Ketika yang lain sedang beramai-ramai di dalam, Rara memilih duduk sendirian di halaman belakang. Duduk di kursi seorang diri sambil menikmati similir angin sore menjelang malam. Burung berterbangan bersama kawan-kawannya ke pohon satu menuju pohon yang lainnya. Nampak menenangkan, pas untuknya yang lagi banyak pikiran. Bosan, tapi tidak bisa keluar dari zona yang membingungkan ini. Memang aneh, tapi Rara sedang menjalaninya sekarang, jadi nikmati saja dulu.
Rara masih teringat ucapan Kania, begitu mengganggu pikirannya. Menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak yang kedengarannya tidak masuk akal. Seolah Rara ini manusia tak tahu diri.
Apakah benar Alex mencintainya juga?
Jadi, cinta Rara selama ini tidak bertepuk sebelah tangan?
Apa perhatian dan banyak aturan yang Alex berikan selama ini pertanda bahwa dia menyayangi dan takut kehilangan Rara?
Benarkah demikian? Sungguh, hal ini membuat Rara besar kepala. Dia tak seharusnya begini, namun bagaimana lagi ... jika semua pertanyaannya terjawab dengan benar, Rara jamin dirinya adalah orang paling bahagia di muka bumi ini. Mendapatkan Alex adalah impian sejak kecil, bukankah jika kesampaian itu tandanya sebuah anugerah besar dari Tuhan?
Rara seakan gila memikirkan hal ini. Jika tak sesuai harapan nanti dia juga yang akan terhempas. Rara memang senang menyakiti hatinya sendiri padahal sudah tahu jika kemungkinan Alex memiliki rasa padanya sangat kecil.
Kenyataan yang begitu nampak selama ini: Alex menganggap Rara adik, seperti Alya. Miris sekali nasibnya bukan?
Lama melamun, seseorang datang dan langsung duduk di sebelah Rara tanpa permisi. "Lama nggak ketemu ya, satu minggu. Gimana keadaan kamu?" tanyanya tanpa menoleh. Pandangannya ikut terarah pada langit yang sudah mulai gelap. Malam ini sangat cerah, tidak ada tanda-tanda hujan menampakkan diri.
"Oh ... aku baik. Sangat baik." Rara menyunggingkan senyum. Napasnya sempat tertahan beberapa saat.
"Baguslah." Alex mengangguk paham. "Kenapa di sini, lagi sedih?" Dia tidak menatap Rara, melainkan melihat ke arah burung-burung yang berkicau indah di atas sana.
Rara terkejut, segera dia menyadarkan diri dari lamunannya. Bagaimana bisa kebetuln begini, dia sedang memikirkan Alex, lalu Tuhan takdirkan pria itu untuk duduk bersamanya saat ini. "Eh? E-enggak kok."
"Terus kenapa nggak ikut kumpul sama yang lain?" Alex masih tidak menunjukkan ekspresinya.
Rara sejak tadi tidak melihat Alex ada di antara keluarga lain, apa pria itu baru datang? Bersama Syeila atau sendirian saja?
"Hm ... aku cuman hanya sendirian aja. Lagi nyari angin, mau nungguin bintang muncul juga. Senang aja liatnya."
Alex mengangguk. "Selalu itu alasan kamu ketika menyendiri? Bukan karena sedang sedih atau memikirkan sesuatu yang mengganggu pikiran?" Alex kenal Rara sudah sangat lama, tidak seharusnya Rara berbohong begini. Alex tahu bukan hal itu yang mengganggu pikiran Rara, pasti hal lain yang jauh lebih penting.
Rara terbatuk. Alex paling tahu dirinya, jika Rara berbohong dia akan mengetahui lebih cepat dari yang lain. Sebenarnya, mereka sudah sangat cocok. Mengetahui kepribadian masing-masing, hanya saja sepertinya tak ditakdirkan untuk bersama. Menyakitkan? Tentu saja.
"Ya, mungkin sedikit."
"Mau cerita? Aku siap mendengarkannya."
Apa yang harus Rara ceritakan kepada Alex? Tentang perasaannya yang semakin tidak tahu diri ini? Cih, sama saja kalau begitu Rara membunuh dirinya sendiri. Semua akan percuma saja, sebab Alex memang tak bisa bersamanya. Kenapa serumit ini hubungan mereka?
Jika kalian bertanya, apakah Rara pernah mengungkapkan rasanya pada Alex? Maka jawabannya, iya. Hanya saja ... Alex memberikan respon yang tidak di sangka. Alex berpikir Rara hanya membuat lelucon, dan selalu menyadarkan Rara jika hubungan mereka tak lebih dari adik-kakakan saja.
Sebenarnya Alex sangat tahu jika Rara mencintainya, tetapi tetap memilih diam untuk kebaikan bersama. Mungkin karena Alex tak sanggup menyakiti Syeila. Wanita favorite-nya. Dan jika bersama dengan Rara nanti malah berujung menyakiti, Alex paling anti bukan menyakiti Rara?
"Nggak ada cerita. Belakangan ini tidak ada yang begitu menarik perhatian." Rara mengangkat bahu, menghela napasnya panjang.
"Benarkah? Lalu kenapa tatapanmu kosong tak bertujuan kayak gitu?" Alex menghadap Rara, menaikkan sebelah alisnya meminta penjelasan lebih memuaskan untuknya. Alex tahu betul bagaimana Rara, ada yang tengah mengganggu pikirannya. Tidak lain lagi, pasti!
"Kamu tahu aku, bagaimana bisa kamu berbohong begini. Aku mengetahuinya, kamu sedang menutupi sesuatu."
"Menurut kamu, menyukai seseorang itu wajar kan?" Rara mengubah posisinya, menghadap Alex, menatap dalam pria itu hingga keduanya sama-sama terdiam beberapa saat untuk saling bertukar pandang.
"Kamu sudah menyukai Calvin?" Alex bertanya datar. Karena jawaban Alex tak sesuai dengan harapan Rara, gadis itu memalingkan wajahnya kembali. Memberengut kesal. Harusnya Alex bilang wajar, agar Rara dapat meneruskan pembicaraan.
"Ya, wajar. Namanya juga manusia kan, pasti punya rasa suka." Alex berucap kemudian. Dia tahu Rara tak berniat menjawab pertanyaannya tadi. Tidak ingin membuat perasaan gadis itu semakin berat.
Rara menundukkan kepalanya lemas. Dia jadi sedih seketika.
"Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Calvin menyakitimu? Membohongimu? Ck! Aku sudah bilang ... dia memang lelaki brengs--"
"Kalau aku suka kamu, wajar?"
Alex terdiam. Tubuhnya mematung seketika. "Raaa ....?"
Rata menutup telinganya. Kemudian menggelengkan kepala. "Aku ngaco, nggak usah dianggap serius. Nggak usah dibahas lagi, anggap saja aku nggak pernah mengatakannya." Setelah itu Rara ingin beranjak dari tempat duduknya, namun Alex segera meraih pergelangan tangannya.
Secepat kilat dan tanpa bisa dicegah oleh siapa pun, Alex mencium Rara. Tepat di bibir gadis itu.
Tubuh Rara menegang. Matanya langsung tertutup rapat dengan keadaan d**a berdebar kencang. Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang akan meledak.
Ketika merasa tidak sama sekali mendapat respons dari Rara--membalas ciumannya--Alex menghentikan. Dia menutup dengan kecupan singkat. Entah apa yang sedang dipikirkan, Alex juga tengah kacau ... semuanya terjadi begitu saja.
Ini yang pertama kalinya mereka melewati batasan, oh bukan mereka tetapi hanya Alex.
Cukup lama Rara mengumpulkan nyawanya, barulah setelah itu dia beranjak meninggalkan Alex dalam kebisuan. Kedua kaki Rara bahkan sudah bergetar, dia tidak tahu harus melakukan apa. Langsung kosong, semua seakan direnggut habis dari dalam dirinya.
Rara tidak menyangka Alex akan melakukan ini padanya. Apa ini salah Rara juga yang mengungkapkan perasaannya duluan? Bukankah sedari kecil dia juga sering mengatakan jika suka Alex? Ingin bersamanya jika sudah dewasa nanti.
Sementara Rara sedang bergelut dengan pikirannya, Alex juga demikian. Dia tertunduk lemah sambil mengacak-acak rambutnya. Kenapa dia jadi sebrengsek ini?
Tidakkah memikirkan bagaimana perasaan Rara juga?
Cukup lama Alex terdiam sendirian di bawah hamparan bintang di langit malam itu yang nampak menerangi kegelapan.
Ketika Alex menanyakan keberadaan Rara pada para keluarga, ternyata gadis itu sudah lebih dulu pulang bersama Julia. Alasannya karena sedang tidak enak badan.
Rara pasti marah padanya. Alex harus meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
"Arghh. Sialan!"
***
Setelah kejadian malam itu, satu bulan penuh Alex tidak bertemu dengan Rara. Sangat lama, sebab Rara selalu menghindari pria itu. Jika Alex ada di posisi A, maka Rara tidak akan mengunjunginya. Hingga keduanya juga tak pernah saling bertemu. Jika Alex mengambangi apartemen Rara, dia selalu menyuruh Bibi Ann untuk mengatakan jika Rara sedang pergi atau menginap di kediaman orang tuanya.
Untuk berhubungan via telepon, Rara tidak pernah membalas panggilan maupun pesan Alex. Dia terlalu takut dan tak tahu harus bagaimana. Kejadian ciuman waktu itu membuatnya blank. Rara hampir menjadi gadis pendiam dalam seminggu, benar-benar menunjukkan perubahan hanya karena satu hal itu. Menurut orang lain mungkin kecil, tidak seberapa ... tetapi tidak bagi Rara. Ini seperti uji jantung, untung saja dia kebal. Kalau tidak, sudah terkapar di ruang ICU. Lebay!
Yang Rara lakukan belakangan ini ialah pergi ke kampus, nongkrong bersama teman-temannya, makan malam bersama Calvin, dan jalan-jalan di waktu senggang. Meski b******k, Calvin sangat pintar kalau soal berpikir. Dia termasuk mahasiswa berprestasi, tak jarang dia membantu Rara menyelesaikan tugas dan mendapat nilai memuaskan.
Ada perasaan bersalah diri Rara kepada Calvin. Jika lelaki itu tahu kejadian malam itu, mungkin dia akan marah dan kecewa. Rara merutuki diri kenapa bisa mematung dan berdiam diri saja, tidak sedikit pun bertenaga untuk melakukan penolakan. Bukankah Rara sudah mengatakan pada dirinya tidak akan menyakiti Calvin?
Calvin begitu setia kepada Rara, selalu berusaha melakukan yang terbaik satu bulan ini. Bahkan tidak ada sikap dia yang membuat Rara kesal. Calvin benar-benar tipe lelaki yang manis dan penuh kejutan. Selalu ada bingkisan kecil yang Rara terima di kala sibuk dengan tugas, sedih karena hal tidak jelas, atau bosan mau ngapain aja. Romantis sekali kan? Ah, Rara jadi tidak tega jika pada akhirnya akan mengecewakan Calvin.
Seperti malam ini, Rara memiliki janji dengan Calvin akan berkeliling taman kota. Di malam minggu biasanya sedang ramai, ada banyak pertunjukkan untuk anak-anak dan penuh jajanan pinggir jalan yang enak-enak.
Calvin berjanji akan menjemput jam tujuh, sebab itu Rara menunggunya sepuluh menit lebih awal agar ketika Calvin sampai mereka langsung berangkat saja.
Lima menit pertama, semua baik-baik saja. Tidak ada yang memencet bel tanda adanya seseorang yang datang. Namun pada saat menit ke enam, datanglah seseorang. Rara tidak terpikir kika orang itu bukan Calvin, langsung saja dia membukakan pintu.
"Sayan---"
Rara menggantungkan ucapannya. Senyum setengah lingkaran miliknya lenyap dalam hitungan detik. "A-alex?"
Di hadapannya, Alex sedang mengangguk kecil dengan senyuman penuh canggung. "Akhirnya kita bertemu. Aku senang kamu baik-baik aja."
"Ya, aku baik-baik saja. M-memang belakangan ini sedikit sibuk mengurus tugas dan hal lainnya."
"Aku minta maa---"
"Sayang ...." Calvin datang sebelum Alex berhasil melanjutkan kalimatnya.
Rara langsung sembringah. Matanya berbinar indah. "Eh, Sayang, kamu sudah sampai? Mau berangkat sekarang?"
"Tadinya iya, tapi karena ada Alex ... nggak apa kita mengobrol dulu di dalam sebentar." Calvin memberikan anggukan kepala kepada Alex, menghargai pria itu sebagai kakak Rara.
Alex langsung menggeleng. "Tidak, kalian teruskan saja rencana awal. Aku hanya mampi sebentar, jadi setelah ini harus segera pulang." Pandangannya kemudian beralih kepada Rara. "Ra, aku pulang. Mungkin lain kali kita bicara lagi." Setelah itu berlalu tanpa basa-basi lagi. Wajah Alex datar, tidak seramah biasanya pada orang lain.
Calvin menaikkan sebelah alisnya. "Aku ganggu obrolan kalian, Sayang?" Sambil mengusap kepala bagian belakang Rara, senyuman dia lukiskan pada bibirnya.
Rara menggeleng. "Enggak, kebetulan juga nggak ada yang mau dibicarakan. Dia tadi cuman lewat sini, sekalian nyapa aku katanya."
"Oh ya sudah kalau gitu, ayo kita berangkat sekarang."
"Sebentar, aku bilang ke Bibi Ann dulu kalau kita mau berangkat sekarang. Biar dia nggak nyariin nanti."
***
Di taman, Rara sangat senang sebab Calvin membawanya nonton pertunjukkan sulap. Meski bersama dengan anak-anak jauh di bawah usianya, Rara tetap menikmati acaranya. Ketika anak-anak terpukau, dia juga. Ketika anak-anak memberikan tepuk tangan, dia juga akan mengikutinya dengan tak kalah semangat. Senyum Rara malam ini tercetak sangat lebar, Calvin senang melihatnya. Dia selalu merasa berhasil membuat seseorang yang dia cintai dalam keadaan bahagia terus. Apa pun, Calvin akan mengusahakannya jika yang terbaik untuk Rara maupun dirinya.
Sulap berakhir, anak-anak bubar. Ada yang kembali kepada orang tuanya, ada juga yang beralih ke permainan dan acara lain. Tertinggal satu orang anak yang masih tetap di tempatnya, dalam posisi jongkok. Dia nampak bingung menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada perasaan cemas dan takut juga kelihatannya.
Rara menatap Calvin beberapa saat, diam. Karena Calvin memiliki tingkat peka yang tinggi, dia menganggukkan kepala seolah mengizinkan Rara melakukan sesuatu dalam benaknya.
"Ade ...." Rara memanggil anak cowok berusia sekitar dua atau tiga tahun itu. Dia menoleh kepada Rara, matanya yang bulat dengan iris cokelat gelap menatap penuh iba. "Acaranya sudah berakhir, ayo kembali ke Mama dan Papa kamu." Sambil mengulurkan tangannya lembut. Rara tersenyum, berusaha membuat anak itu nyaman padanya.
Tangan kecil anak itu mendarat di atas telapak tangan Rara. Sangat lucu dan menggemaskan. Dia tidak memberikan respons selain gerakan tangannya, namun tidak lama senyumnya mengembang.
"Kayaknya dia suka kamu, Sayang." Calvin ikut tersenyum. Lalu menoleh ke sana ke mari untuk mencari orang tua si anak. Calvin yakin anak ini tersesat tanpa sepengetahuan orang tuanya. "Kita cari orang tuanya sebelah sana, Sayang."
Rara mengangguk. Dia ingin menggendong anak itu, tetapi ditolak. Anak kecil bermata bulat itu malah mengangkat tangannya pada Calvin. "Wah ... dia minta gendong sama kamu, Sayang. Ayo, gendong dia."
Calvin mengangguk. Di angkatnya anak kecil berpipi tembam itu. Sambil menggendong, Calvin menoel-noel pipinya. "Gemas, Sayang. Ganteng banget dia meski masih kecil gini." Beritahunya pada Rara yang nampak senang juga.
"Iya! Lucu, jadi inget sama Theo dan Chyntia."
"Mau dong nanti main ke rumah kamu. Aku jadi penasaran juga sama ade-ade kamu. Sekalian mau kenalan sama calon Mami dan Papi mertua." Calvin mengulum senyum. Dia hanya bercanda, jika Rara setuju berarti bonus. Calvin tahu hubungannya masih terbilang baru sekali, jadi mungkin saja Rara masih berat mengenalkannya kepada kedua orang tuanya.
"Boleh, Sayang. Nanti kita ke rumah ya. Kemarin aku juga udah cerita soal hubungan kita sama Mami. Dia senang, nanti katanya bisa ajak kamu sekalian makan malam bareng."
Yang Rara katakan benar. Dia berkata jujur pada Julia saat itu jika Rara sudah memiliki kekasih yang baru menjalin hubungan. Rara menceritakan sedikit tentang Calvin, Julia senang-senang saja. Asalkan tetap ingat pada beberapa hal, Rara fokus pada pendidikan nomor satu, mengejar impiannya, dan tidak melewati batas cara mengungkapkan rasa saling mencintainya--dalam artian tanda kutip atau hubungan seperti yang dilakukan suami dan istri.
Calvin merasa amat senang. Dia seperti mendapat lampu hijau dari keluarga Rara. Tuhan selalu menyertai hubungan mereka.
Dari kejauhan, seseorang mendesah kecewa melihat kedekatan Rara dan Calvin. Apalagi dengan menggendong anak itu, seperti keluarga kecil yang bahagia. "Sial!" Setelah itu dia pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal.
"Chiko ...!" panggil seseorang dari kejauhan. Dia berlarian kecil menghampiri Calvin dan Rara. "Ya Tuhan, anakku. Sayang, kamu ke mana aja? Mama nyariin kamu. Syukurlah kamu baik-baik saja." Wanita itu terlihat sangat panik.
Rara menganggukkan kepala. "Tadi anak--Chiko--ada di acara pertunjukkan sulap dekat kolam renang tenang sana, Bu. Semua anak sudah meninggalkan posisi, hanya Chiko yang nampak kebingungan. Jadi saya dan pacar saya berniat membawanya ke satpam depan untuk di umumkan jika telah tersesat."
Wanita itu mengambil alih Chiko dari gendongan Calvin. Membungkukkan badannya. "Terima kasih banyak sudah menemukan dan berbaik hati mengantarkan anak saya. Lain kali saya akan lebih hati-hati menjaganya."
"Sama-sama, Bu." Rara mengusap pipi Chiko yang sudah terlihat senang bertemu ibunya. "Kamu jangan jalan sendirian lagi ya, bahaya. Sampai bertemu lagi ya ...."
"Sekali lagi terima kasih. Saya permisi."
Calvin mengusap puncak kepala Rara yang sedang melambaikan tangan pada Chiko. "Kamu jauh lebih menggemaskan dari anak itu, Sayang," bisiknya gombal.
***