Bagian 11

2086 Kata
Arvan diam dalam mobil depan kampus kakaknya, hatinya gusar karena sedari tadi sosok yang dia tunggu tidak kunjung keluar. Arvan, sosok laki-laki yang menjadi alasan Nisa mengandung saat ini. Arvan menghela nafas berat, dia tahu apa yang dia lakukan salah, apa yang dia lakukan merusak hidup seseorang yang saat ini tengah dia tunggu. Dia kemarin sempat mengikuti arah kemana Nisa pergi, namun sayang, dia kehilangan jejak. Sosok cantik keluar dari gerbang kampus tersebut, Arvan segera keluar dan mendekati wanita yang tengah menunggu jemputan. Nisa tersentak saat tangannya di genggam oleh orang yang dia temui beberapa hari yang lali. "Mau apa kamu? Lepas!" Arvan menatap memohon kepada Nisa. "Saya mohon beri saya waktu. Saya ingin bicara sama kamu. Ayo ikut saya sebentar." Tanpa meminta persetujuan dari Nisa, tangan kekar Arvan menarik Nisa dengan sedikit kasar. Nisa mencoba melepaskan genggaman tangan itu, namun sayang dia sudah di tarik dan dimasukkan kedalam mobil. "Kamu mau apalagi? Tidak puas kamu merusak hidup Nisa!" Arvan menghela nafas panjang. Dia menatap wanita cantik yang saat ini sudah berkaca-kaca. "Saya mohon dengarkan saya." Arvan menangkup kan tangannya, memohon agar Nisa mau mendengarkan dirinya. Nisa menarik nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Setelah melihat Nisa terdiam dan tenang, Arvan mulai berbicara. "Saya tahu perbuatan saya memang kesalahan yang sangat fatal. Saya mohon biarkan saya menebus kesalahan itu. Biarkan saya bertanggung jawab atas kamu dan anak yang ada di dalam perut kamu." Nisa menghapus air matanya. Dia menggeleng pelan. Arvan menghela nafas pelan. Dia menatap seseorang yang saat ini menatap keluar jendela. "Apa kamu tidak memikirkan resiko yang akan terjadi, jika kamu melahirkan tanpa adanya seorang suami? Apa kamu tidak memikirkan orang tua kamu, jika kabar kamu hamil di dengar oleh orang lain?" Nisa menatap Arvan, jika masalah orang tua, dia sudah tidak bisa lagi membantah. Apa yang dikatakan laki-laki yang ada didepannya ini benar, bagaimana dengan keluarganya jika orang lain tau kehamilannya saat ini. "Berikan saya kesempatan untuk menebus dosa saya." Ungkapan dari hati itu membuat Nisa tersentuh. "Tapi kita tidak saling mengenal," ujar Nisa pelan. "Biarkanlah semuanya mengalir, setelah kita menikah kita akan mengenal satu sama lain. Saya mohon terima saya sebagai suami kamu. Saya mohon." Arvan memohon kepada perempuan yang saat ini mengandung anaknya. Hal yang tidak pernah dia lakukan kepada siapapun. Nisa menarik nafas dalam, mungkin dengan cara dia menikah, nama baik keluarganya tidak akan tercoreng. Nisa mengangguk pelan, membuat Arvan tersenyum lega. "Kita urus pernikahan kita secepatnya. Hari ini saya ingin ketemu sama orang tua kamu." Nisa hanya pasrah, dia mengangguk. Tangannya meraih ponsel menghubungi Azzam agar tidak menjemputnya. *** Nisa menangis tersedu-sedu dipelukkan sang Umi. Setelah tadi dia dan laki-laki dari janin yang dia kandungan itu berkata jujur, Abi langsung murka dan memukuli Arvan yang telah melecehkan putrinya. Fariz tahu siapa Arvan, dia adalah sahabat dari Azzam. Nisa melepaskan pelukan dari Umi, dia segera memeluk Abi dari belakang agar Fariz tidak memukul Laki-laki itu. Fariz menghentikan pukulannya. "Abi jangan dipukul lagi, kasihan dia, Abi," isaknya penuh permohonan. Abi membalikkan badannya dan menangkup wajah putrinya. Dia tidak tahu hati Nisa terbuat dari apa, jika wanita lain mungkin akan membiarkan ayahnya memukul seseorang yang telah menodainya. Tetapi Nisa tidak, bukanya Nisa murahan tetapi Nisa memang memiliki hati yang begitu tulus dan tidak bisa memendam kebencian terhadap siapapun. "Jangan sakiti dia, Abi. Tidak baik Abi memukulinya." "Kenapa, Nak? Dia adalah laki-laki yang telah menodai kamu. Biarkan Abi memberinya hukuman." Nisa Menggeleng. "Tidak perlu. Abi sering bilang kepada Nisa, jangan membalasnya kejahatan dengan kejahatan. Jangan mengotori hati Abi dengan kebencian, dia sudah mau bertanggung jawab, Abi. Nisa mohonkan maafkan dia." Laki-laki yang sudah lemas karena mendapatkan beberapa pukulan itu, menatap Nisa dengan tatapan kagum. Mengapa tidak ada rasa benci sama sekali di hati wanita itu, terbuat dari apa hati wanita itu. Fariz memeluknya anaknya dengan erat. Beruntungnya dia memiliki putri yang begitu besar hatinya untuk memaafkan orang lain. "Abi serakahkan keputusannya kepada kamu. Jika memang kamu menerima pertanggungjawabannya, Abi juga akan menerimanya." Nisa mengangguk dan tersenyum. Sedangkan Laki-laki itu juga ikut tersenyum, dia menghampiri Laki-laki paruh baya tersebut dan mencium tangannya penuh hormat. "Sekali lagi saya meminta maaf, Om." Fariz mengangguk dan menepuk bahu kekar Arvan, seraya berkata, "Saya percayakan putri saya kepadamu. Dia adalah gadis yang baik. Jaga dan bahagiakan, Nisa." Arvan nengangguk dan tersenyum, Nisa yang masih dalam dekapan Abinnya bernafas lega, setidaknya dengan dia menerima Laki-laki ini, dia tidak menambah aib orang tuanya. "Arvan?" Suara yang sangat dikenali keluarga Nisa beserta Laki-laki itu membuat kakinya lemas. Nisa melepaskan pelukannya, dan menatap abangnya yang mendekati mereka. Setelah sampai didepan Arvan yang tidak lain tidak bukan adalah sahabatnya sendiri dia menatap penuh tanya. "Ngapain Lo di sini?" Arvan meneguk ludahnya kasar, badannya lemas suaranya tercekat saat mengetahui jika wanita yang dia nodai adalah adik dari sahabatnya. Saat masuk kedalam rumah ini, dia baru sadar jika Nisa adalah adik Azzam. Maklum, sejak SMP Arvan sudah tidak pernah kesini lagi. "Adik lo hamil." Entah mengapa dia mengatakan hal itu. Azzam mengeryitkan dahinya, bukannya dia tidak terkejut tetapi apa masalahnya dengan sahabatnya ini. "Apa hubungannya sama lo?" Tanyanya tidak paham. Semua orang diam, tidak ingin ikut menjawab pertanyaan Azzam. Arvan menatap wajah sahabatnya, dia menarik nafas dalam, dia siap jika kepalan tangan akan mengenai wajahnya dengan kasar. "Gu--e, gu--e Ayah da--ri janin yang dia kandung." Tubuh Azzam terkulai lemas, kepalanya pusing serta dadanya berdegup kencang. Kakinya seakan tidak bisa menopang tubuhnya jika Abi tidak segera merangkulnya mungkin dia suka terjatuh dilantai yang dingin. "Jadi lo yang menghamili adek gue?" Tanyanya lirih. Arvan menarik nafas dalam kemudian mengangguk pelan. "Gue akan tanggung jawab." "Bagaimana Istri Lo!" Bentaknya tidak terima. Semua orang terkejut, mereka kira Arvan belum memiliki Istri hingga dengan berani mau bertanggung atas kehamilan Nisa. Nisa menarik tangan Arvan agar menghadapnya. "Kamu sudah mempunyai istri?" Tanya dengan mata yang berkaca-kaca. Arvan menatap Nisa yang ingin menangis, dia menangkup wajah Nisa dengan lembut. Hal itu tidak luput dari tatapan mata orang tua dan Azzam. "Saya berjanji akan bersikap adil." Nisa Menggeleng, dia memegang tangan Arvan yang menangkup wajahnya. "Tidak, Mas. Nisa tidak bisa menikah. Nisa enggak Ingin menyakiti hati kaum Nisa sendiri." Semua orang hanya diam menatap dua orang yang saat ini tengah berbicara serius. Melihat Nisa yang Mendongak karena tubuhnya lebih pendek dari Arvan, sedangkan Arvan dia menunduk untuk menatap manik mata indah yang mampu membuat dirinya terpesona. "Hei, kamu tidak ingin menyakiti kaummu tetapi kamu akan menyakiti anak kita juga Nisa. Apa tanggapan orang yang ada di luaran sana jika tahu kamu memiliki anak diluar nikah?" ujarnya tulus. "Tapi bagaimana dengan Istri kamu? Dia pasti tidak akan menerima Nisa." Arvan Menggeleng. "Saya akan berbicara dengan dia. Dia pasti bisa menerima kamu. Saya yakin dia akan menerima hubungan kita," ujar Arvan "Kenapa kamu begitu yakin?" Arvan menarik nafas panjang dan menatap manik mata Nisa dalam. "Saya belum bisa menjelaskan sekarang. Yang harus kamu tahu, saya akan menikahi kamu. Saya akan bertanggung jawab atas anak kita." "Kamu yakin?" Arvan mengangguk dengan senyum yang mampu menenangkan hati Nisa. Mungkin ini jalan terbaik untuk dirinya, dia hanya bisa berdoa semoga keputusan yang akan dia ambil adalah takdir terindah yang telah Allah rencanakan untuknya. Nisa melepaskan tangan Arvan dan menatap Umi Serta Abinnya. Nisa mendekatkan Umi dan Abinnya sedang-kan Faris dan Maryam beranjak dari tempatnya berdiri untuk duduk di sofa. Sungguh mereka tidak sanggup jika melihat putrinya harus menjadi yang ke-dua. Nisa duduk bersimpuh dihadapan kedua orangtuanya, Maryam sudah terisak sedangkan Fariz,dengan sekuat tenaga menahan gejolak air mata yang ingin keluar kala mendengar permohonan Nisa. "Izinkan Nisa menjadi istri yang kedua Abi, Umi. Nisa tidak ingin aib ini didengar oleh orang lain. Nisa enggak sanggup, kalian berdua akan mendengar cemoohan dari orang lain." Umi semakin terisak, sedangkan Abi menatap kepala Nisa yang menunduk. "Tidak, Abi tidak merestui! Abi akan mencarikan laki-laki lain yang akan menikahi kamu. Kamu tidak perlu menjadi yang kedua. Abi tidak rela!" Nisa Mendongakkan kepalanya dia menatap Fariz dengan tatapan sendu. Nisa Menggenggam tangan Abi, mencoba meyakinkan jika dirinya rela menjadi yang ke-dua. Fariz memalingkan wajahnya tidak kuasa melihat manik mata Nisa yang memohon. "Abi, Nisa tahu jika Abi tidak rela Nisa menjadi yang ke-dua. Tetapi dengan Abi mencarikan laki-laki lain, apa Abi bisa menjamin laki-laki itu bisa menerima Nisa dan anak Nisa? Abi, Nisa mohon beri izin Nisa, ridhoi jalan Nisa agar Allah juga ridho, Abi. Nisa mohon, Nisa yakin jika ini jalan terbaik untuk Nisa. Sudah cukup Nisa mencoreng nama baik keluarga kita dengan Nisa yang belum bisa berhijab, Nisa tidak ingin menambah aib lagi, Abi. Nisa mohon restui pernikahan ini." Fariz tetap dalam keterdiamannya, ayah mana yang rela melihat putri kecil yang sangat mereka sayangi sedari kecil menjadi istri kedua. Sungguh, Fariz tidak rela. "Tante, Om. Saya mohon restui jalan kami. Saya akan menjaga Nisa, membahagiakan Nisa. Saya mohon, berikan saya restu kalian. Saya ingin mempertanggungjawabkan perbuatan Saya. Saya mohon Om, Tante." Umi semakin terisak, dia menatap mata Arvan yang sangat tulus. Dia menangkup wajah putrinya yang sedari tadi menatap Fariz yang hanya diam. "Sungguh nak, Umi tidak rela. Ibu mana yang rela melihat anak yang telah dia perjuangkan antara hidup dan mati, besarnya harus menjadi istri kedua. Tidak ada perempuan yang rela menjadi yang kedua dan di duakan." Nisa menghapus air mata uminya. "Umi, Nisa yakin Nisa bisa. Nisa mohon restui Nisa. Nisa tidak mau menambah aib keluarga kita lagi Umi. Dengan Nisa segera menikah, kehamilan ini bisa kita sembunyikan. Nisa mohon." Umi menatap dalam manik mata Nisa, mencoba menyelami adakah keraguan pada diri anaknya itu. Tetapi hanya ada keyakinan dan keikhlasan yang dia dapat. "Kamu yakin?" Nisa mengangguk mantap, Umi membawa Nisa kedalam pelukannya, memeluknya erat menyalurkan kekuatan untuk anaknya. Ketidakrelaanya, kalah dengan tatapan tulus, ikhlas dan keyakinan yang Nisa tekadkan. "Jika memang ini jalan yang terbaik. Umi akan menuruti keinginan kamu. Umi akan selalu mendukung kamu. Umi sangat menyayangi kamu. Sebenarnya Umi tidak rela, tetapi melihat kamu yang sangat yakin, apa daya Umi, nak?" Nisa dan Arvan bernafas lega, setidaknya mereka sudah mengantongi restu dari sang Umi. "Umi merestui hubungan kalian. Arvan, jaga Nisa. Nisa adalah bidadari Umi, Umi sangat menyayanginya, teramat mencintainya. Umi harap, kamu bisa mencintai dan menyayanginya seperti Umi. Bahagiakan Nisa, nak. Umi mempercayakan Nisa kepada kamu," ucap Umi di bahu Nisa. Arvan tersenyum dan mengangguk mantap. Mereka pun lega luar biasa. Dia tersenyum dan melepaskan pelukannya, dia meraih tangan Fariz yang Sedari tadi enggan menatap dirinya. "Abi?" Panggil Nisa sendu. Fariz memejamkan matanya, dia melepaskan tangan Nisa dan beranjak berdiri. Nisa ikut berdiri dan segera mengikuti Fariz yang berjalan menuju kamar. "Abi, Nisa mohon dengarkan, Nisa. Nisa tahu Abi Sangat menyayangi Nisa, tetapi ini keputusan Nisa. Nisa mohon Restui Nisa." "Dengarkan Abi, Nak. Abi lebih memilih untuk dihujat masyarakat daripada harus melihat kamu menderita dalam kubangan poligami, sayang." Nisa Menggeleng, dia menggenggam tangan Fariz. "Abi, Nisa tahu, Abi Sangat mengkhawatirkan Nisa. Tetapi Nisa sangat yakin dengan keputusan Nisa. Nisa tidak bisa terus menerus menambah kesedihan kalian. Dan juga, bagaimana dengan nasib anak Nisa jika lahir diluar nikah tanpa seorang ayah, bagaimana Abi?" "Abi bisa mencarikan laki-laki lain, Sayang." Nisa menggeleng lagi. "Abi, ini kehidupan nyata bukan n****+. Mana ada Laki-laki yang mau menerima Nisa apa adanya? Memang awalnya bisa menerima, namun di masa depan? Nisa tidak yakin Abi. Laki-laki itu pasti akan mengungkit masa lalu Nisa dan akan membuat Nisa serta anak Nisa sakit hati." Abi diam mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Anaknya. Dia menarik Nisa dalam dekapannya, air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah dalam bahu ringkih anaknya. Nisa juga ikut menangis di d**a Fariz, sungguh sebenarnya tidak ada dalam impiannya menjadi istri kedua, tetapi takdir telah tertulis, Nisa hanya mampu menjalaninya dengan iklhas. Nisa melepaskan pelukannya, dia mengulurkan tangannya, menghapus air mata Fariz. "Jangan nangis, Abi. Abi jelek kalau nangis. Abinnya Nisa kan ganteng, enggak jelek kayak gini." Fariz tersenyum kecil, dia mencium kening anaknya penuh kasih. "Abi akan merestui kamu, tapi ada syaratnya." Nisa Mendongak, menatap Fariz dengan tatapan bertanya. "Jika nanti kamu tersakiti dan tidak kuat untuk melanjutkan pernikahan, kamu harus bilang sama Abi. Abi akan dengan senang hati mengurus gugatan cerai kamu." Nisa tersenyum dan mengangguk, dia memeluk tubuh Fariz dengan erat, Fariz pun membalas pelukan putrinya tidak kalah erat. "Nisa Sangat Sayang sama Abi." Fariz tersenyum lebar, dia mengelus rambut putrinya dengan lembut. "Abi lebih sayang sama kamu, Nis." Arvan menghela nafas lega saat mendengar restu dari orang tua Nisa. Tekadnya untuk bertanggung jawab sangat kuat. Mau bagaimanapun dia harus berani bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan. Entah masalah apa yang akan dia hadapi dimasa yang akan datang, siap tidak siap dia harus menjalani ini semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN