Winda ke luar dari kamar mandi.
"Daddy tidurnya di ujung sana, Winda di ujung sini, taruh guling di tengah-tengah" katanya sambil meletakan guling di tengah.
"Kok gitu?" Tanya Dimas penasaran.
"Winda takut kesetrum" jawabnya asal.
"Kesetrum?"
"Iya, nanti Winda mimpi basah lagi kalau kesetrum" jawabnya bernada menggerutu.
Dimas tertawa mendengarnya.
"Winda kok bisa mimpi ML memang Winda pernah ML?" pancing Dimas.
Winda menggeleng.
"Belum pernah, waktu itukan mau ML sama Dirga, digerebek duluan jadi belum sempat, tapi Winda tahu kok ML seperti apa, Winda kan pernah nonton Film biru bareng Dirga" cerocosnya tanpa rasa malu pada Dimas.
"Jadi Winda masih perawan?"
"Iya, Winda masih perawan, sarangnya belum sempet dimasukin burungnya Dirga, baru juga Dirga mau pegang eeh digerebek. Mungkin Tuhan masih menjaga Winda biar nggak buat dosa.. Tuhan masih sayang sama Winda, karena disaat Winda hampir dibuang keluarga, datang Daddy yang menyelematkan Winda. Padahal Winda suka lupa sama Tuhan, Winda nggak pernah sallat. Di rumah nggak pernah diajarin salat, cuma di sekolah Winda belajar salat. Orang-orang di rumah Nenek nggak ada yang salat, kecuali si Bibi tua," cerocosnya yang sangat polos itu, seperti menampar wajah Dimas.
'Aku juga sering tidak salat. Salatnya masih bolong-bolong, padahal aku sudah setua ini,' batin Dimas penuh penyesalan.
"Kok Daddy melamun sih, dengerin Winda nggak sih?"
"Iya dengar. Winda tahu nggak nama Wahyudin Anggoro itu siapa?" Tanya Dimas tiba-tiba.
"Itu nama kakek, papahnya Papah" jawab Winda cepat.
"Siapa?" Tanya Dimas kaget, Dimas beringsut mendekat ke arah Winda.
"Wahyudin Anggoro itu Kakek Winda. Beliau sudah meninggal dari Winda masih bayi. Iih Daddy ini sepertinya perlu ke dokter THT deh," gerutunya.
"Ka-kek Winda? Papahnya, Papah Winda? Beneran?" Dimas menatap Winda tidak percaya.
"Ya ampun, benarlah!"
"Jadi ...."
"Jadi apa?"
"Eeh, enggak apa-apa, tidurlah?" Jawab Dimas.
Winda menjulurkan kepala, dikecupnya pipi Dimas sekilas.
"Good night Daddy, i love you."
"I love you too, Winda" balas Dimas mengecup kening Winda.
Entah apa arti i love you itu bagi Winda, dan Dimas juga tidak bisa memastikan makna dari i love you yang ia ucapkan sendiri.
Tapi yang pasti titik terang tentang Winda mulai sedikit terbuka, jelas sudah kalau Winda bukanlah anak Pak Wahid, tapi anak Pak Wahyudin,
'Tapi siapa Ibunya? Tidak mungkinkan kalau Ibu Winda, adalah ibu yang sama dengan Pak wahid, karena wanita yang dipanggil Winda nenek itu juga membencinya.'
*
Dimas duduk di tepi pantai sendirian, tidak dihiraukan wanita-wanita yang berusaha menggoda dengan kerling nakal mata mereka, atau lenggak lenggok tubuh mereka yang aduhai. Mata Dimas fokus kesatu arah, yaitu ke arah Winda yang asik bermain di pantai bersama teman-temannya.
Kadang Winda melambaikan tangan ke arah Dimas, dan Dimas membalas dengan melambaikan tangannya juga.
"Hay, boleh kenalan?" Tiba-tiba dua orang wanita cantik berbikini sudah berdiri di hadapan Dimas, membuat pandangan Dimas pada Winda terhalang.
"Oh ya bol ...."
"Enggak boleh" Tangan mungil Winda sudah memukul tangan Dimas yang hampir terulur menyambut uluran perkenalan dua wanita cantik itu.
"Winda!" Tegur Dimas.
"Ya sudah, kenalan sana, puas-puasin, pelototin tuh dadanya sama pantatnya yang tumpah-tumpah!" Winda menghentakkan kakinya, lalu lari lagi ke arah teman-temannya.
"Maaf ya, putri saya memang agak over protektif." Dimas meminta maaf pada kedua wanita itu yang belum beranjak dari hadapan Dimas.
Mereka malah duduk di sebelah kiri, dan kanan Dimas.
Tapi mata Dimas fokus ke arah Winda yang berenang semakin ke tengah bersama beberapa temannya.
"Maaf saya mau ke tempat putri saya dulu." Dimas segera berlari ke tepi pantai, hatinya tidak tenang karena Winda tidak terlihat oleh matanya.
Tiba di tepi pantai, dilihatnya Winda asik bercanda dengan Boy di dalam air. Terlihat Boy memeluk Winda, tangan Winda melingkari leher Boy mereka tertawa-tawa bahagia.
Dimas mendekati mereka lalu menarik lepas lengan Winda dari leher Boy.
"Kita pulang sekarang!" katanya tajam.
"Ih, apa sih!" Protes Winda kesal.
'Aah Daddy nggak tahu apa, kalau aku lagi pendekatan sama Boy,' gerutu hati Winda, karena ia takut untuk protes melihat wajah Dimas yang menyimpan amarah.
Dimas mengangkat Winda ke atas bahunya, ia tidak peduli dengan pandangan orang di sekitarnya.
Mereka sudah tiba di cottage.
Dimas menurunkan Winda di dalam kamar mandi.
"Iishh, memang Winda karung beras dipanggul di atas bahu, bisakan dibopong bridal style, atau drakor style begitu," gerutu Winda.
"Cepat mandi!" Perintah Dimas.
"Iish, kenapa sih? Marah ya karena tadi Winda gangguin Daddy sama cewek-cewek genit itu."
"Cepat mandi Winda!"
"Daddy tidak ikut mandi, celana Daddy basah juga, mandi bareng aja yuk!" Winda menarik lengan Dimas.
Dimas balik menarik lengan Winda, lalu dilingkarkan di lehernya sehingga Winda harus menjinjitkan kakinya di atas kaki Dimas.
"Enak mana dipeluk aku, atau dipeluk Boy?" tanya Dimas begitu saja, tanpa sadar pertanyaan berbau cemburu itu dilontarkannya.
Winda mengernyitkan kening sesaat.
"Enak dipeluk Daddy, tangan Daddy kan besar, dadanya Daddy juga lebar, lebih enak lebih aman, dan lebih nyaman" Winda menjawab seraya tersenyum.
Dimas mengangkat Winda ke atas meja tempat wastafel, di dudukan Winda di sebelah wastafel.
Tiba-tiba Winda tertawa girang, Dimas mengernyitkan kening, apa lagi saat kedua kaki Winda mengait di belakang pinggangnya.
"Ada yang lucu?" Tanya Dimas.
"Winda merasa, kita seperti sedang melakukan adegan romantis di n****+, atau di film. Tapi kalau di n****+ ada adegan selanjutnya." Winda terkikik sambil melepas kaosnya yang basah juga melepas bra sekalian, dan dilemparkan sembarang.
"Winda!" Dimas menelan air liur.
Winda meraih tangan Dimas dituntun ke dadanya.
"Buat Winda mendesah seperti di n****+-n****+ itu," pintanya dengan suara yang mendesah merayu.
'Ya Tuhan seberapa besar sudah Winda terkontaminasi hal-hal m***m, yang sebenarnya belum pantas dilihat apa lagi dirasakannya,' batin Dimas.
"Kenapa diam? Kan nggak dosa. Winda sudah nikah sama Daddy, ayo dong. Kalau nggak sama Daddy, masa Winda harus minta grepe sama pria lain."
"Winda!" Sergah Dimas cepat.
Tubuh Winda mengkerut mendengar bentakan Dimas, didorong tubuh Dimas menjauh, Winda melompat turun, dan ia lari ke luar kamar mandi. Dengan celana basah, Winda tengkurap menangis di atas tempat tidur.
'Winda cuma ingin merasakan jadi istrinya Daddy beneran, kenapa marah sih, apa dadanya Winda terlalu kecil, makanya Daddy tidak mau pegang dadanya Winda, menyebalkan!'
Dimas ke luar dari kamar mandi menyusul Winda.
"Celana Winda basah, kotor. Nanti seprainya ikut basah, dan kotor juga, buka ya." Dimas menarik lepas celana pendek, dan celana dalam Winda sekalian, diletakan di atas lantai.
Winda sekarang tanpa sehelai benang di tubuhnya.
Dimas menempelkan dadanya di punggung Winda.
"Winda belum boleh ...."
Winda menolehkan kepalanya.
"Winda bosan, Daddy ngomongnya begitu terus," rajuknya.
Tangan Dimas menyusup masuk ke bawah tubuh Winda yang tengkurap, disentuh pelan dadanya Winda.
"Aku akan buat Winda senang, tapi kita tidak boleh kebablasan. Aku tidak ingin ML dengan Winda, sampai Winda selesai sekolah," bujuk Dimas.
Winda memutar tubuh sehingga dadanya bertemu dadanya Dimas..
"Memang Daddy bisa tahan?"
"Pasti tahan" bibir Dimas mengecup dadanya Winda mesra.
"Aaah Daddy, buat Winda mendesah seperti di film ya!" Winda terus menceracau dengan kata-kata yang sangat vulgar. Entah dari mana kata-kata vulgar itu didapatkannya.
Winda berteriak tertahan saat jemari Dimas menyusuri, dan mencumbui permukaan sarang miliknya.
"Baru jari saja sudah enak, apa lagi kemasukan burung!" Tubuh Winda bergerak liar. Yang terjadi persis mimpi tadi malam. Peluh mengucur deras di wajah, dan tubuhnya.
Dimas menyudahi rayuan jemarinya. Diturunkan celana, dan melompat ke kuar burungnya yang sejak tadi minta dibebaskan.
"Aw! Amazing, burungnya. CK, ini asli ya, bukan hasil pembesaran kan. Itu burung mau dimasukan ke sarang punya Winda? Besar sekali, muat tidak?" Winda menggelengkan kepalanya.
"Winda, sudah aku bilang, burungnya belum boleh masuk ke sarang Winda, tapi bolehkan aku gesekan di sela paha Winda?"
"Boleh! Dimasukin juga boleh kok! Kita suami istri!" Winda mengangguk-angguk antusias.
Dimas bergerak untuk memulai usaha mencapai nikmat tanpa menyentuh sarang burung Winda.
Bibir Dimas menyambar bibir Winda, menenggelamkan ceracau vulgar dari mulut Winda.
Sampai akhirnya burung Dimas muntah di atas sarang Winda.
Dan, tubuh Dimas jatuh menimpa Winda.
Dikecupnya bibir Winda.
"Winda puas?" Tanya Dimas pelan.
"Enggak puas kalau burungnya belum dimasukin, tapi lumayanlah, Winda sabar kok menunggu sampai Winda lulus, baru ngerasain burungnya," jawab Winda asal saja.
Dimas memejamkan mata.
"Ya Tuhan....
Anak ini, hhhh ... apa bisa aku mengatasi keomesannya yang luar biasa ini,' batin Dimas.
Mereka sudah berbaring bersisian setelah sama-sama mandi.
"Daddy!"
"Hmmm"
"Daddy mau anak berapa dari Winda?"
"Ehhh ... memang Winda mau hamil?"
"Memang Daddy tidak mau punya anak ya dari Winda? Astaga ...Winda lupa kalau Daddykan sudah punya Tante Calista. Aduh gimana ya kalau Tante Calista tahu, Winda sama Daddy tadi begituan. Eeh, tapi kan cuma grepean, belum sampai ML. Jangan cerita ya, ke Tante Calista kalau Winda yang menggoda. Dan, Winda yang minta di grepein,!" mohon Winda.
'Ya Tuhan....
Winda ... seumur hidupku, baru kali ini bertemu orang dengan karakter seperti ini,' batin Dimas.
"Winda"
"Enghh" Winda mendongak menatap Dimas.
"Sebenarnya aku seperti apa di mata Winda?"
Winda mengernyitkan kening, berusaha mencerna pertanyaan Dimas.
"Maksud pertanyaan nya apa sih, Winda nggak ngerti deh"
Dimas menarik napas pelan.
"Maksudku, buat Winda, aku ini, seperti ayah, atau suami?"
"Apa ya? Dua-duanya aja deh" jawab Winda asal.
"Kok begitu?"
"Ya gitu"
"Tapi kan Winda cintanya sama Boy bukan sama aku" pancing Dimas.
"Eeh iya juga ya, tapi Winda kalau grepean sama Boy kan dosa, kalau sama Daddy kan halal."
Dimas bingung harus bicara apa lagi pada Winda.
"Winda!"
"Enghh"
"Winda nggak ke tempat teman-teman Winda?"
"Winda capek. Baru digrepein saja sudah capek, bagaimana kalau ML betulan ya. Pasti merasa lepas tulang belulang," gumamnya.
"Winda!"
"Enghh"
"Winda dapat dari mana kata-kata vulgar, seperti yang Winda ucapkan tadi?"
"Eeh yang mana?"
"Winda nggak sadar ya tadi menceracau dengan kata-kata vulgar?"
"Enggak tuh, hihihi ... efek keenakan kali ya. Tadi itu pertama kalinya loh Winda ngerasain yang begitu, Daddy hebat banget."
"Tahu dari mana kalau itu hebat?"
"Ya, menurut Winda saja sih, Daddy hebat, kalau Winda puji jadi nggak kapok grepein Winda hehehe ...." tawa Winda pelan.
'Ya Tuhan....
Ini anak benar-benar terkontaminasi kemesuman sangat parah,' batin Dimas.
Tapi Dimas suka dengan kepolosan Winda, dia tidak pernah menyembunyikan apapun dari Dimas
*