Bagian 12

1296 Kata
Nisa gusar di samping Arvan yang sedang mengemudi. Tadi setelah mendapat restu dari orang tua Nisa, mereka langsung melesat menuju rumah Arvan. Nisa yang gusar tidak luput dari perhatian Arvan. Arvan tersenyum maklum, dia tahu Nisa pasti takut jika nanti kehadirannya tidak diterima di keluarganya. Arvan menghentikan mobilnya karena lampu merah. Nisa tersentak saat Arvan menepuk bahunya pelan, Nisa menoleh menatap Arvan yang tersenyum lembut padanya. "Tenanglah Nisa, Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama saya." Bukannya tenang jantungnya semakin berdetak kencang. Dia meremas tangannya sendiri, sangat dingin telapak tangan halus itu. "Nisa takut jika kedua orang tua kamu, dan Istri kamu tidak bisa menerima kehadiran anak ini," ucap Nisa seraya menatap wajah laki-laki tampan dengan rambut kecoklatan itu. "Nis, jangan berpikir yang macam-macam. Keluarga aku pasti sangat senang karena akan memiliki cucu dari diriku. Nisa mengernyitkan dahinya. "Bukannya Istri kamu juga sedang hamil? Mana ada orang tua yang anaknya sudah memiliki istri dan sedang mengandung bahagia saat mendengar anaknya akan mempunyai anak dari orang lain," kesal Nisa. Arvan tertawa kecil saat melihat wajah kesal Nisa yang sangat menggemaskan. "Sudah saya katakan bukan, saya belum bisa menjelaskan apa pun kepada kamu soal rumah tangga saya. Sekarang kamu tenangkan diri kamu, sebentar lagi akan sampai." Nisa diam, dia sadar mungkin dia terlalu lancang. Matanya menatap ke depan, dengan pikiran kalut. Sungguh dia takut jika dirinya tidak bisa diterima oleh keluarga laki-laki ini. Lama dia melamun hingga dia tidak sadar jika mobil mewah ini sudah berhenti di depan rumah berlantai tiga yang sangat megah. Rumah bernuansa putih itu benar-benar besar dengan pekarangan yang luas. "Nisa?" Goncangan dibahunya membuat Nisa tersadar. Dia mengerjapkan matanya dan menoleh. "Sudah sampai," ujarnya pelan. Tubuh Nisa menegang, dia menatap nanar bangunan megah yang ada dibalik kaca mobil. Arvan yang tahu jika Nisa ragu dan gugup segera menenangkan perempuan itu. "Tatap saya, Nis." Nia menoleh, dia menatap Arvan yang saat ini menatapnya serius. "Apa kamu ingin mundur?" Nisa tidak menjawab. "Kamu lupa bagaimana kita tadi meyakinkan orang tua kamu? Jangan mundur Nis, saya mohon. Saya ingin bertanggung jawab, ada sebagian diri saya di tubuh kamu." "Ada anak saya dirahim kamu, Nis." Nisa menatap Arvan yang saat ini menatap perutnya. Nisa menitikkan air matanya, terharu akan harapan Arvan tentang anaknya ini. Laki-laki ini seperti mengharapkan sekali kehadiran anak ini. Arvan menghapus air mata Nisa dengan lembut. "Kamu tahu, Nis? Sungguh saya sangat mencintai janin yang ada didalam kandungan kamu. Kamu tahu? Saya sangat bahagia kala mendengar jika kamu hamil. Mungkin itu mala petaka untukmu, tapi tidak dengan saya, saya teramat bahagia kala mendengar jika kamu hamil. Maafkan saya yang egois." Nisa mengerjapkan matanya. "Saat ini saya memang belum mencintai kamu, satu hal yang harus kamu tahu. Mencintai gadis seperti kamu tidaklah sulit, dari pertama saya melihat kamu, saya sudah tertarik dengan kamu. Itu karena apa? Karena kamu adalah gadis yang baik, gadis yang cantik dan gadis sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain. Kebaikan selalu memancar diwajahmu Nis. jadi yakinlah, kebaikan yang memancar di wajah cantikmu itu, mampu meluluhkan hati siapapun yang melihatnya." Nisa mengerjapkan matanya, begitu baikkah dia di mata Arvan, hingga Arvan mengatakan hal yang mampu membuat Nisa tersentuh. Arvan menangkup wajah Nisa dan menghapus air mata Nisa dengan lembut. "Sudah, Nis. Saya tidak suka melihat kamu menangis. Tersenyumlah." Nisa menarik nafa panjang kemudian tersenyum tulus, Arvan yang melihat itu juga ikut tersenyum. Senyum Nisa sangat manis dari semua wanita yang sempat dia kenal. Mereka masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan, hingga sampai di ruang tamu langkah mereka terhenti kala berpapasan dengan wanita cantik berhijab yang menatap mereka secara bergantian. Arvan menatap istrinya, sedangkan Nisa dia hanya mampu menunduk dalam diam. "Gia, aku ingin berbicara," ujarnya lembut. Gia Mendongak dan menatap manik mata tajam Arvan. "Dia siapa?" Tanyanya. "Nanti aku jelaskan. Kamu mau kemana?" Gia memutar bola matanya malas. Nisa mengeryitkan dahinya kala melihat istri Arvan yang seakan tidak menghargai Arvan sebagai suami, apakah pantas jika Istri memutar bola mata seperti itu. "Terserah aku mau kemana. Jawab saja dia siapa, aku sedang buru-buru." Arvan menarik nafas dalam-dalam, sungguh menghadapi istrinya ini membutuhkan kesabaran yang ekstra. Kadang Gia bersikap baik dan perhatian, namun terkadang juga seperti ini, tidak menghargainya sama sekali. "Dia calon istriku, dia sedang hamil anakku," ucapnya penuh penegasan. Nampak Gia terkejut, namun dengan segera dia mengubah ekspresinya dan menatap lurus pada Nisa yang juga menatapnya. Saat dia menatap Nisa, dia seperti tidak asing dengan wajah cantik itu. Setelah sadar dan ingat siapa Nisa, dia tersenyum manis. Dia mendekati Nisa. Nisa hanya mampu menunduk, takut jika tamparan mendarat di wajahnya. Tangan halus itu merayap dipipi Nisa, mengelusnya pelan membuat Nisa tersentak kaget. Nisa mendongakkan kepalanya dan menatap Gia yang menatapnya lembut. "Cantik sekali." "Mbak tidak marah?" Tanyanya pelan. Gia tersenyum lembut, dia menangkup wajah Nisa dengan lembut. Nisa yang memang sedikit lebih pendek dari Gia mendongak. "Kenapa harus marah? Kamu mengandung anak dari Arvan, Arvan harus bertanggung jawab akan hal itu. Tenang saja, Anggap aku kakakmu." Nisa tersentuh, dia tidak menyangka ada perempuan seperti Gia, dia memeluk Gia dan menggumamkan kata maaf. Gia membalas pelukannya. "Maaf mbak, maaf sudah hadir ditengah-tengah rumah tangga mbak. Saya mohon maaf mbak. Jika semua ini tidak terjadi saya tidak mungkin berada ditengah-tengah kalian seperti ini." Nisa memeluk Gia dengan erat. "Sudahlah. Ini sudah takdir. Mbak tidak apa-apa. Tenanglah." Nisa masih terisak di dekapan Gia, sedangkan Gia dia menatap Arvan yang tersenyum lembut ke arahnya. Dia membalas senyuman Arvan. Gia melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Nisa, serta menghapus air mata Nisa. "Sudah jangan menangis. Kasihan anak kamu. Mbak mau keluar. Ada urusan yang harus mbak urus." **** Setelah mendengar penjelasan dari Arvan, mama dan papa Arvan begitu bahagia mendengar jika anaknya akan memiliki buah hati. Beban Nisa seperti diangkat semua, dia begitu lega dan dia sangat bahagia kala keluarga Arvan bisa menerimanya. "Jadi kapan pernikahannya akan di gelar?" "Pernikahan siapa yang akan di gelar?" Pertanyaan dari Laki-laki tampan yang memiliki rambut hitam mata teduh serta senyuman manis itu mengalihkan pandangan semua orang. Rita, mama Arvan segera mendekati anak pertamanya dan memeluknya erat. Sedangkan Nisa, dia tidak percaya akan apa yang dia lihat. Kenapa dunia sangat sempit sekali. "Kamu tahu Vin, adik kamu akan memiliki anak. Mama akan memiliki cucu. Mama sangat bahagia Vin." Arvin diam tidak menjawab, tangannya pun lemas tidak sanggup membalas pelukan mamanya, matanya menatap Nisa yang saat ini juga menatapnya. "Kamu tahu, dia gadis yang sangat cantik. Seharusnya adikmu tidak melakukan itu, hingga membuat Nisa mengandung. Tetapi tidak apa-apa, mama sangat bahagia." "Vin? Kamu senangkan? Kamu akan memiliki keponakan," Arvin menatap wanita yang terlihat sangat bahagia itu, apa dia harus bahagia kala melihat gadis pujaannya ternyata hamil, yang lebih parahnya hamil dengan adik kandungnya sendiri. Tapi apa dia harus egois dengan mengatakan jika dirinya tidak bahagia, dan merusak kebahagiaan wanita yang sudah terlihat tua ini. Arvin memaksakan senyumnya, hanya Nisa yang tahu apa arti senyuman itu. Senyuman keterpaksaan yang membuat ulu hatinya sakit. Bohong jika dia tidak memiliki perasaan dengan laki-laki baik hati itu, dari awal mereka bertemu, benih-benih cinta itu sudah hadir namun ketakutan membuat dia tidak bisa mengutarakan rasa yang bersemayam di hatinya. "Arvin bahagia kalau Mama bahagia." Rita tersenyum dan segera menarik tangan Arvin. "Lihatlah, dia sangat cantik bukan?" Arvin menatap Nisa yang saat ini juga menatapnya. Tatapannya jatuh pada jemari Nisa, di sana masih melingkar cincin cantik yang dia berikan. Nisa mengikuti tatapan Arvin, air matanya hampir sama menetes kala mengingat cincin itu. "Hei, dia milik adikmu jangan kamu tatap seperti itu," Rita tertawa pelan ketika melihat Arvin tidak kedip menatap Nisa. Arvin mengerjapkan matanya dan tersenyum menatap Arvan. "Lo pintar memilih istri. Dia cantik dan baik." Arvan tersenyum, dia menggenggam tangan Nisa, tidak sadar jika perlakuannya itu membuat hati kakaknya tersayat sembilu. "Iya, gue memang pintar," ujarnya bangga. Membuat Semua orang tertawa. Namun Arvin hanya tertawa palsu mendengar hal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN