My Destiny | 9

1540 Kata
Di sore yang cerah ini, Rara di undang ke acara ulang tahunnya si kembar--putra dan putri--Alsen dan Kania yang ke lima tahun. Rara pergi sendirian karena Calvin sedang melakukan penelitian tugas ke luar kota. Sementara Alex, Rara tak tahu. Sudah seminggu mereka tak bertemu, terakhir kali ketika sarapan pagi itu. Rara pikir Alex marah padanya karena telah menjalin kasih dengan Calvin sementara kata pria itu Rara masih bocah, harusnya fokus pada pendidikan dan karier dulu. Alex juga tidak sama sekali menghubunginya, atau pun melihat status yang dia buat--mungkin saja sedang dibisukan saking tak mau melihat. Mengesalkan bukan? Namun sebaliknya, Rara padahal ingin tak peduli, tetapi malah sebaliknya. Dia selalu mencari tahu perkembangan Alex. Dari pekerjaannya di kantor, jalin kasihnya dengan Syeila, atau kegiatan sehari-hari yang dia lakukan setelah ngantor. Bodohkan? Ya begitulah, Rara memang selalu bertergantungan dengan Alex. Hampa saja rasanya tak ada pria itu untuk merecoki hidupnya yang indah ini. Sesampainya di rumah keluarga kecil Alsen dan Kania, Rara disambut oleh ibunya--Julia. "Mami ...," serunya dengan semangat. Julia menerima uluran tangan Rara, membawa putrinya ke dalam pelukan hangat. "Syukurlah Mami ada di sini, malam ini aku mau menginap di rumah. Kangen banget sama orang rumah. Papi ada di rumah kan? Kemarin aku mengirimkan pesan, tapi belum dibaca sama Papi. Sepertinya Papi sangat sibuk bulan ini." Julia mengusap pipi Rara, lantas mengangguk. "Papi sangat sibuk, dalam bulan ini dia memiliki dua kali jadwal keluar kota." Kemudian tersenyum manis. "Tentu saja, Sayang. Pulanglah lebih lama ya, kami semua merindukan kamu. Apa kamu baik-baik saja di apartemen? Maaf Mami nggak sempat mengunjungi kamu belakangan ini, kedua adikmu barengan demam. Baru sembuh dua hari yang lalu." Rara menggaruk pelipisnya. "Aku yang minta maaf, Mami. Aku kesibukan kuliah dan latihan musik sampai nggak tahu keadaan mereka berdua." Kadang Rara merasa seperti sudah meninggalkan keluarganya sendiri, sibuk dengan kehidupannya yang ternyata tidak jauh lebih menyenangkan. Kadang bosan, tapi malas juga mau pulang. Entah apa yang sedang dia rasakan, semua serba dalam kebingungan. "Ah, nggak pa-pa, Sayang. Mami sama Papi mengerti kok, kamu fokus ya sama pendidikan kamu. Buat Mami dan Papi selalu bangga sama kamu, apa pun pencapaian kamu." Tidak pernah membandingkan putrinya dengan siapa pun, Julia tahu Rara yang terbaik. Anaknya selalu menjadi nomor satu, dia mendukung segala pilihan baik Rara dalam bidangnya. Rara tersenyum manis, dia mengangguk. "Aku sangat menyayangi Mami, terima kasih untuk cinta Mami selama ini sama Rara ya. Maaf banyak merepotkan." Julia menggeleng. Dia mengusap lengan Rara dengan begitu sayang. "Enggak, Sayang. Siapa bilang sih kamu merepotkan? Anak Mami satu ini begitu mandiri dan bisa melakukan segalanya sendirian. Bukankah itu sangat menakjubkan, Sayang?" Rara mengangguk. "Rara sayang Mami banyak-banyak dan selamanya!" Memeluk perut Julia, memejam matanya untuk beberapa saat menikmati hangatnya sentuhan seorang ibu. Dengan gemas, Julia mencubit kedua pipi putrinya itu. "Mami juga menyayangi kamu banyak-banyak. Ayo, Sayang ke dapur. Gabung sama yang lainnya juga." "Kak Kania mana, Mi? Aku mau bertemu dengannya, sudah lama tidak berjumpa. Kangen!" "Di kamarnya, Sayang, coba kamu susulin sana. Tapi katanya mau ganti pakaian, habis ketumpahan jus di dapur." Rara mengangguk senang, lantas melangkah lebar menuju kamar Kania. Karena sudah terlalu akrab dan berasa rumah sendiri, Rara langsung membuka pintu cokelat di hadapannya tersebut. "Astaga! Maaf, aku mengganggu acara kalian kayaknya!" Rara memekik kaget ketika melihat Alsen sedang memeluk Kania. Keduanya juga ikut terkejut, segera Alsen menyudahi pelukannya. "Ganggu terus emang kerjaan kamu. Dari dulu, nggak pernah berubah!" Alsen mencubit gemas pipi Rara saat pria itu melangkah melewati Rara, meninggalkan kamar. "Masuk, Ra." Kania mempersilakan. Rara menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. "Maaf ya, Kak. Selalu aja ngenganggu ya akunya. Ya sudah lain kali kalau masuk ketuk pintu dulu. Untung cuman pelukan, kalau lebih-lebih kan akunya tambah malu." Kania tertawa kecil. "Nggak apa, santai aja, Ra. Itu si Abang kamu tiba-tiba aja akhir-akhir ini manja banget, apa-apa selalu minta di peluk dan di cium. Heran banget. Aneh tapi nyata kelakuannya." Kania mengangkat bahu, dia seperti memiliki tiga anak kecil. Satunya lagi anak kecil jadi-jadian, siapa lagi kalau bukan Alsen? "Benarkah?" Rara menyernyit. "Oh aku sepertinya menemukan perbedaan dari Kak Nia. Nggak seperti terakhir kali kita bertemu." Dia memerhatikan dengan baik diri Kania, matanya bergerak dari atas hingga bawah. "Lho, memangnya apa yang berbeda? Aku kelihatan lebih berisi ya?" Kania menebak tepat sasaran, memang dia banyak sekali makan belakangan ini. Napsu makannya bertembah dua kali lipat, atau bahkan tiga. Mungkin? Rara menjentikkan jari, membenarkan. "Benar! Kak Nia hamil lagi?" Pertanyaan Rara mampu membungkam Kania. Wanita itu terdiam dengan keadaan mematung. "B-bagaimana bisa?! Gaby dan Gabriel belum terlalu besar, kami sengaja menunda dulu untuk dua tahun ke depan, paling tidak sampai Gaby dan Gabriel masuk sekolah dasar. Alsen menyetujuinya, dia sama sekali tidak keberatan akan hal itu." "Beneran, Kak. Ini bukan sekadar berisi doang, wajah Kak Nia juga terlihat lebih bercahaya. Hamil, fix! Aku yakin banget." "A-aku kehabisan pil waktu itu, tapi dua hari setelahnya aku meminumnya lagi. Sampai sekarang tidak pernah bolong kembali." "Tapi saat tidak memakan pil, Kakak dan Bang Alsen melakukannya?" Ragu, Kania mengangguk sambil menggigit bibir bagian bawahnya. "Kamu tahu sendiri kan Abangmu kayak gimana. Mana bisa dia puasa lama-lama. Maunya juga setiap hari kalau bisa." Rara menggelengkan kepalanya keheranan. "Ish, ish! Sudah kuduga, ini pasti berhasil lagi pembuahannya. Sangat cepat, hebat juga Bang Alsen. Sekali buat tanpa pil langsung jadi. Wow!" Lalu bertepuk tangan, mengacungkan dua jempolnya. "Rara kamu jangan bercanda. Ini nggak lucu sama sekali tahu. A-aku harus gimana? Astaga ... Alsen kan! Sudah kubilang waktu, tetap aja memaksa main. Kan, jadinya begini." Kania menggerutu sebal. Bukannya tidak menginginkan anak lagi, hanya saja menurut Kania ini bukan waktu yang tepat. "Sabar, Kak. Terima kenyataan aja udah, memangnya mau gimana lagi? Udah keburu kebentuk janinnya, memangnya Kak Nia tega gugurin mereka?" "Heh, sembarangan. Kalau sampai itu terjadi, Alsen bakal marah besar. Aku juga nggak mungkin setega itu membunuh darah dagingku sendiri." Rara terkikik geli. "Ya sudah, terima saja. Dan satu lagi, berhenti meminum pil. Takutnya nggak baik buat perkembangan janin." Rara mengingatkan. Meski masih kecil--kata Alex, Rara sudah mengetahui hal-hal demikian. "Pegang aja kata-kataku, fix hamil. Nanti kabarin ya kalau benar apa kataku." Lalu mengedipkan sebelah matanya. "Ya sudah, Kak Nia kembali bersiap. Aku mau susulin Gaby dan Gabriel dulu, dia sama Mommy Ara kan?" "Iya." Sebelum Rara beranjak dan meninggalkan kamar, Kania menghentikannya. "Jangan bilang siapa-siapa yang baru aja kita bicarain ini. Biar aku cek kebenarannya dulu." "Oke siap. Tenang kalau sama aku, rahasia aman. Kalau nggak keceplosan ya tapi ...." "Hey, anak ini!" Kania mendesis. "Awas aja!" "Iya, iya. Ih takut banget." Rara tertawa. "Oh satu lagi. Bagaimana hubunganmu dengan Alex?" Rara yang tadinya ketawa langsung mengubah ekspresi menjadi datar. "Kenapa aku dan Alex? Kita berdua masih sama seperti dulu, nggak ada yang berubah kok, Kak." Dengan susah payah, Rara mengulas senyum. Meski memampu mungkin menunjukkan sikap baik-baik saja, Kania tipe orang yang sangat peka. Dia pasti dapat membaca mimik wajah Rara dengan baik. "Hanya itu?" Kania menghela napas. "Aku saja yang merasakannya, atau bagaimana. Alex menyukai kamu, Ra. Apa kamu tidak menyadarinya?" "Eh? Kebalik, Kak!" Rara meralat. Bukan Alex yang mencintainya, tapi Raralah yang mencintai pria itu. "Aku yang mencintai Alex begitu banyak, sedangkan dia terhadapku biasa-biasa aja. Apa kak Nia lupa, dia pernah memperkenalkan kekasihnya di hadapan kita semua. Alex masih bersama dengan Kak Syeila, sedari dulu cintanya tak berubah pada Kak Syeila." Kania terdiam. "Aku baik-baik aja kok, Kak. Jangan terlalu dipikirkan, aman. Hati aku sudah sekeras batu, udah kebal banget." "Ra ... entah apa yang sedang aku rasakan terhadap kalian berdua sejak dulu. Hanya saja, ada satu rasa yang begitu nyata terlihat, Alex dan kamu saling mencintai." Rara tertawa hambar. "Ngaco ah, Kak Nia. Udah nggak usah dibahas lagi, entar bikin aku makan hati lagi. Lagian Kak, aku udah punya kekasih. Dia ganteng dan sayang aku pakai banget. Namanya Calvin, nanti sesekali aku ajak main ke sini ya." Sebelum benar-benar meninggalkan kamar Kania, langkahan Rara kembali dihentikan. "Ra, sampai kapan kalian salimg membohongi perasaan masing-masing? Tidak cukupkah selama ini kalian saling terluka dengan pilihan yang seperti ini? Aku dapat merasakan, benar adanya jika kalian sedang menjalin hubungan dengan masing-masing orang. Tapi nyatanya ... hati kalian tak bertujuan kepada mereka." Kania menjeda sebentar ucapannya. "Aku benarkan?" Rara tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam. Apa yang diucapkan Kania benar bagi Rara, belum tentu bagi Alex. Rara benar mencintai Alex, namun sepertinya tidak begitu dengan Alex. Dia mencintai Syeila, hubungan mereka yang sangat jauh sudah cukup menjadi jawaban. Rara memilih melanjutkan langkahannya, benar-benar menghilang dari pandangan Kania. Hatinya kuat, Rara kuat. Apa benar begitu? Bagaimana jika benar Tuhan menakdirkan Alex berjodoh dengan Syeila. Apa Rara masih bisa bersikap baik-baik dan biasa saja? Rara tidak yakin, hatinya pasti akan semakin patah. Lagi dan lagi. Memang, mencintai seorang diri begitu menyiksa, membunuh secara perlahan. Begitu menyakiti, tapi nyatanya hati Rara tak gampang dihentikan maunya apa. Alex, pria itu satu-satunya yang menguasai. Namun kenyataannya, Alex bersama Syeila ... mereka sudah melakukannya berkali-kali. Bagaimana kalau Alex kecolongan seperti Alsen? Sekali coblos langsung mampu menghidupkan nyawa lain dalam rahin Kania. Aish, sialan! Tolong siapa pun, hentikan pemikiran gila satu ini. Hati Rara meski kebuat baja, dia juga bisa mati dengan terkikis habis dalam perlahan. Rara takut, hatinya sudah benar-benar tak berfungsi lagi. Sulit mencintai orang lain, sebagai pengganti Alex. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN