Di pukul sebelas Zulaikha sudah selesai dengan kegiatan kuliahnya. Zulaikha tidak ikut organisasi di sekolah, bukan karena ia tidak aktif, ia hanya takut tidak dapat membagi waktu antara kuliah, bekerja, dan organisasi, sebenarnya ia mau ikut organisasi, tapi apalah daya, ia sadar kalau ia tak sama dengan teman-teman satu kampusnya yang lain. Ia akan berjalan sesuai apa yang memang menjadi kebutuhannya dan yang jauh lebih penting untuk diusahakan.
Sementara Alea, dia ini mahasiswi yang aktif organisasi. Dia mengikuti banyak organisasi di kampus, ia juga banyak memiliki kenalan. Bahkan Zulaikha pun sering dapat kenalan berkat Alea. Alea selalu mengajak kalau Zulaikha memang memiliki waktu luang untuk ikut bersamanya.
"Aku ada rapat, Lik," ucap Alea sambil merapihkan bukunya ke dalam tote bag.
Zulaikha menganggukkan kepalanya. "Jangan lupa istirahat, makan siang juga tuh, kamu, kan, ada magh. Katanya enggak suka minum obat."
Alea terkekeh, tak lama kemudian dia mengecup pipi Zulaikha singkat lalu kabur begitu saja sambil melambaikan tangan. "Bye, Likha ...."
Zulaikha sampai membulatkan mata, Alea itu memang suka sekali membuatnya kesal. Mungkin ada kepuasan tersendiri. Akhirnya yang dapat Zulaikha lakukan hanya ikut melambaikan tangan. Saat Alea sudah tidak ada di hadapannya, ia menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
Ia dan Alea dekat sejak semester satu, sekarang mereka sudah semester tiga. Sekitar satu tahun lebih ia dan Alea bersama, tapi mereka bertingkah seperti sudah kenal sejak dua belas tahun yang lalu. Alea menganggap Zulaikha seperti kakaknya sendiri, padahal usia mereka sama, bahkan bulannya lebih dulu Alea. Selaras dengan Alea, di mata Zulaikha, Alea tampak seperti adiknya sendiri, yang selalu minta pencerahan saat buntu tujuan, mengadu saat benar-benar sesak menahan sendirian. Selama berteman dengan Alea, Zulaikha seperti mendapatkan keluarga baru.
Setelah merapihkan alat tulis ke dalam tote bag, Zulaikha bangkit dari duduk dan berjalan keluar dari kelas. Ia langsung teringat ada janji dengan Kafka saat sudah keluar kelas, padahal tadi di dalam kelas ia sempat melupakannya. Ada untungnya langsung ingat, kalau tidak nanti yang ada ia malah berdosa karena menyepelekan janji. Janji adalah utang, utang harus dibayar. Kadang kala orang menyepelekan utang, padahal utang akan tetap ditagih di akhirat jika di dunia belum dilunaskan.
Zulaikha sampai mengerjapkan mata saat melihat Kafka sudah ada di gerbang gedung fakultas. Dia tidak sendiri, ada Amar juga di sana. Kafka dan Amar seperti Upin dan Ipin, mereka memiliki latar belakang kehidupan yang sama, sikapnya pun hampir sama —sama-sama humble dan tidak suka pamer kekayaan. Jantung Zulaikha jadi berdegup kencang, di gerbang sedang banyak orang berlalu-lalang, kalau ia menghampiri Kafka dan Amar, apa yang akan orang lain pikirkan tentangnya?
Zulaikha menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah rileks, ia langkahkan kakinya kembali, lagi pula ia tidak bermaksud untuk genit atau sejenisnya. Ia menghampiri karena memang ia memiliki janji dengan Kafka.
"Likha!" panggil Kafka.
Zulaikha yang dipanggil, yang menoleh lebih dari tiga manusia. Zulaikha sudah menduga hal ini. Kafka melambaikan tangan sambil tersenyum. Yang dapat Zulaikha lakukan hanya tersenyum, dia bahkan tak membalas lambaian tangan Kafka karena gugup. Zulaikha jarang berkomunikasi dekat dengan laki-laki. Karena itu ia bisa gugup.
"Cuma mau bicara santai aja, sih, kalau kamu emang ada hal penting yang harus diurus, hal ini bisa dibicarakan nanti. Dan kamu juga enggak usah tegang, aku benar-benar cuma mau bicara santai, memastikan sesuatu," ucap Kafka saat Zulaikha sudah ada di depannya.
Ia masih punya waktu sampai azan Zuhur, lagi pula ia sudah terlanjur ingin tahu apa yang akan Kafka katakan. Meskipun katanya hanya bicara santai, tetap saja.
"Aku punya waktu luang sampai azan Zuhur, Kak, sepertinya aku bisa."
Kafka tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Yaudah kalau gitu kita bicara di cafe aja gimana? Cafe tempat biasa kamu kerja."
Zulaikha menganggukkan kepalanya setuju, di sana ada Anisa, ia bisa mengajak Anisa untuk duduk bersamanya karena jadwal ia dan Anisa sama-sama habis salat Zuhur hari ini. Anisa biasanya akan datang sejak pukul sebelas untuk mengerjakan tugas atau hanya sekedar santai-santai sambil minum kopi gratis. Dia anak perantauan, tinggal di kota pun ngekost, jadi berbeda dengan Zulaikha siklus hidupnya.
"Yaudah ayo," ucap Kafka.
Zulaikha mempersilahkan Kafka untuk jalan lebih dulu, ia akan gugup kalau jalan di depan Kafka dan Amar, jadi lebih baik ia jalan di belakang dua laki-laki itu.
Terkadang ia aneh, kenapa orang seperti Kafka bisa melirik orang sepertinya. Padahal, masih ada manusia-manusia lain yang lebih cerdas, lebih pintar, lebih seru diajak diskusi, intinya lebih dari Zulaikha, tapi kenapa? Kenapa harus Zulaikha?
Kepala Zulaikha menggeleng, mungkin memang sudah takdir Allah.
***
Saat sudah sampai di cafe, orang yang Zulaikha harapkan ternyata tidak ada. Mungkin Anisa sedang ke perpustakaan untuk mencari referensi, katanya anak itu sedang banyak tugas makalah. Zulaikha menghela napas pelan. Setidaknya di sini tidak sepi, ia jadi tak terlalu tegang.
"Kamu suka apa, Lik?" tanya Kafka sambil melihat menu di poster besar yang ada di sekitar tempat barista berkumpul untuk melayani pembeli.
"Latte," jawab Zulaikha sambil menatap ke arah yang sama.
Kafka langsung menoleh dengan wajah berbinar. "Kita punya selera yang sama."
"Iya kah?"
Kafka menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Lu americano atau cappucino, Mar?"
"Gua lagi pengen americano," ucap Amar sambil memasang earphone ke telinga. Bukan karena tidak suka kebisingan, ia diminta bergabung rapat virtual, di mana pun dan kapan pun, Amar memang selalu sibuk. Namun anehnya, laki-laki itu tetap terlihat tenang seperti tak memiliki beban hidup sama sekali.
Kafka bangkit dari duduk lalu melangkah ke tempat pemesanan. Tinggallah Zulaikha dan Amar sama-sama diam. Amar tampak fokus ke layar laptopnya, Zulaikha sempat meliriknya sekilas tadi.
Amar melirik ke arah Zulaikha tepat saat Zulaikha menatap ke arah Kafka. Amar tersenyum kecil, ia tahu, Kafka pasti tertarik dengan perempuan ini. Kafka memang baik dengan siapa pun, tapi pandangan Kafka terhadap Zulaikha terlihat sekali perbedaannya. Amar pernah melihat ini saat Kafka dekat dengan Zia beberapa tahun lalu.
Kafka dulu memang sempat tertarik dengan Zia, tapi Zia yang dulu, yang masih mengenakan pakaian syar'i, Zia yang selalu bicara dengan suara lembut, bukan Zia yang sekarang —yang sudah menampakkan apa yang selama ini dia tutupi. Semenjak tahu kalau Zia perempuan yang bisa menempel dengan laki-laki kaya —yang sederajat dengan ia— dan dengan para perempuan pun ia milih-milih. Bahkan Kafka pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang Zia yang dahulu ia idamkan memarahi perempuan dengan latar belakang lebih rendah dengan kata-kata menyakitkan. Sejak saat itulah Kafka tidak mengagumi Zia lagi. Kafka adalah laki-laki yang lebih tertarik dengan perangai daripada fisik.
"Mar, parah lu Likha didiemin gini," ucap Kafka saat sudah kembali ke tempat duduk.
Amar tersenyum. "Maaf, ya, Likha, aku lagi nyimak orang bicara ini."
Zulaikha mengangguk sambil tersenyum.
"Jadi, aku mau tanya kamu itu yang ada di foto ini atau bukan, sih? Aku dapat foto ini dari file ospek tahun lalu atau tahun lalunya lagi gitu." Kafka menyodorkan foto kecil yang Kafka berikan, foto itu baru Kafka cuci semalam, ia sebenarnya sudah yakin itu Zulaikha, tapi entah mengapa ia mau Zulaikha yang mengatakannya secara langsung kalau di foto itu adalah dirinya.
Di sana ada mahasiswa dan mahasiswi baru dari kelompok empat —kelompok Zulaikha saat itu— kebetulan Kafka saat itu masih menjadi pengurus ospek, dia ikut foto bersama kelompok Zulaikha.
Zulaikha menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. "Iya, aku sama Alea juga niatnya mau tanya ini, ternyata kita udah pernah ketemu sebelum ini, ya?"
Kafka mengangguk sambil tersenyum.
"Ini aja, Kak?" tanya Zulaikha.
Wajah Kafka seketika menjadi gugup, ia mengangguk sambil menampakkan deretan giginya yang rata. "Iya, maaf, ya, udah buang-buang waktu kamu."
Tiba-tiba Zulaikha tertawa kecil, cara tertawanya akan terekam jelas di benak Kafka mulai saat ini —ia yakini itu. Saat tertawa mata Zulaikha menyipit, tangannya spontan menutup bibir, hanya mengeluarkan suara sedikit, dia feminim yang sopan santun, dan Kafka suka itu. Kafka menutupi kekagumannya dengan tawa.
"Enggak apa-apa kok, Kak Kafka."
Tawa Kafka seketika terhenti saat melihat seseorang yang ia kenali masuk ke dalam cafe. Di saat itu juga Kafka langsung melambaikan tangan, mengisyaratkan orang itu untuk ikut nimbrung bersamanya.
Amar dan Zulaikha ikut menoleh ke arah orang itu. Amar terlihat biasa saja, tapi tidak dengan Zulaikha. Dia yang sudah gugup jadi tambah gugup sekarang.