Bagian 6

1679 Kata
Umi, Abi dan Azzam saling diam dikamar Nisa. Sudah hampir jam delapan malam, gadis itu masih setiap dengan kegelapan. Umi menyentuh tangan Abi, sedari Nisa pulang, suaminya itu tampak selalu diam. Dia tahu apa yang dipikirkan suaminya, melihat keadaan Nisa yang pulang dengan keadaan seperti itu, tidak menutup kemungkinan jika terjadi sesuatu pada Nisa. Apalagi saat wanita baya itu mengantikan baju Nisa, banyak sesuatu yang menyayat hatinya saat melihat tubuh sang anak. "Jika terjadi sesuatu pada Nisa, Umi mohon, jangan marahi dia," ucapnya sendu. Fariz diam, tidak menjawab. Matanya tetap setia memandang wajah Nisa yang tidak kunjung bangun. "Tidak ada hal yang menyakitkan bagi seorang ayah selain lalai menjaga anak perempuannya." "Abi...," Mata Maryam sudah berkaca-kaca, dia tahu, suaminya itu menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpa Nisa. "Kita dengarkan penjelasan Nisa dulu, Bi. Jangan mengambil kesimpulan sendiri." Azzam hanya diam entah apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Tatapannya menyorot tajam, kecewa dan marah. Entah marah sebagai kakak, atau apa, hanya dia dan Allah yang tahu. Semua orang diam, hingga mata Aisyah mengerjapkan menyesuaikan dengan cahaya penerangan. Fariz yang melihat itu segera bangkit dari sofa dan duduk di ranjang. Nisa terkesiap saat melihat tatapan mata Abi yang tidak seperti biasanya. Dengan kasar Abi menarik Nisa hingga duduk berhadapan dengan dirinya. Umi yang melihat kekasaran sang suami terkesiap kaget. Suaminya tidak pernah seperti ini. Suaminya yang sabar dan penyayang tiba-tiba berubah seperti ini. "Jelaskan apa yang terjadi! Apa yang ada di tubuh kamu hah? Apa! Abi kurang sayang apa sama kamu? Apapun Abi berikan ke kamu, tapi kenapa kamu seperti ini? Siapa laki-laki itu? Siapa pacar kamu, Nisa! Nisa terdiam dengan bibir bergetar hebat, dia menunduk dalam takut akan tatapan mata Abi yang tajam. Abinnya salah paham atas kejadian yang telah menimpanya. Dia tidak melakukan hal itu dengan rasa suka sama suka. "Jawab Abi, Nisa!" Bentak Fariz seraya mengguncang bahu Nisa, menuntut jawaban dari anaknya tersebut. Isakan Nisa terdengar begitu nyaring, membuat Umi tidak tega melihatnya hingga dirinya juga ikut menangis. "Abi tidak butuh tangisan kamu! Jawab pernyataan Abi! Apa yang telah kamu lakukan? Apa!" Nisa semakin tersedu-sedu, dia mendongak menatap Abi yang saat ini marah kepadanya. Baru kali ini dia melihat wajah marah sang Abi, sungguh Nisa tidak sanggup menatap sang Abi dengan kemarahannya yang membara "Maaf," ucapnya tersendat-sendat. Abi semakin mencengkeram erat bahu Nisa. "Nisa!" Bentak Abi. Nisa tersentak dia tidak sanggup menjawab. "Nisa! Jawab Abi! Kamu tidak tuli, kan? Ka--" "Nisa diperkosa Abi! Nisa kotor! Nisa diperkosa!" Teriak Nisa frustasi. Semua orang membeku, menatap Nisa dengan tatapan seakan-akan tidak percaya. "Omong kosong! Siapa laki-laki itu? Siapa pacar kamu? Fariz tetap pada opininya jika sang anak melakukan hubungan terlarang dengan kekasihnya yang didasari rasa suka sama suka. Plak Nisa memegang pipinya yang terasa panas. Dia mendongak menatap sang Abi yang terlihat murka. Umi terlonjak kaget tidak percaya akan apa yang dilakukan suaminya, seumur hidupnya dia tidak pernah di tampar suaminya dan sekarang, suaminya dengan tega memukul Anaknya. Plak Satu tamparan lagi mengenai pipi Nisa sebelah kanan. "Pukul Nisa, Abi.... Pukul!" Nisa meraih tangan Abinnya yang terkepal, dia memukulkan tangan itu di wajahnya. Fariz hanya diam, dengan tatapan tajam yang dia tunjukkan pada Nisa. "Pukul Nisa, Abi. Pukul Nisa sampai Nisa mati! Pukul! Nisa enggak pantas jadi anak Abi. Pukul!" Saat Fariz ingin menampar Nisa lagi, teriakan sang istri menggema, namun sayang pria itu tetap memukul Nisa. "Abi, cukup! Abi!" Maryam memeluk Nisa dengan erat, menenggelamkan wajah Nisa yang lebam didadanya. Tamparan terakhir Fariz mendarat di pipi Maryam. Maryam tidak merasakan sakit sama sekali saat ditampar dengan kasar, dia lebih sakit saat melihat putrinya dikasari Oleh sang suami. "Apa yang Abi lakukan, Hah! Jangan salahkan Nisa atas apa yang menimpa Nisa. Justru ini bukan salah Nisa, ini salah kita yang tidak bisa menjaga Nisa! Abi dengar kan, anak kita di perkosa Abi! Bukan melakukan hubungan atas kehendaknya sendiri!" Fariz menatap tangan serta anak dan istrinya bergantian, tangannya bergetar hebat, sungguh ini kali pertama dia melakukan kekasaran terhadap orang-orang yang dia sayang. Nafasnya memburu, matanya sudah memerah menahan gejolak air mata yang ingin keluar. Tak kuasa menahan air matanya dia segera meninggalkan anak beserta istrinya. Di ikuti oleh Azzam yang mengekor mengikuti Abinnya. Nisa sesenggukan di d**a Umi, dia memeluk uminya dengan sangat erat, sungguh dia takut dengan Abi, Abinnya begitu murka dengan dirinya. "Sudah Sayang, jangan menangis." Nisa tidak bisa berhenti menangis, umi yang melihat begitu terpuruknya Nisa membuat dadanya sesak dan nyeri secara bersamaan. "Nisa kotor, Nisa kotor." Umi menggelengkan kepalanya. Dia menguraikan pelukannya dan mencium kening Nisa lama, setelah itu tangannya merangkum wajah Nisa dengan hati-hati, karena dia tahu wajah Nisa pasti sakit akibat pukulan Abinnya. "Nisa enggak kotor. Nisa enggak boleh berbicara seperti itu. Nisa putri Umi yang sangat baik, yang selalu buat Umi bangga. Nisa enggak boleh berbicara seperti itu lagi, ya? Nisa tetap suci, justru laki-laki itu yang kotor, bukan Nisa," ujarnya lembut. Nisa Hanya merespon dengan tangisan, dia tidak bisa berkata apa-apa. Hidupnya hancur, Abi yang selama ini sangat menyayanginya telah membenci dirinya. Dia tidak sanggup hidup dengan kebencian Laki-laki yang teramat dia cintai. "Kamu istirahat dulu. Umi mau ambil obat serta kompres untuk kamu," ucapnya seraya membaringkan tubuh Nisa. Dia menyelimuti tubuh Nisa yang bergetar karena menangis. Umi mencium kening Nisa lama. "Anak Umi, kuat. Nisa bisa melewati ini semua. Umi yakin itu," bisiknya pelan. Nisa diam, dia berbalik memunggungi Umi yang masih di kamarnya. Sungguh dia malu, malu karena tidak mau menuruti keinginan Uminya untuk berhijab. Jika dia berhijab hal ini tidak mungkin akan terjadi kepada dirinya. ** Umi keluar dari kamar Nisa, saat dia melihat diruang tamu, suami dan anak laki-lakinya sama-sama terdiam. Umi mendekati mereka dan duduk disebelah Abi. "Jangan menyalahkan Nisa akan kejadian ini. Nisa tidak bersalah, ini semua bukan atas keinginannya. Abi dengar kan apa yang Nisa katakan? Nisa tidak mungkin pulang dengan keadaan seperti ini jika dia melakukannya suka sama suka Abi. Sebagai keluarga seharusnya kita memberikan kekuatan, bukan malah menghakimi. Jangan benci Nisa, kita yang sepatutnya dibenci karena tidak becus menjaga amanah." Umi berkata dengan dingin, Abi yang mendengar itu menundukkan kepalanya menatap tangannya yang telah melukai anak serta istrinya. Isakan Abi yang sedari tadi di tahan akhirnya keluar Juga. Umi menarik Abi agar bersandar pada dirinya. "Abi tidak membenci Nisa. Abi kecewa dengan diri Abi sendiri. Abi tidak bisa menjaga Nisa dengan baik. Dan tangan ini, tangan ini telah lancang menampar bidadari Abi. Tampar Abi, umi! Tampar! Nisa pasti merasakan kesakitan, biar Abi juga merasakannya, tampar Abi!" Umi Menggeleng, dia mengelus punggung suaminya dengan lembut mencoba menenangkan. "Nisa sekarang sedang terpuruk. Abi yang paling tahu Nisa bukan. Abi sangat tahu Nisa seperti apa. Nisa tidak mungkin menyerahkan kehormatannya dengan sukarela. Nisa memang tidak berhijab, tetapi dia begitu menjaga dirinya. Ini sudah takdir Abi. Kuatkan Nisa, Nisa butuh Abi." Abi melepaskan pelukannya dan mengangguk, dia segera bangkit dan segera menemui anaknya. Umi masih di sana, menatap anak laki-lakinya yang menunduk lesu. "Azzam?" Laki-laki itu mendongak dan menatap Uminya sendu. Dia berjalan, kemudian bersimpuh dilantai. Menenggelamkan wajahnya di pangkuan umi. Isakkanya sungguh menyesakkan gendang telinga umi. "Ini semua salah Azzam, Umi. Jika Azzam bisa mengontrol emosi, Nisa tidak akan keluar rumah untuk mencari Azzam dan ini tidak akan mungkin terjadi." Penyesalan yang sangat dalam dia rasakan Sekarang. Seharusnya dia tidak membenci Nisa, seharusnya dia bersikap baik dengan Nisa. "Sudah, Nak. Jangan menyalahkan diri sendiri. Nisa membutuhkan perhatian kita. Sudah, jangan menangis. Tidak ada gunanya kita menangis, semua sudah terjadi, sekarang kita harus memberikan perhatian kepada Nisa, buat dia semangat untuk melanjutkan hidupnya, yang Umi yakin akan semakin sulit." Azzam mengangguk dan memeluk uminya erat mencari kekuatan. Dia akan berusaha untuk menjaga sang adik, menyayangi sang adik. Karena memang benar dia sangat menyayangi adiknya itu. **** *Sebelum masuk ke dalam kamar Nisa* Sepeninggal umi, Nisa menutup telinganya, suara laki-laki b***t itu terngiang di telinganya. Dia masih mengingat bagaimana mana Laki-laki itu dengan kasar menyentuhnya, suara kepuasan laki-laki itu membuat dirinya semakin hancur. Tidak tahan dengan suara yang menggema dia meraih cutter yang ada dinakas. suara aneh itu membuat dia yakin untuk mengakhiri hidupnya. Untuk apa dia hidup, Abinnya sudah sangat membencinya. Lebih baik dia pergi daripada keluarganya menanggung malu atas kejadian ini. Belum sempat dia menggoreskan benda tajam itu, Abi sudah meraih dan melemparkannya ke sembarang arah, hingga melukai tangannya. Dia sungguh hancur melihat anaknya seperti ini. Dia meraih Nisa kedalam pelukannya, Nisa tergugu dan membalas pelukan Abi. "Maafkan Nisa Abi, Nisa tidak melakukan itu dengan suka rela. Nisa dipaksa Abi. Nisa dipaksa. Maafkan Nisa " Abi semakin mengeratkan pelukannya, dia mengelus surai anaknya dengan lembut. "Sudah. Abi yang seharusnya meminta maaf, maafkan Abi yang tidak bisa menjaga kamu. Maafkan Abi yang sudah kasar." Nisa Menggeleng. Abinnya tidak salah, di sini dia yang salah, seharusnya dia membangunkan Fariz dan memintanya untuk mencari Azzam, bukannya nekat pergi sendiri. Abi menangkup wajah Nisa dan menghapus air mata Nisa. "Jangan melakukan itu, Nak. Kamu mau meninggalkan Abi dengan rasa bersalah? Abi tidak sanggup jika kamu mengakhiri hidup kamu. Kamu harus kuat, Abi akan selalu dukung kamu. Abi akan selalu ada untuk kamu." "Abi tidak membenci Nisa?" Abi menggeleng, dia mencium kening Nisa lama. "Abi sangat menyayangi kamu. Abi tidak bisa membenci anak kesayangan Abi. Maafkan Abi yang salah paham. Maafkan Abi yang telah kasar." Nisa terenyuh, dia menghambur dipelukan ayahnya. Fariz mengeratkan pelukannya, setelah puas saling memeluk dengan Isakan yang tidak berhenti. Abi mengurai pelukannya dan menangkup wajah Nisa dengan hati-hati, wajah yang biasanya Putih itu kini berganti memerah. "Anggap Semua ini tidak terjadi. Lupakan kejadian hari ini. Jangan kamu terpuruk. Abi tidak bisa melihat kamu terpuruk. Apa pun yang terjadi Abi akan tetap di samping kamu. Jika terjadi sesuatu nanti, Abi akan mencari orang itu. Abi tidak akan membiarkan hidupnya tenang. Abi mohon, tetaplah tersenyum. Karena Abi tidak sanggup jika melihat kamu terpuruk. Abi minta satu hal, jalani hidup Nisa seperti biasanya, kamu bisa?" Nisa mengangguk pelan dan memeluk Abinnya lagi. Dia memiliki kekuatan sekarang, Abi dan Umi sangat menyayanginya, dia harus bertahan apapun yang akan terjadi di depan. Walaupun dia yakin kehidupan selanjutnya akan semakin menyakitkan dan sulit. Namun dia akan menghadapinya, karena takdir yang digariskan seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN