Bagian 3

1478 Kata
Nisa bersandar didinding dekat pintu, tubuhnya sangat lemas, tubuhnya enggan bergerak, dia rasanya ingin mati sekarang juga. Hidupnya sudah hancur, tidak ada harapan lagi dia hidup, dia tidak bisa hidup dengan rasa jijik pada dirinya sendiri. Bagaimana dia harus menjelaskan kepada kedua orangtuanya dan dia yakin kakaknya akan semakin membencinya jika tahu dirinya telah terjamah. Nisa terisak pilu, dia mendongak dengan isakan yang semakin kencang, "kenapa harus Nisa? Nisa enggak siap menghadapi umi, abi, dan abang. Lebih baik Nisa mati, ambil nyawa Nisa. Nisa enggak sanggup, Nisa sudah kotor. Cabut nyawa Nisa," isakan pilu penuh rasa bersalah membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa iba. Percakapannya dengan Umi tiba-tiba terngiang di kepalanya. "Nak, Umi tidak marah. Hanya saja Umi takut, umi selalu takut kala kamu keluar dari rumah dengan mahkota yang kamu umbar, rambut kamu sangat indah, wajah kamu pun sangat cantik. Tidak ada yang bisa menolak kecantikan anak umi, hal itu membuat umi takut jika suatu saat, jika kamu tetap tidak mau menutup mahkota kamu itu, ada yang Berniat jahat kepada kamu, nak. Jilbab bukan hanya sebuah kewajiban, sayang. Jilbab juga bisa melindungi diri kita dari mata-mata jahat yang selalu mengintai kita." Nisa menarik rambutnya sendiri, dia menyesal tidak mendengar perintah sang umi. Ucapan umi terus mengusik pendengarannya, membuat rasa bersalah mengakar dihatinya. "Nisa kotor umi, Nisa kotor. Nisa tidak pantas menjadi anak umi, Nisa kotor! Maafkan Nisa, Maafkan Nisa." Nisa terus menyakiti dirinya sendiri. Dia menjambak rambutnya hingga banyak yang lepas dari akarnya. Merasa tidak pantas hidup lagi. *** Sedangkan dilain tempat laki-laki tampan dengan tubuh atletis itu berjalan dengan santai menuju keruangan. Dia hanya menatap ramah para karyawan yang tengah menyapanya dengan sopan. Dia segera memasuki lift dan setelah sampai dilantai yang dia tuju, dia keluar dari lift tersebut. Seseorang yang dekat dengan kehidupannya itu mendengus kesal saat melihat baru sampai. "Dari mana lo? Kenapa jam segini baru datang?" Laki-laki dengan rambut berwarna coklat itu menatap jengah sahabat sekaligus sekretarisnya tersebut. "Tadi Pak Reynaldo hampir saja menarik kerja samanya dengan perusahaan kita, untung gue bisa bernegosiasi dengan beliau. Apa sih sebenarnya mau lo? Lo Enggak mikir apa, dengan susah payah kita bisa bekerjasama dengan Pak Reynaldo, seenak jidat lo, lo enggak datang waktu tanda tangan kontrak!" "Berisik lo, Zam. Udah kayak cewek aja lo," ucapnya kesal. Dia segera melenggang masuk kedalam ruangannya. Laki-laki tampan bermata tajam itu menatap sahabatnya yang terlihat banyak beban pikiran. Kakinya melangkah mengikuti bos, sekaligus sahabatnya masuk kedalam ruangan. Dia mendudukkan dirinya disamping sahabatnya saat ini memijat pelipisnya. "Kenapa lo kemarin ninggalin gue, Van. Gue bingung nyariin lo! Kemana lo kemarin. Dan sebenernya kenapa sih, ada masalah apa sampek mabok kayak kemarin? Gia lagi?" Pertanyaan beruntun itu membuat laki-laki tampan itu menatap sahabatnya. "Gatau Zam. Bingung gue sama perasaan gue sendiri. Setelah menikah gue nyentuh dia aja gak pernah. Dia gak pernah mau sekedar gue sentuh. Tapi gue juga gak bisa ninggalin dia, kasihan dia Zam," ujarnya lelah dengan sikap sang istri yang kian menjadi. Pasalnya satu bulan setelah pernikahan, dia tidak pernah sekalipun menyentuh istrinya itu, tidurpun terpisah. Azzam berapa di sofa dan istrinya berada ranjang. Rumah tangga macam apa itu. "Gue paham perasaan lo. Tapi kan ini udah jadi keputusan lo. Lo yang milih untuk menikahi Gia yang seharusnya enggak menjadi tanggung jawab, lo. Terus juga, mungkin Gia masih butuh waktu untuk menerima ini semua, setelah kejadian yang menimpanya pasti berat buat menghadapi proses selanjutnya." Laki-laki itu menepuk pundak sahabatnya, berusaha menenangkan sahabatnya itu. P "Udah 1 bulan, tapi kayak gini terus. Gue sayang sama dia Zam. Apapun gue lakuin demi dia. Termasuk menentang keluarga gue sendiri. Sikapnya pun kadang buat gue frustasi, dia tidak pernah dengerin gue sebagai suaminya. Malah kadang dia nentang, Zam. Tapi gue gak bisa ninggalin dia." "Cinta memang mengalahkan segalanya, Gue yakin lambat laun semuanya akan indah, Gia pasti bakalan berubah, setelah lihat perjuangan lo yang enggak main-main." Azzam mencoba menghibur sahabatnya. Cukup rumit memang kisah mereka. "Gaya bicara lo, Zam. Gimana dengan cinta lo itu? Saran Gue, buang jauh-jauh perasaan lo, enggak baik. Lo akan menyakiti banyak hati, jika lo terus mempertahankan perasaan yang lo Sendiri tahu, itu sudah enggak bisa." Laki-laki itu menyandarkan punggungnya di sofa seraya menatap sahabatnya, berkali-kali dia selalu mengingatkan bahwa perasaan itu jangan disimpan, harus dibuang, karena memang tidak baik untuk masa depan keluarga. Zam? Iya dia adalah Azzam, Laki-laki yang memiliki wajah tampan itu diam sejenak, "Enggak bisa, sulit, Arvan." Laki-laki yang dipanggil Arvan itu berdecak kesal, seraya berucap, "serah lo, yang penting gue udah menasehati. Jika sikap ko seperti itu, enggak cuma adik Lo yang sakit, kedua orang tua bahkan keluarga besar lo akan sakit hati gara-gara lo yang enggak bisa move on. Lo harus mikir ke depan, perasaan lo itu udah enggak bisa. Mending Lo cari yang lain." Azzam mengusap wajahnya dengan kasar. Kisah cinta yang rumit membuat dirinya pusing. "Ah, sudahlah. Gue akan berusaha walaupun sulit." Arvan menepuk pundak sahabatnya dengan senyum tulus. Dia berharap sahabatnya itu bisa mengendalikan perasaannya. "Ya sudah, gue bakal ada buat lo. Oh ya, hari ini jadwal gue apa?" Tanyanya pada Azzam. "Meeting di Hotel Nirwana dengan Pak Hendi, setelah dzuhur nanti." "Masih lama, mendingan kita makan siang. Gue lapar, sumpah. Dari kemarin gue belum makan apa-apa." Azzam terkekeh pelan, dia dan Arvan bersahabat dari mereka sekolah menengah atas, dan persahabatannya lanjut kejenjang perkuliahan, hingga terjalin persahabatan yang sangat erat, sehingga Arvan mengangkatnya sebagai sekretaris. Mereka saling menasehati satu sama lain, walaupun sering tidak didengarkan dan dilakukan, tetapi setidaknya jika salah satu dari mereka ada masalah akan ada yang memberikan solusi dan mensupport. *** Arvan berjalan menuju ke apartemennya, dia segera membuka pintu itu dengan sidik jarinya, saat pintu terbuka matanya menangkap sosok gadis cantik yang tengah tidak sadarkan diri samping pintu. Arvan mendudukkan dirinya. Dia menatap lekat wajah cantik Nisa yang sembab, dia menangkup wajah Nisa, memperhatikan setiap inci dari wajah cantik tersebut. Rasa bersalah itu muncul, ketika melihat bekas air mata yang telah kering. Dia yakin gadis itu menangis seharian ini. Tanpa menunggu lama, tubuh mungil itu sudah berada di gendongannya, membaringkan tubuh itu secara perlahan, agar tidak membangunkan gadis itu. Lagi-lagi dia memperhatikan wajah cantik itu. Bibirnya mendekati telinga Nisa seraya berbisik, "maafkan saya." Arvan berdiri, dia segera membereskan sereal yang tidak tersentuh sama sekali. Setelah menaruh sereal itu di dapur. Segera laki-laki itu mandi, tubuhnya sudah sangat lelah. Hanya perlu lima belas menit untuk membersihkan dirinya, melihat Nisa yang belum bangun juga membuat dirinya kasihan, Nisa belum makan sedari pagi, dia tidak ingin wanita itu sakit. Segera dia ke dapur untuk memasak makanan untuk Nisa. *** Nisa mengerjapkan matanya, dia menatap langit-langit kamar, mengapa dia berada disini, seharusnya dia tadi berada di samping pintu. Dia menatap ke sekitar, tidak ada siapa-siapa disini. Saat dia ingin beranjak, tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka, Nisa terlonjak kaget saat melihat siapa yang datang. Matanya memanas dan bayang-bayang menyesakan itu kembali hadir di pikirannya. "Makanlah," ujarnya lembut. Nisa beringsut mundur saat laki-laki itu mendekat. Matanya menatap was-was pada laki-laki tampan yang ada didepannya. "Jangan Sentuh aku. Lepaskan aku. Aku mau pulang!" Laki-laki itu menghela nafas, dia menatap wanita cantik yang mengenakan kemeja hitam miliknya. Dia memejamkan matanya, mencoba menahan diri. Dia menatap Nisa dengan lembut. Dia Menggenggam tangan Nisa dan menariknya agar mendekat. Sebelumnya dia sudah meletakkan makanan yang dia bawa di meja kecil samping ranjang. Nisa mencoba menarik tangannya, usahanya sia-sia karena laki-laki itu begitu kuat. Nisa menatap laki-laki itu dengan takut. "Duduklah dengan tenang dan makan!" Perintahnya tajam. Nisa Menggeleng dengan air mata yang sudah meleleh. "Lepas! Lepas! Aku mau pulang, lepaskan aku!" "Diam!" Nisa tetap tidak mau diam. Dia terus meronta-ronta agar di lepaskan. Bukannya dilepas laki-laki itu semakin kuat mencengkram tangannya dan kejadian memilukan kemarin terjadi lagi kepada Nisa. Nisa hanya bisa menangis, tenaganya terkuras habis, bayangkan, Nisa sedari pagi belum makan apapun, badannya lemas, berontak pun sia-sia karena tenaga laki-laki itu sangat kuat. "Jangan menangis, tenanglah. Aku akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Istirahatlah, badanmu pasti lemas," ucapnya setelah selesai melakukan sesuatu yang membuat Nisa semakin jijik kepada dirinya sendiri. Nisa menepis tangan laki-laki itu yang menghapus air matanya. Nisa menangis tersedu-sedu, tubuhnya terasa mati rasa, tubuhnya lemas susah untuk digerakkan, hingga malam semakin larut dan tenaganya terkuras habis membuat kesadarannya lama-lama hilang. Arvan yang belum tertidur, mengelus rambut indah Nisa, dia menatap Nisa dengan tatapan dingin, entah apa yang dia pikirkan hingga berani berkata jika dia akan bertanggung jawab, lalu bagaimana dengan istrinya, yang saat ini tengah hamil. Dia menghela nafas, tatapannya tidak beralih dari wajah kelelahan Nisa. Sungguh dia tidak tahu, mengapa dia seberani ini. Dia tidak pernah tidur dengan wanita manapun selama ini, tapi dengan Nisa, entah apa yang di miliki gadis cantik yang sekarang tertidur kelelahan karena ulahnya, hingga dia merasa tidak bisa lepas dari Nisa. Laki-laki itu menghela nafas panjang, memposisikan dirinya untuk ikut tidur dengan Nisa. Memeluk Nisa dengan erat dari samping, seolah tidak ingin kehilangan Nisa yang bukan siapa-siapanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN