Bagian 4

1095 Kata
Mata indah dengan bulu mata lentik itu perlahan terbuka, keindahan mata yang membuat siapa saja enggan mengalihkan pandangannya. Arvan akui jika dirinya terpesona dengan kecantikan mata tersebut. Dilihat dari sudut manapun, kecantikan perempuan ini tidak membosankan dipandang, Hidungnya tidak terlalu mancung, sangat pas di wajahnya yang menawan. Bibirnya merah alami, pipinya sedikit cabi, membuat siapapun tidak bosan memandangnya. Laki-laki itu tersenyum tipis, sangat tipis, ketika mengingat dirinya lah yang pertama kali memiliki wanita yang saat ini menatapnya dengan sendu. Tatapan matanya yang tajam tidak bisa beralih ke objek lain, memandang wajah polos itu sungguh menjadi pemandangan yang indah ketika terbangun dari tidurnya. Arvan tahu hal ini adalah kesalahan yang begitu besar. Entah mengapa dia tidak menahan dirinya untuk tidak memiliki perempuan yang saat berada dalam kuasanya. "Saya mohon biarkan saya pergi dari sini," Nisa mencoba berbicara lembut terhadap laki-laki yang saat ini tengah menatapnya. Dia berharap dengan ini laki-laki itu bisa merasa iba, dan melepaskan dirinya agar bisa pergi dari sini. Laki-laki itu tersebut diam, dengan tetap menatap perempuan yang saat ini menatapnya dengan memohon. Dia mengalihkan pandangannya, mendudukkan dirinya. Menarik nafas dalam kemudian bangkit berdiri. Tanpa menjawab permintaan Nisa, laki-laki itu pergi dari kamar luas dengan harum maskulin khas laki-laki. Nisa menarik nafas dalam, dia mendudukkan dirinya, menghapus air matanya yang mengalir. Dia bangkit, dia ingin keluar dari sini, dia tidak ingin terus-terusan menjadi bahan pelampiasan Arvan saja. Nisa keluar dari kamar, melihat disana ada Arvan yang tengah meminum kopi di meja makan. Dia tidak menghiraukan Arvan, kakinya berjalan kearah pintu, berharap dia bisa membukanya. Namun sayang, pintu itu terkunci rapat dan hanya bisa diakses oleh pemilik apartemen ini. Nisa menatap Arvan yang saat ini tengah santai menikmati kopinya dan hanya menatapnya sekilas. Arvan benar-benar tidak peduli akan dirinya. *** Sedangkan di rumah Nisa, Umi berada dalam dekapan Abi Fariz. Beliau menangis sesenggukan sedari kemarin saat mengetahui jika Nisa pergi untuk mencari abangnya. Hingga saat ini putrinya belum pulang, entah berada dimana sekarang gadis itu. Rasa khawatir terjadi sesuatu pada sang anak membuat dirinya tidak tenang. "Umi, sudah, jangan menangis terus. Para karyawan restoran sudah Abi minta untuk mencari putri kita. Jadi umi yang tenang ya. Insya Allah Nisa akan baik-baik saja." Fariz berusaha menenangkan sang istri, walaupun dalam hatinya, dia juga sangat khawatir kepada Nisa, namun ketakutan itu dia simpan rapat. Istrinya sedang memerlukan dirinya, jika dia ikut kalut siapa yang akan menenangkan sang istri yang saat ini benar-benar kalut. Umi menggeleng, firasatnya sebagai seorang ibu tidak dapat dia abaikan. Dia merasa jika Nisa sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sedari ke "Umi khawatir dengan Nisa, Abi. Umi takut, perasaan Umi mengatakan jika Nisa tidak dalam keadaan baik-baik saja," ujarnya dengan suara serak. Abi semakin mengeratkan pelukannya, dia mengelus punggung sang istri mencoba menenangkan. Dia pun merasakan hal yang sama, dia sangat khawatir dengan keadaan sang putri. Apalagi, Nisa tidak pernah keluar rumah jika tidak dengan dirinya atau karyawan yang dia percaya, sungguh dia takut jika terjadi sesuatu dengan putrinya. "Sudah umi, insyaallah Nisa akan baik-baik saja. Umi makan dulu ya, sedari kemarin umi belum makan." "Enggak, Umi enggak mau makan. Nisa pasti belum makan Abi. Nisa tidak membawa apa-apa keluar rumah, ponselnya pun ada di kamar. Umi takut terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan kepada Nisa." Abi menghela nafas, dia mengelus punggung istrinya. Dia pun sama, sedari kemarin, setelah tau Nisa hilang laki-laki paruh baya itu hanya meminum air putih saja, tidak ada asupan lain selain itu. "Abi, umi, ada apa?" Tanya Azzam yang baru pulang dari kantor. Setelah pertengkaran antara dirinya dan sang adik beberapa hari lalu, dia baru pulang sekarang, tidak tahu jika adiknya hilang karena mencari dirinya. Umi dan abi hanya diam. Mereka kecewa dengan anak laki-lakinya itu, seharusnya Azzam sebagai kakak harus bisa melindungi, menyayangi dan menjaga adiknya, tetapi yang dilakukan Azzam sungguh keterlaluan. "Umi, Abi. Ada apa?" "Nisa hilang," jawab Abi singkat, rasa kecewa itu tetap ada, membuat dirinya sedikit malas berbicara dengan Azzam. Azzam yang tadinya ingin duduk di sebelah Umi mengurungkan niatnya, dia menatap abinya tidak percaya. "Kenapa bisa?" Umi melepaskan pelukannya dari sang suami, dia menatap anak laki-lakinya dengan mata sembab. Hal itu membuat ulu hati Azzam merasakan sakit yang teramat. "Dia hilang karena mencari kamu. Kamu kenapa seperti ini, Nak? Apa salah adik kamu? Jika yang membuat kamu membencinya hanya karena dulu Umi dan Abi menitipkan kamu kepada nenek dan kakek. Umi minta maaf," "Seharusnya kamu tahu, adik kamu membutuhkan perhatian yang ekstra dan kamu tahu hal itu Azzam, adik kamu lahir secara prematur, saat usia kandungan Umi baru delapan bulan, seharusnya kamu ingat mengapa Umi bisa lahir seperti itu, seharusnya kamu tahu. Jadi kenapa kamu membenci adik kamu? Jawab Umi! Kamu juga paham disaat adik kamu berusia 7 tahun, kanker ada didalam tubuh adik kamu, Zam. Kenapa kamu tega membencinya? Kenapa? Seharusnya umi yang kamu benci, bukan dia!" Azzam hanya diam dengan mata yang berkaca-kaca, dia menarik umi dalam pelukannya. Umi membalas pelukan hangat sang anak, sudah lama dia tidak merasakan pelukan Azzam seperti ini. "Nisa Sangat menyayangi kamu Azzam. Sangat menyayangi kamu. Umi mohon, belajarlah menyayangi dia." "Azzam Sangat menyayangi Umi, sangat," Bisiknya dalam hati. Umi melepaskan pelukannya dan merangkum wajah putranya. "Umi sangat menyayangi kamu, tidak ada perbedaan antara kamu dan adik kamu. Kalian sama-sama anak umi. Walaupun kamu tidak lahir dari rahim umi. Tapi kasih sayang umi ke kamu sama seperti kasih sayang umi ke Nisa. Kamu anak pertama Umi. Umi sangat menyayangi kalian. Maafkan Umi jika keputusan umi menitipkan kamu ke nenek dan kakek melukai hati kamu, maafkan Umi, Zam." Azzam mengangguk, dia menghapus air mata sang ibu dengan penuh kasih sayang. Umi menggenggam tangan Azzam seraya berkata, "cari adikmu, bawa dia pulang. Umi mohon jika dia kembali, perlakukan selayaknya adik, jangan kasar dan berusahalah menjadi kakak yang baik." Umi menarik Azzam untuk dia peluk. Azzam menarik nafas panjang dan mengangguk di bahu Umi. dia menatap sang abi yang saat ini menatapnya. Mereka saling tatap, mencoba untuk menyalurkan sesuatu yang tidak dapat dijabarkan dan tidak boleh diketahui siapapun. Azzam melepaskan pelukan sang umi, dia merangkum wajah cantik sang umi dengan lembut. "Maafkan Azzam Umi. Azzam sayang dengan Nisa, tapi mungkin cara Azzam salah. Maafkan Azzam. Azzam akan cari Nisa. Azzam akan membawa Nisa pulang." Umi mengangguk, dia tersenyum menatap sang anak yang saat ini menatapnya dengan tulus. "Nisa sangat sayang sama kamu, Nak. Dia selalu berharap kamu bisa menyayangi seperti dia menyayangi kamu." Azzam mengangguk, dia tau apa yang dia lakukan salah. Dia paham akan hal itu. Membuat semua orang mengira bahwa dirinya sangat membenci adiknya. Dia menarik nafas dalam, dia akan berusaha untuk bersikap baik kepada adiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN