Bagian 13

1349 Kata
Arvan menatap Nisa yang saat ini duduk di samping kemudinnya, seraya berkata, "nanti aku jemput ya, kita nanti akan mencari kartu undangan untuk pernikahan kita dan sekalian kita fitting baju," ujar arvan yang sudah menggunakan aku-kamu saat berbicara. Nisa menoleh dan mengangguk, pikiran masih terngiang kejadian kemarin, dimana dia tahu bahwa Arvan dan Arvin adalah saudara. Saat ini mereka sedang perjalanan menuju kampus, Arvan yang memaksa untuk Nisa berangkat dengan dirinya. Dengan dalih ingin saling mengenal satu sama lain. "Oh ya nis, berarti kamu sering bertemu arvin dong." Nisa yang memang sedang memikirkan arvin mengangguk. "Iya, makanya Nisa kemarin sedikit terkejut," ujarnya pelan. Arvan menoleh menatap nisa yang sedari kemarin banyak melamun. tangannya yang menganggur mengelus dengan lembut rambut nisa. nisa tersentak dan menoleh ke arah di mana calon suaminya sedang menyetir. Dia sedikit menghindari tangan Arvan agar tidak menyentuhnya. Arvan menarik tangannya kembali. "Ada apa? sedari pulang dari rumahku kemarin, kamu banyak diam. Apa ada yang menganggu pikiranmu?" nisa meneguk ludahnya, "ni--sa hanya sedikit le--lah," dustannya. "Nisa, kita akan segera menikah. Jika ada sesuatu yang menganggu pikiranmu, ceritakanlah padaku, aku akan menjadi pendengar yang baik, mendengar keluh kesahmu, aku siap." Nisa menatap jendela mobil, bagaimana dia bercerita tentang hubungannya dengan Arvin, perasaannya terhadap Arvin yang tidak bisa dibohongi kepada calon suaminya. Nisa menatap Arvan yang saat ini juga menatapnya. Mobil mereka berhenti, karena sudah sampai didepan kampus. Nisa tersenyum tulus mencoba menenangkan Arvan. "Nisa enggak apa-apa kok. Hanya kepikiran saja kenapa mbak Gia baik banget sama Nisa. Dia tidak marah sama sekali saat mengetahui, akan ada wanita lain yang hadir dalam kehidupan rumah tangganya." Nisa mencoba berbohong, dia tidak mungkin jujur kepada Arvan kegelisahannya saat ini. Arvan nengangguk mengerti. "Dia memang baik, Nis." Dalam hatinya, Arvan tersenyum miris. Melihat respon Gia kemarin, benar-benar memperlihatkan bahwa Gia tidak mencintainya. Namun tak apa, dia kan memiliki Nisa dan anak dalam kehidupannya. Lama-lama dia lelah menghadapi Gia. "Masuk sana, udah mau masuk jam kelas kamu kan?" Nisa melirik jam tangan yang ada dipergelangan tangannya. Perempuan itu ingin beranjak dari duduknya, namun lengannya ditahan Arvan. Arvan menatap perut Nisa. "Hei jagoan ayah, sehat-sehat di dalam ya. Jangan keluar sebelum waktunya, ayah akan sabar menunggu. Ayah mau kerja dulu, cari uang, kamu belajar ya sama bunda. Nanti ayah jemput." Sungguh, kebahagiaan bermekaran di hati Arvan, dia bahagia dan dia tidak menyesal atas semua yang terjadi. Nisa hanya diam, tidak ada respon apa-apa, dia masih canggung terhadap hubunganya dengan Arvan. **** Nisa melangkahkan kakinya, setelah tadi Arvan selesai berpamitan dengan anaknya, perempuan segera turun dari mobil. Saat ingin masuk ke dalam kelas yang masih sepi, tanganya ditarik seseorang dan membuatnya menggerakkan kakinya mengikuti langkah lebar laki-laki yang sangat dia kenal itu. "Kak, pelan-pelan. Tangan Nisa sakit." Arvin tidak menggubris perkataan Nisa, dia terus menyeret mahasiswinya itu hingga sampai di taman yang sangat sepi. Tubuh Nisa tersentak di dinding, punggungnya sakit namun dia mencoba menahan rasa sakit itu. "Kak, nisa mohon jangan seperti ini. Kenapa kakak berubah? Kakak kasar," ujarnya dengan menatap mata Arvin yang saat ini menatapnya marah. Arvin mengungkung tubuh Nisa, membuat perempuan itu menahan nafas. dia tidak pernah seintim ini dengan Arvin. Arvin dulu benar-benar menjaga Nisa. Tidak pernah seperti ini. "Jangan terlalu dekat, kak." Nisa mendorong d**a bidang Arvin, namun tidak bisa karena tenaganya lebih kecil dari tubuh kekar laki-laki itu. "Kenapa? bukanya dengan Arvan kamu lebih intim dari ini? hingga hadirlah janin di dalam rahimmu?" tanyanya sinis, dia masih belum terima, jika Arvan harus menikah dengan orang yang sang dia cintai sedarid dulu. "Seharusnya dari dulu aku menyentuhmu, tapi sialnya aku keduluan dengan adik kandung ku sendiri. Sia-sia aku menjagamu Nis, kamu malah menyerahkan tubuhmu ke adikku." Nisa membelalakkan matanya, dia tidak percaya akan lontaran kalimat dari laki-laki yang masih dia cintai ini. Dia bukan w************n yang dengan mudah menyerahkan harga dirinya kepada laki-laki. "Kenapa kamu menatapku seperti itu? Kamu bisa melakukannya dengan Arvan, dan sekarang kamu pasti juga bisa melakukan itu denganku." Nisa mendorong d**a arvin dengan kencang, dia tidak percaya jika yang ada didepannya ini adalah Arvin. Orang yang lembut dan tidak pernah berkata kasar, atau merendahkan dirinya. "Jaga kata-kata kakak. kakak enggak tahu apa-apa. Nisa bukan w************n yang dengan gampangnya menyerahkan kehormatan untuk laki-laki yang belum halal untuk Nisa. Nisa berbicara pun juga tidak ada gunanya, jika memang kakak menganggap nista seperti itu. Tidak apa. nisa akan terima. Satu lagi, terima kasih telah menemani Nisa beberapa tahun ini." Nisa marah akan hinaan yang dilontarkan Arvin, dia menatap Arvin dengan tatapan kecewa. Nisa melepaskan cincin yang diberikan Arvin kepadanya, dia meraih tangan Arvin. Laki-laki itu masih diam menatap Nisa yang sekarang terlihat terluka akan kata-katanya, namun Nisa tersenyum dalam tangisnya saat menyerahkan cincin itu. "Nisa hanya w************n, itu kan yang ada dipikiran kakak? Nisa tidak pantas mendapatkan laki-laki seperti kakak. maafkan Nisa yang selama ini selalu manja dan menyusahkan kakak. Nisa do'akan kakak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari Nisa. Yang pasti, perempuan yang bisa menjaga kehormatannya." Arvin masih diam, dia masih syok, dia telah menyakiti hati gadis pujaannya. sungguh, dia tidak bermaksud, dia hanya masih belum terima jika Nisa akan segera menikah dengan adik kandungnya sendiri. Nisa beranjak, namun tangannya dicekal dan tubuh terbalik tersentak di d**a bidang Arvin. Arvin memeluk Nisa dengan sangat erat, Nisa pun membalas pelukan Arvin. Mereka menangis bersama, menangisi takdir yang tidak mengizinkan mereka bersama. mereka sama-sama merasakan sakit hati, namun Arvin lah yang paling tersakiti, melihat orang yang dia cintai harus menikah dengan adik kandungnya sendiri, siapa yang bisa ikhlas. "Nisa harap, kakak bahagia dan bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari Nisa. Nisa bukan orang yang baik kak." Tarvin menggeleng, "maaf sudah menyakiti hati kamu dengan kata-kata kakak tadi. kakak hanya tidak bisa mengerti keadaan ini, kakak belum siap jika kamu akan menjadi adik ipar kakak." Nisa menangis mendengar betapa menyayat hati tangisan Arvin, laki-laki dewasa itu sungguh sangat mencintainya terbukti dengan air matanya yang jatuh tanpa malu mengalir di pipinya. "Maafkan Nisa, kak. Jika keadaannya tidak seperti ini. nisa akan terus bersama kakak. tapi Nisa sudah kotor, Nisa bukan wanita baik-baik," isaknya. Arvin menggeleng di bahu Nisa, laki-laki itu sungguh ikut merasakan kepedihan yang dirasakan perempuan ini. Hatinya pun juga ikut perih, saat tahu dirinya tidak bisa bersama dengan perempuan yang sangat dia cintai. "Jangan mengatakan seperti itu, Nis. Kamu tidak kotor, kamu adalah wanita baik. Maka dari itu kakak mencintai kamu." Nisa semakin mengeratkan pelukannya, mungkin ini untuk terakhir kalinya dia bisa merasakan pelukan hangat dari seseorang yang dia cintai. setelah puas saling melepaskan kesedihan, Nisa dan Arvin saling melepaskan pelukannya. Laki-laki tampan menghapus air mata nisa dengan begitu lembut. Nisa hanya mampu diam dan menatap manik mata Arvin yang sayu, mata yang biasanya berbinar kala bersamanya kini berganti dengan binar kesedihan. "Sudah cukup air mata kamu. Kamu harus bahagia. walaupun bukan bersama kakak, kakak akan mencoba ikhlas. Kakak sangat mengenal Arvan, dia akan bertanggung jawab untuk hal apapun. Dia pasti akan membahagiakan kamu. sekarang pergilah, ada jam kan hari ini, jangan sampai telat kalau tidak mau mengulang semester depan." Nisa hanya diam menatap arvin yang selalu tahu apa jadwalnya. Laki-laki itu tersenyum tulus, dia menatap cincin yang ada digenggamannya. Dia meraih tangan Nisa dan menaruh cincin itu di telapak tangan Nisa. "Kakak tahu, hubungan poligami itu sangat sulit dan rumit. Kakak mohon simpan ini, jika suatu saat nanti kamu sudah tidak sanggup, berikan cincin ini kepada kakak. Kakak akan dengan senang hati menerima kamu. maafkan kakak yang terkesan masih mengharapakan kamu, kakak--" "Jangan pernah korbankan masa depan kakak hanya untuk Nisa. Kak Arvin enggak boleh berharap kepada Nisa, kakak harus mencari kehidupan kakak sendiri. Banyak perempuan yang ada diluar sana yang menginginkan kakak menjadi suaminya. Insyaallah dengan izin Allah, aku bisa melewati dan bisa mempertahankan pernikahan. Aku mohon cari perempuan lain. Maafkan Nisa yang selalu buat kakak kecewa. Nisa permisi, assalamu'alaikum." nista segera beranjak setelah memberikan cincin itu kepada arvin. Arvin terdiam di tempat, matanya menatap punggung bergetar Nisa yang kian menjauh. mereka sama-sama tidak menginginkan hal ini terjadi, mereka ingin sama-sama meraih kebahagiaan bersama, namun sayang, Allah tidak menghendaki hal itu, Allah menghendaki mereka sama-sama terluka, untuk meraih kebahagiaan yang tiada tara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN