“Mereka yang mengalami amnesia, merupakan makhluk paling kesepian. Mereka harus memulai semuanya benar-benar dari awal, di tengah waktu yang sudah bukan seharusnya.”
Episode 3 : Amnesia
***
Lily bermimpi.
Dalam mimpinya, Lily melihat kehidupannya yang dulu.
Dulu, Lily adalah gadis kecil lugu yang sangat bekerja keras. Gadis kecil lugu yang selalu membuang jauh-jauh keinginannya. Juga, gadis kecil lugu yang selalu mendapatkan prestasi nomor satu, tetapi karena Lily berasal dari keluarga miskin, tak ada satu pun teman-temannya yang menghargai, terlebih sampai memberinya semangat. Pun dengan orang tua dan keluarganya. Lily hanya gadis kecil lugu bermodal nekat.
Dulu, hari-hari Lily dipenuhi air mata akibat hukuman demi hukuman tidak masuk akal, dari ibunya. Lily sadar kenapa ia merasakan semua ketidakadilan itu. Kenapa ibunya jauh lebih memilih melampiaskan semua kekesalan pada Lily? Tak lain karena kemiskinan yang menyelimuti kehidupan mereka.
Keluarga Lily benar-benar hidup dengan ekonomi yang jauh dari cukup. Dan karena semua keterbatasan itu, ibu Lily jadi temperamental meski anehnya, Lily menjadi satu-satunya pelampiasan.
Potret kehidupan Lily berbanding terbalik dengan kehidupan Melati.
Melati hidup bahagia dan terlahir sebagai anak tunggal. Melati mendapatkan apa yang seharusnya Lily dapatkan. Melati yang cantik dan berpenampilan lebih berkelas, mendapatkan banyak cinta hanya karena terlahir dari keluarga kaya. Sering kali, meski keduanya memang masih saudara, diam-diam Lily memperhatikan Melati dari kejauhan sambil berderai air mata.
Lily selalu menatap Melati penuh harap dan bahkan terkadang iri. Ketika Melati mendapatkan perhatian dari teman-teman dan keluarga apalagi orang tua. Ketika Melati mendapatkan hadiah bahkan bisa memilih semua yang ingin dimiliki. Tak hanya keperluan sekolah dan sandang, sekadar menu makanan saja, Melati yang menentukan.
Dan kalau rasanya tidak sesuai, Melati bebas membuang atau marah-marah kepada ibunya. Sedangkan yang terjadi pada Lily? Lily hanya gadis berpenampilan kumal yang harus selalu menahan sakit, selain membuang jauh-jauh semua keinginan termasuk keinginan untuk hidup seperti Melati.
Namun, jangankan hidup seperti Melati, sudah bekerja keras dan selalu mengalah pada ketiga adiknya yang tak jarang akan menghabiskan jatah makan Lily hingga Lily kelaparan saja, sudah sangat beruntung.
Kini, Lily terbangun dari mimpinya dengan terisak-isak. Bahkan semakin lama, tangis Lily semakin pecah. Hal tersebut pula yang membuat Des yang kebetulan baru akan membuka pintu ruang rawat Lily untuk masuk, menjadi kalang kabut.
Des berjalan tergesa bahkan menjadi berlari, hanya untuk menghampiri Lily.
“Kamu kenapa ….?” sergah Des tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya.
Lily telanjur tenggelam dalam kesedihannya. Semua kemalangan yang menimpanya di masa lalu. Semua luka yang telanjur membekas dalam ingatan berikut hatinya. Dan parahnya, semua itu terus saja menghantuinya, menjebaknya dalam kesedihan.
Des merangkul dan mendekap tubuh Lily dengan erat. Pria bertubuh tinggi itu mencoba menenangkan Lily, mengusap kepala juga punggung Lily dengan lembut sekaligus sarat ketulusan.
Des berpikir mungkin, Lily baru saja mimpi buruk. Mimpi buruk yang bukan mengenai hantu atau sejenisnya. Melainkan mimpi buruk perihal kenyataan pahit yang tidak pernah Lily inginkan.
Des sadar, wanita yang ada dalam pelukannya amnesia. Dan Des pernah ada di posisi Lily. Sungguh sulit dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih, Des terbangun dengan ingatan yang sangat minim. Des terbangun sebagai pelajar SMA, padahal usianya telah memasuki tiga puluh tiga tahun.
Dan separuh kehidupan Des yang hilang, hingga detik ini belum ada yang bisa kembali Des dapatkan. Pria itu memulai semuanya benar-benar dari nol tanpa bisa sepenuhnya percaya kepada orang lain, seperti apa yang ia katakan kepada Lily.
Bagi Des, mereka yang mengalami amnesia merupakan makhluk paling kesepian. Mereka harus memulai semuanya benar-benar dari awal, di tengah waktu yang sudah bukan seharusnya. Dan hingga detik ini, Des menjadi salah satu dari mereka.
Setelah Lily terdiam dengan sendirinya dan mungkin karena sudah lelah, Des meraih segelas air minum yang ada di nakas sebelahnya. Kemudian Des berjongkok dan memberikannya kepada Lily.
Lily menepis tatapan Des dan terlihat malu. Meski tadi, selama hampir setengah jam menangis, selama itu juga Lily sama sekali tidak membalas dekapan Des.
Sambil mengusap air matanya menggunakan kedua tangan, Lily berkata, “lain kali jangan memberiku pelukan, terlebih ketika aku sedang sangat terpuruk. Itu hanya membuatku tambah terpuruk, bahkan dalam waktu yang lebih lama.”
Des meminum air minumnya. Di waktu yang sama, Lily yang melihatnya refleks menelan ludah dengan wajah yang seolah mengisyaratkan, “bukankah tadi, itu untukku?”.
“Dokter bilang, besok kamu sudah boleh pulang.”
“Itu kabar baik.” Lily menghela napas pelan seiring rasa lega yang ia kantongi.
Karena baru saja memimpikan kehidupannya yang dulu dan Melati ada di dalamnya, terpikir oleh Lily untuk menanyakan tentang Melati, kepada Des. Lily yakin, Des tahu tentang Melati, meski hanya sedikit.
Lily ingin tahu kabar terbaru Melati. Kenapa saat awal Lily siuman, justru Melati yang terjaga untuknya? Padahal seingat Lily, hubungannya dengan wanita itu biasa-biasa saja. Bahkan Lily sangat ingat, mereka jarang berkomunikasi.
Namun, baru juga memikirkan tentang Melati, Lily justru kembali merasa terluka. Apakah karena dari dulu, hidup Melati selalu lebih baik dari Lily? Namun, kenapa harus begitu? Kenapa Lily begitu egois dalam menanggapi kehidupan orang lain?
Diam-diam, Des memperhatikan Lily yang kembali terlihat sedih dengan sebelah tangan meremas d**a.
“Mau makan sesuatu?” tanya Des cukup berjaga.
Lily menggeleng pelan sambil menunduk. Sedangkan Des justru mengangsurkan gelasnya yang masih berisi setengah. Lily menerimanya, menyimpannya di atas pangkuan dan menahannya menggunakan kedua tangan.
Des segera bangkit dan beranjak menuju nakas. Ia mengambil pir dan pisau berikut piring dari sana. “Mau makan buah yang dipotong, atau jus saja?”
“Terserah ....”
Balasan Lily terdengar mengambang, tetapi kenyataan tersebut membuat Des tersenyum lantaran akhirnya, Lily mau menanggapinya dengan emosi yang tidak semeledak-ledak sebelumnya.
“Baiklah. Aku akan memotong pirnya kecil-kecil, agar lebih mudah dikunyah karena lambungmu masih harus beradaptasi pelan-pelan,” ucap Des kemudian.
Melihat kesibukan Des yang menjaganya selama dua hari terakhir, Lily berpikir jika hidupnya hanya bersama pria itu. Tidak ada orang lain yang datang, baik dari keluarganya atau pun keluarga Des. Pun dengan Melati yang sudah tidak pernah datang lagi.
Ketika Des kembali dan duduk di sebelahnya, Lily pun bertanya, “dua hari ini, kamu sibuk mengurusku. Kamu enggak kerja?”
“Sabtu dan Minggu, aku libur,” balas Des dengan nada suara yang sarat kepedulian.
Des merasa cukup tenang lantaran emosi Lily tidak kembali meledak-ledak, layaknya sebelumnya. “Apa karena efek mimpi buruk yang baru saja Lily alami?” pikir Des.
“Sejak kapan?” balas Lily cepat tanpa memberi jeda terhadap balasan Des.
“Aku masih tetap bisa bekerja sambil menjagamu,” balas Des masih bersikap tenang sekaligus sabar.
Setelah mengusap pelan kepala Lily, Des berlalu dan kembali menuju nakas. Ia membersihkan kulit pir juga mencuci pisau bekasnya mengupas.
Lily memandangi air minum dan sepiring potongan buah pirnya. Pertama-tama, ia mencoba meminum dan itu masih terasa sulit. Tubuhnya masih terasa kaku dan terbatas dalam bergerak.
Des yang melihatnya pun berkata, “pelan-pelan. Mungkin masih proses adaptasi.”
Dan Lily menanggapinya dengan mengangguk mengerti.
Bagi Des, hubungannya dengan Lily tidak begitu buruk seperti dugaan awalnya, hanya karena wanita itu terus saja menyikapinya dengan ketus. Des pun segera meninggalkan wastafel di sebelah pintu masuk setelah mencuci tangan dan mengeringkannya, menggunakan tisu yang tersedia di sana. Kemudian, ia duduk di sebelah Lily dan terjaga untuk wanita itu, kendati Des memang cenderung diam karena mengantuk.
Lily sadar jika waktu yang berlangsung sudah malam. Dan mungkin karena itu juga, Des terlihat sangat mengantuk.
“Kalau Des memang amnesia, kenapa kelakuannya tidak beda ketika dia belum amnesia?” pikir Lily.
Lily terus memandangi Des yang mulai memejamkan mata. Des terlihat sangat mengantuk bahkan kelelahan. Hal tersebut pula yang membuat Lily geser, memberi tempat lebih untuk pria itu.
Bersambung ....