Bagian 5

1209 Kata
Nisa meringkuk di ranjang besar milik laki-laki biadab yang satu beberapa hari ini selalu menguasai dirinya. Dia hanya diam, air matanya sudah tidak keluar, entahlah mungkin air matanya telah habis karena selalu menangis beberapa hari ini. Dia bukannya diam dan pasrah berapa didalam sini. Dia selalu mencari cara agar bisa keluar dari sini, namun apalah daya jalan keluar dari sini hanya ada di pintu depan, dan pintu tersebut hanya bisa terbuka jika menggunakan sidik jari laki-laki itu. Lewat jendela pun tidak bisa, dia berada dilantai paling atas tidak memungkinkan untuk dia turun melalui jendela. Nisa juga selalu berontak saat laki-laki itu Ingin menyentuhnya tetapi lelaki tersebut tetap lebih kuat dari Nisa. "Makanlah!" Nisa diam tidak merespon, hatinya terlalu sakit mengingat laki-laki yang sudah merusak dirinya. Dirinya tidak kenal siapa laki-laki ini, yang dia ketahui hanya namanya saja, tetapi mengapa dia dengan tega selalu menyentuhnya setiap hari. "Makanlah!" Perintah Arvan tegas, dia menatap Nisa yang hanya meringkuk di ranjang miliknya. "Biarkan Nisa pulang," ucapnya pelan. "Tidak!" mendengar jawaban laki-laki itu membuat Nisa bangkit dari duduknya dan menatap Arvan dengan tajam. "Apa maksudmu? Nisa ingin pulang, sudah cukup kamu menyentuhku selama ini! Nisa bukan siapa-siapa mu. Lepaskan Nisa!" Teriak Nisa. Mata yang sempat mengering, kembali basah karena air matanya yang mengalir lagi. Arvan hanya dia dengan menatap Nisa, tatapan dingin yang membuat Nisa kesal. "Lepaskan Nisa, Nisa mohon," isaknya. Dia menangkupkan kedua tangannya, memohon. Berharap laki-laki itu mempunyai belas kasihan barang sedikit saja kepada dirinya. "Tidak akan!" "Kenapa!" Bentak Nisa lagi. Kesabarannya seperti dikuras habis oleh Arvan. Jemari Arvan mencengkeram dagu Nisa kasar hingga membuat Nisa meringis kesakitan. "Jika aku bilang tidak ya tidak!" Nisa membelalakkan matanya, dia memukul d**a Arvan dengan penuh amarah yang memuncak. Tangan laki-laki itu terlepas dan hanya diam saat tangan mungil itu memukul dadanya. "Apa maksudmu, hah! Nisa bukan w************n yang dengan gampangnya kamu sentuh!" Laki-laki dengan rambut coklat itu tersenyum sinis. "Kau bilang apa? Bukan w************n? Apakah aku tidak salah dengar? Mana ada wanita baik-baik yang berkeliaran malam-malam di depan club malam?" Nisa terdiam, pukulannya seketika terhenti. Dia menatap Laki-laki yang sudah merenggut sesuatu yang sangat berharga baginya. Dia menggeleng, menyangkal apa yang laki-laki itu ucapkan. "Sudahlah aku mau mandi. Makanlah makananmu sebelum aku selesai mandi. Jika makanan itu tidak habis, aku pastikan aku sendiri yang akan menyuapkan makanan itu dengan mulutku!" Nisa diam, dia kembali menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Tidak ada niat dia memakan makanan itu, lebih baik dia mati kelaparan daripada hidup seperti ini. Nisa mengedarkan pandangannya, dia harus keluar dari apartemen ini. Dia sudah tidak sanggup jika harus menjalani hidup seperti ini, dijadikan boneka oleh Laki-laki yang sama sekali tidak dia kenal. Matanya tertuju pada ponsel mahal milik pria itu, dia ingin menghubungi umi dan abinya, lagi-lagi benda itu menggunakan sidik jari untuk membukanya membuat dia mendesah frustrasi. *** Nisa keluar dari apartemen itu dengan penuh hati-hati, laki-laki pemilik apartemen ini sedang berada diruang kerjanya. Dan saat dia melihat pintu, pintu itu terbuka, hal itu dimanfaatkan Nisa untuk keluar dari apartemen ini. Nisa menatap apartemen yang masih tertutup, hatinya gusar saat lift belum juga terbuka, takut jika Arvan mengetahui bahwa dirinya kabur dan kembali mengejarnya. Dia bernafas lega kala pintu lift terbuka, dengan cepat dia masuk dan menekan lantai paling bawah. Dia menyandarkan tubuhnya di lift, sedikit rasa lega setelah dia pergi dari apartemen itu, setidaknya dia tidak disentuh laki-laki biadab itu. Air matanya lagi-lagi mengalir, dia Bingung harus pergi kemana. Dia tidak berani pulang, apa yang harus dia katakan jika dia pulang. Dia takut akan kemarahan abi dan uminya. Banyak mata yang menatapnya aneh, bagaimana tidak, Nisa mengunakan kaos kebesaran, celana training dan wajahnya yang sembab membuat mereka bertanya-tanya. Nisa tidak menghiraukan tatapan aneh yang tertuju padanya, dia terus berjalan dengan air mata yang terus-menerus mengalir dari matanya yang indah. Dia menghentikan langkahnya, kakinya sudah lemas dan tubuhnya terasa sangat sakit. Dia terduduk di trotoar, menatap lalu lalang kendaraan yang melaju. Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti dihadapannya, dia takut jika laki-laki itu adalah pria yang tadi dia tinggalkan. Namun sedikit lega kala yang keluar adalah pria paruh baya. "Nak? Kamu tidak apa-apa? Kamu terlihat ketakutan?" Nisa menatap pria tersebut. Dia takut bertemu dengan orang asing, dia menggeleng dan bangkit berdiri. "Tidak, saya tidak apa-apa." "Kamu mau kemana? Mau saya antar?" Nisa semakin tidak enak hati. Dia takut kejadian yang dia alami akan terjadi lagi. "Tidak, saya tidak apa-apa. Saya permisi." Nisa pergi meninggalkan laki-laki paruh baya yang saat ini menatapnya. Laki-laki itu mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Pulang kerumah dan menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya adalah pilihannya saat ini. Jikalau nanti kedua orang tuanya marah dan akan mengusirnya, insyaallah dia siap. Nisa tersenyum saat melihat jalanan yang sering dia dan abinya lewati saat berangkat dan pulang kuliah. Jika dengan mengendarai mobil memerlukan waktu sekitar dua puluh menit, mungkin jika dia jalan kaki satu jam setengah dia akan sampai di rumah. *** Nisa menatap sayu rumah yang selama dua puluh tahun ini dia huni. Jantungnya berdegup kencang, langkah demi langkah terasa berat dia gerakkan. Air matanya tidak berhenti mengalir, sungguh bayang-bayang itu seperti sengaja diputar terus dalam benaknya. Saat sampai didepan pintu, tubuhnya luruh dilantai, dia menyadarkan pipinya di pintu. Isak tangisnya sungguh menyesakkan siapapun yang mendengar. Hingga tiba-tiba pintu rumahnya terbuka, menampakkan sosok yang selama satu minggu ini dia rindukan. Maryam tersentak kaget saat melihat sang anak yang satu Minggu ini hilang terduduk dilantai dengan tangisan menyayat jiwa. "Nisa?" Nisa mendongakkan kepalanya, tangisannya semakin histeris, dia memeluk kaki uminya seraya meminta ampun kepada sang umi. Uminya terkejut saat Nisa mencium kakinya yang tidak menggunakan alas kaki, Nisa menangis di kaki orang yang telah melahirkan dirinya. "Maafkan Nisa, Umi. Maafkan Nisa." Umi menatap nanar putrinya, ada apa dengan putrinya ini, mengapa seperti terjadi sesuatu hingga membuatnya merasa bersalah kepada sang Umi. "Nisa, jangan seperti itu. Kamu kenapa?" Umi memegang bahu Nisa, dia berjongkok kemudian menangkup wajah cantik Nisa yang berderai air mata. Nisa memegang kedua tangan sang umi yang menangkup wajahnya. Sedu sedan Nisa membuat Maryam ikut menangis. "Umi, Ma--afin Nisa." "Nak, kamu kenapa? Kenapa kamu baru pulang. Umi--" Maryam tidak melanjutkan ucapannya saat mata sembab Nisa tertutup dengan perlahan. "Abi!" Abi yang tadi sibuk dengan ponselnya untuk mencari tahu tentang Nisa langsung berlari ke asal suara. "Astaghfirullah, Nisa kenapa, umi?" Umi Menggeleng, kemudian berkata, "gendong Nisa, abi!" Abi mengangguk dan segera membopong tubuh mungil anaknya. Umi mengikutinya dari belakang, dia segera membuka pintu kamar agar sang suami segera masuk ke dalam. Abi membaringkan tubuh Nisa di ranjang, matanya menatap nanar wajah pucat sang putri. Dia mengelus wajah cantik anaknya, hatinya menjerit sakit saat melihat wajah putrinya yang seperti menahan kesakitan. "Sayang, bangun, nak." Fariz menghela nafas dia menatap istrinya yang saat ini menangis di samping sang putri. "Umi?" Maryam mendongak menatap suaminya. "Ganti baju Nisa. Abi akan panggilkan dokter," perintahnya dengan menatap nanar baju Nisa yang sangat memprihatikan. Pikirannya berkecamuk, takut apa yang dia pikirkan benar adanya. Melihat baju dan beberapa tanda ditubuh anaknya, membuat hatinya menangis pilu. Dia nenggeleng, dia yakin apa yang dia pikirkan, tidak benar. Dia yakin itu. Fariz keluar dari kamar Nisa. Dia menghapus air matanya, melihat tanda di leher sang putri dia tau apa yang telah terjadi. Fariz terisak, dia gagal menjadi seorang ayah, dia gagal. Dia kecewa terhadap dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN