Bagian 7

1491 Kata
Satu bulan berlalu, Nisa menuruti keinginan Fariz untuk menjalani kehidupannya seperti biasa. Hubungannya dengan Azzam pun kian membaik, Azzam sekarang sangat menyayangi Nisa dan sangat over protektif terhadap Nisa. Kemanapun dia pergi, jika dia berada di rumah dengan sigap pria itu akan mengantarkan. Berangkat kuliah pun sekarang bukan Abinnya yang mengantar tetapi sang Abang . Pulang pun Azzam menyempatkan diri untuk menjemput sang adik, jika dia tidak bisa Abinnya yang akan menjemput Nisa. Azzam tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi, kemarin sedikit banyak ada andil dirinya yang menyebabkan Nisa mengalami hal ini. Satu minggu pertama dipenuhi perdebatan antara Nisa dan sang ayah. Fariz ingin melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib, namun Nisa menolak, dia takut, takut jika kejadian ini akan menyebar dan akan mempermalukan keluarganya, walaupun hal ini bukanlah kehendak Nisa, namun dia tidak siap jika banyak orang yang tahu jika dirinya telah mengalami kejadian itu. Dan sekarang, gadis cantik yang telah melalui kejadian buruk itu duduk bersama dengan sahabatnya disalah satu universitas. "Nisa, kenapa Lo cantik?" Celetukan konyol itu berasal dari salah satu sahabatnya. Nisa Mendongak menatap Sakti, sahabatnya. Wajah Sakti sok di polos-polos kan, membuat Sandi, Rindu dan Fira serempak menjitak kepala pria itu. Sakti meringis kesakitan dia menatap Nisa dengan tatapan sayu, minta dibela. Nisa hanya terkekeh geli. Sahabat satunya ini adalah sahabat paling manja dan konyol menurut Nisa. "Sudah, kasihan Sakti. Pasti kesakitan," lerai Nisa. "Biarkan saja Nis, kera sakti ini memang pantes di jitak. Wajah sok di polos-polosin, gue jadi enek lihatnya." Ucap Sandi kesal. Nisa tertawa melihat Sakti yang terus di siksa oleh sahabat yang lainnya. Hingga ucapan sahabatnya yang lain membuat mereka memusatkan pandangannya pada Nisa. "Eh Nis, wajah lo kok pucat sih. Lo sakit?" Tanya Fira. Nisa yang tadi sibuk memakan makanannya mendongak. "Masa sih?" Mereka berempat mengangguk kompak, Sakti menyerahkan cermin kecil Kepada Nisa, membuat mereka menatap Sakti dengan mata membulat. "Gila! Lo bawa cermin, kok lo kayak cewek sih? Gue aja enggak pernah bawa, kok lo yang cowok bawa. Wah bahaya ini, jangan-jangan lo cewek Sak? Tapi lo nyamar jadi cowok. Gila!" Ucap heboh rindu. Rindu adalah tipe orang yang banyak bicara, tidak sama dengan Fira yang sedikit lebih kalem. Ucapan yang mengundang banyak mata menatap merekapun, membuat Sakti membekap mulut rombeng Rindu. "Mulut lo! Kalau ngomong suka benar, kesel Gue jadinya." Semua tertawa namun terkecuali dengan Nisa. Dia tidak menghiraukan Sakti dan Rindu yang masih bertikai. Nisa segera meraih kaca yang tadi disodorkan oleh Sakti. Dia menatap pantulannya di cermin, sungguh wajahnya sangat pucat. "Lo enggak apa-apa?" Tanya Sandi khawatir. Nisa diam sejenak kemudian menggeleng. "Mungkin hanya kecapekan, kalian enggak usah khawatir," ujarnya mencoba menenangkan sahabat-sahabatnya yang terlihat khawatir. Fira dan Sandi tidak menjawab. Mereka menatap Nisa dengan tatapan khawatir. Hingga suara seseorang yang selalu menemani hari-harinya semenjak masuk di Universitas ini terdengar di gendang telinganya. "Pak Arvin," ucap Nisa senang. Dosen yang berumur dua puluh tujuh tahun itu tersenyum manis. "Sudah selesai makannya?" Nisa dan para sahabatnya menatap dosen idaman itu. Nisa mengangguk dan segera beranjak berdiri. Dia tadi sudah membuat janji dengan Arvin. "Nisa pergi dulu ya." "Yah, bebeb Gue di ambil. Ah pak dosen mah, kenapa harus datang sih. Kan kalau Nisa tidak ada, enggak ada yang bening, pak." Arvin hanya terkekeh dan segera berjalan diikuti oleh Nisa. "Sudah selesai kuliahnya?" Tanyanya saat sudah duduk di salah satu bangku taman kampus. Nisa tersenyum dan mengangguk. Arvin yang melihat senyuman manis itu seketika jantungnya berdegup kencang. Huft, selalu seperti ini jika berhadapan dengan orang yang dia cintai. Mereka sebenarnya tidak memiliki hubungan khusus, mereka tidak pacaran, mereka hanya dekat. Namun, dalam hati Arvin, dia mempunyai komitmen setelah Nisa lulus dia akan menikahi Nisa. "Pak Arvin nanti masih ada kelas?" Arvin terkekeh, dia mengacak rambut Nisa membuat sang empunya rambut mendengus kesal. "Kita hanya berdua, kenapa masih panggil, Pak?" Nisa menarik tangan Arvin yang masih ada di kepalanya. "Iya, iya. Nisa lupa. Jawab dong, ada kelas apa tidak nanti?" Arvin merangkul bahu Nisa, seketika Nisa menahan nafasnya. Sungguh jantungnya seperti berlari maraton sekarang. Namun, dia segera menyingkirkan tangan Arvin. Dosen tersebut salah tingkah, dan memusatkan pandangannya pada bunga yang ada di hadapannya. "Enggak ada. Emang kenapa? Mau jalan-jalan?" Tanyanya. Nisa Menggeleng. "Kakak kan tahu sendiri, Abi enggak pernah mengizinkan Nisa pergi dengan siapapun." Arvin tersenyum, dia mengalihkan pandangannya pada Nisa. "Kakak harap, satu setengah tahun itu seperti satu hari. Kakak sudah tidak sabar menjadi pendamping kamu. Kakak ingin menjadikan kamu Istri kakak. Kakak harap kamu selalu setia sendiri hingga kakak menjemputmu dalam akad." Nisa terdiam sejenak, pikirannya terlempar kembali pada kejadian satu bulan yang lalu. Dia menghela nafas, dia tidak pantas menjadi pendamping dosen tampan yang ada disebelahnya ini. Nisa menyampingkan posisi duduknya, dia menatap Arvin dengan tatapan teduh. Arvin sendiri sangat menyukai pandangan mata teduh yang diberikan Nisa. "Kak Arvin baik. Kak Arvin adalah orang yang selalu mengerti dengan keadaan Nisa. Nisa Nyaman dengan Kak Arvin. Tapi maaf, dari dulu Nisa hanya menganggap Kak Arvin sebagai kakak Nisa. Enggak lebih." Sungguh Nisa merasakan sesak saat mengatakan itu, selama hampir dua tahun menghabiskan waktu di sini dengan Arvin, tidak dia sangkal bahwa menumbuhkan benih-benih cinta yang bersemayam dihatinya. Kebersamaannya dengan Arvin yang hampir setiap hari membuat dirinya nyaman dan merasa ada yang melindungi jika di kampus. Tetapi saat ini, sungguh dia merasa tidak pantas untuk kaki-laki sebaik Arvin. Arvin berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darinya. Arvin menggeleng, seakan tidak terima dengan apa yang diajarkan Nisa. "Apa waktu selama dua tahun ini tidak menumbuhkan cinta itu di hati kamu?" Tanyanya sendu. Nisa menghembuskan nafas gusar, bohong jika dia bilang tidak. Nyatanya degupan jantungnya tidak bisa terkendali hanya menatap mata teduh Arvin. Namun dia tidak mau Arvin kecewa nanti, ketika mengetuk bahwa dirinya sudah pernah disentuh oleh laki-laki. "Maaf." Satu kata, tetapi membuat d**a Arvin sesak. Dia sangat mencintai Nisa. Dari awal mereka bertemu, hatinya sudah terpaut pada gadis cantik yang ada di hadapannya ini. Arvin merangkum wajah Nisa. Nisa ingin menyingkir, namun ditahan oleh Arvin. Arvin menyelami mata indah itu, mencari kebohongan yang disembunyikan oleh Nisa. Nisa berusaha mengalihkan pandangannya, Arvin yang melihat Nisa seperti itu terkekeh pelan. "Kamu bohong." Nisa terhenyak. Dia tidak bisa menatap lama mata teduh itu, jantungnya tidak bisa diajak kompromi kala bertatapan dengan Arvin. "Dengan kamu yang mengalihkan pandangan ke arah lain, itu sudah membuktikan jika kamu tidak jujur sekarang, Nisa." Nisa Menggeleng, dia berusaha menetralkan degup jantungnya dan menatap mata Arvin. "Nisa enggak ada perasaan apa-apa sama kakak," ucapnya mencoba menyakinkan. Arvin menatap sendu mata Nisa, hingga beberapa saat kemudian tangannya yang membingkai wajah cantik Nisa terlepas begitu saja. Melihat tatapan meyakinkan dari Nisa, membuat ulu hatinya sakit. Nisa hanya diam menatap Arvin yang menatap kosong ke depan. Sungguh jika dia masih memiliki harga diri, dia akan dengan senang hati mengutarakan perasaannya selama ini. Dia begitu nyaman di samping Arvin, dia seperti dilindungi jika dengan Arvin. "Apa ini ada kaitannya dengan tidak masuknya kamu selama hampir tiga minggu?" Nisa menelan ludahnya kasar. Dia memejamkan matanya, dia harus berbohong agar Arvin yakin meninggalkan dirinya yang sudah terlalu kotor. "Iya." "Apa!" Tanya Arvin dengan nada tinggi. Nisa pun terkejut, dia tidak pernah mendengar Arvin menggunakan nada tinggi saat berbicara dengannya. "Ni--sa tunangan." Entah apa yang dia pikirkan hingga berani berkata bohong seperti ini. Arvin menatapnya sendu, kalimat cukup untuk membuat dadanya sesak. "Mana cincin pertunangan kamu?" Tanya sinis. Nisa meremas tangannya, apakah dia harus berbohong lagi? Ya Allah, maafkan Nisa. "Cin--cinnya, Ni--sa lu--pa. Tadi ketinggalan waktu Nisa mandi." Arvin diam, sungguh dia tidak yakin. Mendengar nada gugup dari Nisa, kentara sekali jika dia berbohong. Arvin merogoh saku celana bahannya. Benda berbentuk hati berwarna biru itu membuat hati Nisa semakin sakit. "Aku sebenarnya ingin mengikat kamu dalam pertunangan. Tetapi, apa yang aku dapat? Kebohongan atau kejujuran kamu Nisa? Aku tidak yakin kamu sudah bertunangan. Aku tahu kamu berbohong. Jika rasa itu belum ada, aku akan berusaha lagi, agar rasa itu tumbuh dihati kamu," ungkapnya seraya memakaikan cincin dijemari Nisa yang lentik. Nisa menatap cincin indah yang melingkar di jemarinya. "Kak--" Arvin meletakkan jari telunjuknya dibibir Nisa. "Sssst, aku mencintai kamu Nisa. Terima ini, aku tahu tidak ada pertunangan antara kamu dan pria lain. Maafkan aku karena aku egois ingin memiliki kamu. Biarkan cincin ini menjadi simbol bahwa aku akan berjuang hingga ada cincin lain yang mengantikan cincin ini. Jika ada yang melepaskan cincin ini dan menggantinya dengan cincin yang lebih indah dan berharga untuk kamu, bukan berharga dalam artian mahal atau lebih indah, tetapi ada rasa di dalamnya, rasa cinta yang akan membuatmu bahagia. Temui aku di sini, dan kembalikan cincin ini dengan membawa serta orang yang berhasil mengantikan cincin ini." Nisa meneteskan air matanya, tega sekali dia menyakiti dan membohongi perasaan dan orang yang sangat tulus mencintainya. Sungguh dalam lubuk hatinya yang terdalam, setiap sujudnya dia selalu menggumamkan nama Arvin untuk disandingkan dipelaminan. Arvin menghapus air mata Nisa. "Kita tidak tahu tangisan ini berakhir menjadi bahagia atau berakhir dengan kesedihan. Kakak harap, tangisan ini akan berakhir menjadi tangisan kebahagiaan, yang pasti untuk kita berdua."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN