ada jadwal kuis oleh salah satu dosen killer, namun Nisa belum juga keluar dari kamar mandi. Sedari tadi dia merasakan mual yang teramat. Dia tidak pindah dari wastafel yang ada di hadapannya. "Nisa?" Perempuan itu menoleh, Nisa menatap umi dengan tatapan sayu. "Kamu kenapa, Nak?" Kekhawatiran terlihat jelas dari ibu dua arang itu. Nisa menarik nafas dalam. Dia beranjak dari tempatnya dan menghampiri Maryam. "Enggak apa-apa, Umi. Nisa cuma tidak enak badan." Maryam menatap putrinya khawatir. "Enggak usah masuk kuliah dulu ya, nanti umi izinkan." Nisa menggeleng dan tersenyum menatap Maryam. "Hari ini ada kuis, Umi. Nisa harus masuk. Nisa enggak apa-apa kok, nanti setelah minum obat juga sembuh. Umi enggak usah khawatir." Maryam menatap putrinya yang sedang mengambil tas. "Nisa lapar Umi, mau sarapan. Ayo." Nisa mengandeng tangan Maryam dan mengajaknya untuk keluar dari kamar. Maryam hanya mengikuti langkah sang putri, pikirannya berkecamuk saat ini, takut sesuatu terjadi pada putrinya. ** Sampai nya di kampus, Nisa segera masuk ke dalam kelas. Untung saja, dosen mata kuliah hari ini belum datang. Suasana kelas sudah penuh mahasiswa, hanya Nisa yang datang terlambat. "Gue kira gak masuk, Nis." Nisa menoleh ke samping, dimana sahabat-sahabatnya berada. "Masuk kok. Tadi emang agak macet jadi telat." Jawabnya dengan lembut. "Nisa?" Nisa menoleh ke sebelah kirinya. Dimana sakti yang saat ini menatapnya khawatir. "Lo beneran gapapa? Wajah lo pucet banget. Kita ke UKS aja ya?" Nisa menggeleng pelan. Dia tidak apa-apa, hanya sedikit pusing dan mual saja. Mungkin karena dia hamil muda, makannya seperti ini.. "Gapapa kok, Nisa baik-baik saja. Udah sana belajar dulu. Nanti kuis. Kalau enggak bisa, gak lulus nanti kita." Sakti menghela nafas pelan. Dia khawatir terhadap Nisa. Dalam hatinya, ada sedikit harapan ingin memiliki Nisa. Namun sayang, dia sudah minder terlebih dahulu karena saingannya Arvin, dosen mereka sendiri. Kalau kata Sakti, "kalah jauh gue boss." Setelah kelas selesai, semua mahasiswa keluar dari kelas dengan perasaan lega. Termasuk segerombolan Nisa dan sahabat-sahabatnya. "Gila tuh dosen, buat soal kek membangun rumah tangga, segala punya punya anak tuh soal." Semua terkekeh mendengar penuturan sakti. "Yang penting kan bisa jawab. Walaupun enggak tahu salah atau bener," ujar Fira. Mereka menuju ke kantin. "Iya guys, yang penting kita udah berusaha. Masalah hasil di pikir belakangan. Cepetan ayok, ke kantin. Cacing-cacing di perut gue udah pada demo." Sandi menarik tangan sakti, diajaknya laki-laki berlari meninggalkan teman-teman cewek yang berjalan santai. Belum sampai di kantin, Nisa di hadang oleh Arvin. Diajak nya Nisa ke taman belakang kampus setelah tadi berpamitan dengan Fira dan Rindu. "Kamu enggak apa-apa? Wajah kamu pucet banget, Nis." Nisa menampik tangan Arvin yang ingin memegang wajahnya. "Enggak apa-apa kok, Kak. Nisa baik-baik saja." Arvin menatap sendu gadis pujaannya. Akhir-akhir ini dia merasa keadaan Nisa kurang baik. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi kepada Nisa. "Mau cerita? Jangan pendam masalah kamu sendiri. Kalau kamu butuh tempat buat cerita, kakak siap dengerin cerita kamu." Nisa menatap Arvin yang saat ini juga menatapnya. Mengingat dirinya tengah mengandung anak dari orang yang tidak dia kenal, rasa tak pantas terus-terusan mengusik hatinya. Nisa tersenyum tulus. Digenggamnya tangan Arvin seraya berucap, "Nisa baik-baik saja kok, kakak enggak usah khawatir. Kalau ada apa-apa, Nisa pasti akan cerita sama kakak." Arvin menghela nafas panjang. Dia mengangguk dan kemudian mengambil sesuatu dari tasnya. "Ini ada n****+ baru. Kamu dari kemarin pengen ini kan?" Nisa menatap buku itu dengan binar bahagia. "Kok kakak tahu?" Arvin tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari binar mata Nisa. Kebahagiaan Nisa adalah kebahagiaan dirinya. Apakah takdir mengizinkan Arvin untuk selalu membuat Nisa bahagia seperti ini? Arvin berharap seperti itu, dia berharap menjadi seseorang yang membuat Nisa tersenyum dan bahagia. "Fira yang kasih tahu kakak kalau kamu pengen buku itu. Ya udah tapi kakak ke toko buku buat beli buku itu." Nisa menatap Arvin, jika menurut orang lain hal ini sepele, menurutnya ini adalah hal yang membahagiakan untuk Nisa. "Terimakasih ya kak. Kakak selalu tahu apa yang Nisa inginkan." Dipeluknya buku itu dengan erat, buku yang menceritakan tentang perjalanan seorang mualaf menarik perhatian Nisa sejak buku itu di luncurkan. Arvin mengangguk, apapun yang membuat Nisa bahagia akan dia usahakan. "Sama-sama, Nis." Nisa menyimpan buku tersebut didalam tas. Hampir semua buku novelnya Arvin yang membelikan. Membuat kesan tersendiri dalam hati Nisa. Namun, dia sadar dirinya terlalu rusak untuk Arvin yang sempurna. "Hari ini gimana kuisnya, Nis?" "Oke kok kak. Nisa bisa jawab pertanyaan dari pak Budi. Walaupun tadi agak kebingungan, tapi alhamdulillah terjawab semua." Arvin mengangguk mengerti. "Kalau misal nilai kamu jelek. Bilang kakak aja. Biar kakak yang nego sama pak Budi." Nisa memukul lengan Arvin pelan. "Jahat banget sih, doain nilai Nisa jelek?" Arvin terkekeh melihat wajah kesel Nisa. "Ya enggak gitu maksudnya, Nis. Misal kan itu." Nisa menggeleng. "Enggak ya kak, walaupun nilai Nisa nanti jelek. Awas aja ya kalau sampai kakak nego ke pak Budi. Enggak boleh kak." Arvin terkekeh pelan seraya berkata, "iya iya, kamu ke kantin sana. Kakak pamit ngajar dulu ya." Arvin bergegas memakai tasnya. "Iya kak, semangat ngajarnya. Jangan ganjen sama mahasiswi cantik ya, awas aja!" Ujar Nisa dengan tatapan sinis diakhir kalimat. Ucapan itu sontak membuat Arvin tersenyum. Dia mendekat kearah Nisa. "Emang kenapa? Kan kamu enggak ada rasa sama kakak." Nisa terdiam, dia sendiri yang mengatakan tidak ada rasa terhadap Arvin, namun hari ini dia keceplosan. "Apa sih! Udah sana Ngajar." Arvin terkekeh pelan. "Kalau sayang bilang saja, enggak usah ditutupi." Wajah Nisa merona karena malu. Dia memukul lengan Arvin pelan. "Udah sana! Ngajar!" "Siap ibu negara," ujar Arvin dengan kekehanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN