PART. 1 TERTANGKAP BASAH
Cerita ini hanya bisa dibaca di Innovel/Dreame, sebagai tempat resminya.
Jika cerita ini beredar di luaran, entah di platform berbayar lain, atau berupa file, itu adalah hasil bajakan, tidak resmi, ilegal.
HAPPY READING
Winda dan Dirga sudah benar-benar lupa akan dosa, mereka ingin mencoba dan merasakan apa yang baru mereka lihat dari dvd yang mereka putar dan tonton berdua.
Sekarang Winda hanya tinggal menyisakan celana dalam ditubuhnya, begitu pula Dirga.
Mereka sudah lupa kalau mereka belum boleh melakukan itu sebelum mereka menikah.
Gejolak jiwa muda yang ingin tahu, ingin mencoba, ingin merasakan sudah merasuk dan merongrong pikiran dan perasaan mereka.
"Dirga.... "
Tangan Dirga mulai merayapi perut Winda dan ingin menyusup masuk kebalik celana dalam, untuk menyentuh pangkal paha Winda.
Mereka tidak mendengar suara-suara yang memanggil nama Winda dari luar karena nafsu yang sudah menguasai kepala mereka berdua.
Pintu kamar yang terkunci didobrak dari luar, dan kini terbuka lebar.
Kedua orang tua Winda berdiri tegak di ambang pintu kamar bersama kakak, Nenek, dan beberapa pelayan di rumah mereka.
"Winda!!" jeritan mamahnya memekakkan telinga.
Membuat Winda, dan Dirga dengan spontan terlonjak berdiri dari atas ranjang di kamar Winda.
Winda menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang hampir telanjang. Papahnya langsung merenggut rambut Winda, yang sedang bersembunyi ketakutan di balik tubuh Dirga.
Dua tamparan Papahnya mendarat dikedua pipi Winda. Winda tak bersuara, hanya ada air mata yang mengalir di pipinya saat ada rasa panas menerpa pipi akibat tamparan Papahnya. Sungguh Winda tidak menyangka kalau orang tuanya pulang hari ini, setahunya mereka akan pulang dari Singapura dua hari lagi. Orang tuanya pergi ke Singapura bersama Neneknya untuk melakukan check up kesehatan Nenek dan kedua orang tuanya.
"Om ini salahku bukan sa.... "
"Diam kau!" bentak Pak Wahid Papah Winda pada Dirga yang berusaha membela Winda.
"Telpon sekarang juga orang tuamu, suruh mereka kesini sekarang!" Pak Wahid menatap Dirga dengan pandangan mengancam.
"I-iya, Om.... " jawab Dirga terbata.
Mamah Winda yang terlihat paling shock melihat apa yang terjadi.
Meski Bu Linda tahu kalau Winda anak paling bungsu dari keempat anaknya bisa dibilang bandel, susah diatur, dan semaunya, tapi ia tidak menyangka kalau Winda bisa berbuat sejauh ini.
Baginya itu sungguh memalukan.
-
Kedua orang tua Winda, Wildan kakak sulung Winda, Nenek Wahidah Nenek Winda juga Dirga dan Bu Gina Ibu dari Dirga beserta Om Gani adik Bu Gina sudah berkumpul diruang tengah. Setelah terjadi perdebatan yang cukup alot akhirnya diputuskan kalau Winda dan Dirga akan dinikahkan secara diam-diam, karena Winda baru naik ke kelas 12 sedang Dirga baru saja lulus SMA.
Hari dan tanggal sudah disepakati oleh kedua belah pihak keluarga.
Winda bukannya sedih dan kecewa akan dinikahkan, ia justru merasa sangat senang, ia merasa terbebas dari kungkungan rumahnya yang terlalu banyak aturan yang diterapkan Neneknya, Ibu dari Papahnya.
Winda jangan begini.
Winda jangan begitu.
Winda merasa akan menemukan kemerdekaannya. Ia bisa pergi berdua dengan Dirga kemanapun ia suka, ia bisa melakukan apapun tanpa harus sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Winda sangat yakin ia akan bahagia jika menikah dengan Dirga. Keluarga Dirga juga kaya seperti keluarganya, Mami dan Papinya sama-sama pengusaha sukses, apa lagi Dirga adalah putra tunggal mereka jadi Winda sangat yakin ia dan Dirga tidak akan hidup kekurangan nantinya.
Winda sadar kalau ia seorang pemberontak terhadap aturan di rumah ini. Ia sering membuat supir dimarahi Neneknya karena saat menjemputnya disekolah sang supir tidak menemukannya. Ia juga sering membuat Satpam rumahnya diomeli Neneknya karena disangka membiarkan ia keluar rumah, padahal ia melompati pagar rumahnya dengan naik ke atas tangga yang diletakan di bawah pagar belakang rumahnya. Bahkan Bibi tidak luput dari kemarahan Nenek karena sering disangka bersekongkol dengannya dan selalu melindungi kesalahannya.
"Merdeka!!!"
Winda melompat-lompat kegirangan di atas tempat tidurnya. Hanya menunggu dua minggu lagi ia dan Dirga akan jadi suami istri. Mereka tidak perlu takut lagi nonton blue film berduaan, dan bahkan bisa langsung mempraktekannya.
Sebenarnya Winda baru dua kali nonton film begituan. Yang pertama nontonnya rame-rame di rumah Andi bareng Sisi pacar Andi, Roni dan pacarnya Elma, dan Dirga juga dirinya. Mereka berenam sengaja bolos sekolah saat itu.
Yang lain langsung praktek begitu usai nonton, hanya Dirga dan Winda yang tidak karena Winda yang sedang datang bulan. Tapi hari ini mereka nonton berduaan di kamar Winda.
Winda memang diam-diam memasukan Dirga ke kamarnya, tapi akhirnya ketahuan juga karena suara berisik yang mereka timbulkan, dari film yang mereka tonton juga dari mulut mereka sendiri. Winda jadi teringat kejadian diruang tengah tadi.
Flasback
Setelah Dirga dan orang tuanya pulang, Winda harus menghadapi keluarganya sendirian.
Wajah-wajah tegang dan sangat serius dengan tatapan mata yang tajam menghujam ke arahnya.
Winda merasa seakan ia pesakitan yang siap dieksekusi di tiang gantungan, atau justru dijagal dengan kepala terpenggal.
Winda bergidik saat membayangkan hal itu.
"Apa ini yang kau inginkan Winda? Menikah disaat usiamu masih terlalu muda? Apa sekarang kau merasa senang, merasa bahagia, merasa gembira, merasa bebas, merasa merdeka?" tanya Papahnya tajam.
"Ya setidaknya aku bisa keluar dari rumah yang seperti penjara ini" jawab Winda berani.
"Kenapa kau menganggap rumah ini seperti penjara?" desis Papahnya menahan amarahnya yang mulai naik ke kepala mendengar jawaban Winda.
"Kalian terlalu over protectif terhadapku, aku tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, aku sampai tak punya teman selain teman di sekolah karena hal itu. Aku juga ingin seperti remaja lain, jalan-jalan, nonton film, dan makan di mall dengan teman-teman sebayaku, tapi kalian memenjara kebebasanku, jadi jangan salahkan aku kalau aku jadi pembangkang" jawab Winda dengan berapi-api.
Satu tamparan dari Papahnya mendarat di pipi Winda. Winda mengusap pipinya pelan, matanya menyorot penuh perlawanan pada Papahnya.
"Papah selalu main tangan, tidak pernah ada kelembutan, Papah selalu mendengarkan Nenek, apa Nenek kepala rumah tangga di sini? Segala sesuatu harus seijin Nenek, Papah seperti tidak punya wibawa di rumah ini!" teriak Winda menggugat sikap Papahnya.
"Winda!" Wildan, kakak tertua Winda menghardiknya.
"Kenapa? Aku tahu Mas tidak berani membantah Papah karena Mas takut dicoret dari penerima harta warisan Papahkan? Aku tahu Mas tidak bahagia dengan Mbak Julia, aku tahu Mas mencintai wanita lain, tapi Mas rela menukar cinta Mas dengan harta warisan Papah" Winda semakin marah, tangannya menuding ke arah Wildan kakak sulungnya yang sudah menikah. Sedang dua kakak lelakinya yang lain masih kuliah diluar negeri itupun atas keinginan Nenek dan Papahnya.
Satu tamparan dari Wildan mendarat di pipi Winda.
"Laki-laki keturunan Nenek semuanya sama saja, kasar, tak ada kelembutan, aku berharap tidak akan punya anak laki-laki kelak!" Winda menatap tajam ke arah Neneknya, sebelum melangkah pergi meninggalkan ruang tengah rumah menuju kamarnya.
Ia takut goyah karena melihat air mata Mamahnya. Winda tahu betul, Mamahnya selama ini hidup di bawah perintah Neneknya.
Neneknyalah ratu di rumah ini, yang mengatur segalanya dari pintu gerbang depan sampai halaman paling belakang rumah.
Flashback end.
Tapi kemerdekaan yang ada di depan matanya membuat melupakan kesedihannya. Ia bahagia karena akan segera ke luar dari rumah yang bagai penjara. Menjauh dari tirani yang diciptakan Neneknya sendiri.
-
Sementara itu Dirga tengah duduk berhadapan dengan Maminya di tepi tempat tidur di dalam kamarnya.
"Dirga, Mami tidak menyangka kamu bisa berbuat sejauh ini, harusnya kamu belajar dari masa lalu Mami, Dirga. Jangan mengulangi kesalahan yang pernah Mami buat, pikirkan masa depan kamu Dirga."
"Maafkan Dirga, Mi. Sebenarnya kami belum sampai berbuat itu Mi, tapi orang tua Winda saja yang terlalu berlebihan, mereka.... "
"Dirga, belum itu artinya akan, kalau mereka tidak datang, dan menangkap basah kalian, apa kamu bisa menjamin kalau kalian tidak akan berbuat dosa? Mami tidak ingin masa depanmu hancur karena pernikahan dini Dirga. Mami ingin mengirimmu ke Kanada untuk kuliah, dan tinggal di sana dengan Om Seno sepupu Mami."
"Maksud Mami aku harus lari dari pernikahanku, harus lari dari tanggung jawabku, tidak Mi, aku mencintai Winda, aku tidak ingin meninggalkannya, aku.... "
"Dirga! Apa yang kamu punya untuk membahagiakan Winda? Kamu belum punya apa-apa Dirga, dan Mami tidak ingin menanggung hidupmu, dan Winda. Mami yakin orang tua Winda juga sepertinya akan lepas tangan pada kehidupan kalian, setelah kalian menikah. Jadi Kamu boleh pilih Dirga, menikahi Winda, dan hidup menderita, atau menuruti kemauan Mami?" Bu Gina memberikan pilihan sulit pada Dirga.
"Dirga jika hidupmu sudah mapan, maka akan mudah bagimu untuk memilih wanita mana yang ingin kamu nikahi."
"Tapi aku mencintai Winda Mami."
"Cinta saja tidak cukup Dirga, lihatlah kehidupan Mami dulu, ada cinta tapi tak ada harta. Akhirnya cinta terhapus juga, kita tidak perlu munafik dengan mengatakan tidak butuh materi, materi itu penting Dirga, penting! Jadi pilihanmu hanya dua, menuruti maunya Mami untuk melanjutkan kuliah ke Kanada, atau hidup menderita setelah menikahi Winda?"
"Tapi bukannya hari pernikahan sudah disepakati Mi, bagaimana nanti.... "
"Kalau kamu setuju untuk ke Kanada, urusan Winda, dan keluarganya biar jadi urusan Mami, Papi, dan Om Gani."
"Beri aku waktu berpikir satu dua hari ini Mi," mohon Dirga.
"Baiklah Dirga, pikirkan baik-baik semuanya." Bu Gina menepuk pundak Dirga sebelum ke luar dari kamar Dirga.
*
Satu hari sebelum hari pernikahan tepat di depan mata.
Tak ada tenda terpasang.
Tak ada juga indahnya pelaminan.
Yang ada hanya wajah-wajah muram di rumah Pak Wahid, kecuali wajah Winda sendiri. Winda berbaring di atas ranjang di dalam kamarnya.
Semburat bahagia terpancar di wajahnya, sungguh berbanding terbalik dengan dinginnya wajah Neneknya, Papahnya, Kakak, dan Kakak iparnya.
Sedang Mamahnya tak berhenti berurai air mata, tapi tak punya keberanian untuk menemui Winda, karena mata Nenek yang menyorot tajam seakan mencegah Mamahnya untuk memberikan perhatian, dan kasih sayangnya pada Winda, cucu yang dianggapnya sudah mencoreng nama keluarga. Winda tersenyum membayangkan ijab kabul yang akan berlangsung besok, yang akan membuatnya terbebas dari beban hidupnya.
Winda tidak tahu kalau tengah terjadi kepanikan di luar sana. Bu Gina orang tua Dirga menelpon Pak Wahid, mengabarkan kalau Dirga kabur dari rumah. Dan sekarang mereka tengah berusaha mencari Dirga. Pak Wahid langsung murka, kemarahannya termuntahkan begitu saja, diseretnya Winda ke luar dari dalam kamar.
"Kau lihat! Pria yang kau puja puji itu tak mau menikahimu, ia hanya menginginkan tubuhmu, tapi tak mau bertanggung jawab kepadamu!" Pak Wahid menjambak rambut Winda kasar.
Tak ada yang berani mencegah apa yang dilakukan Pak Wahid terhadap Winda, tidak juga Mamahnya.
Kadang Winda merasa marah atas kelemahan yang diperlihatkan Mamahnya.
Mamahnya terlalu lemah sebagai seorang wanita, terlalu lemah sebagai seorang ibu, ia tak mau sedikitpun membantah apa yang diinginkan Papahnya, apa lagi berusaha melawan meski demi untuk putrinya sendiri. Winda berusaha menahan tangan Pak Wahid agar rambutnya tak terenggut.
Kali ini ia menangis pilu.
Winda berdoa dalam hati, agar Tuhan mengirimkan Dirga kembali untuk menikahinya esok hari, dan membawanya keluar dari rumah yang terasa bagai neraka baginya kini. Dengan satu tangannya yang besar, Pak Wahid mencengkeram dagu Winda kuat, sedang tangan yang satu terangkat ingin menjambak rambut Winda lagi, tapi sebuah tangan besar, dan kokoh menahannya.
"Siapa anda? Jangan ikut campur urusan keluarga saya!" teriak Pak Wahid berang, karena ia merasa tak mengenal pria yang ada di hadapannya.
"Saya kira seorang Ayah yang baik tidak akan bersikap seperti Anda, apa Anda tidak sadar hatinya sudah terluka karena ditinggalkan calon suaminya, dan sekarang Anda justru ingin menambah sakit yang dirasakannya, Ayah macam apa Anda ini" jawab pria itu dengan suara dingin.
"Anda tidak punya hak mengatur saya bagaimana saya harus mendidik putri saya, siapa Anda ini? Kenapa Anda bisa masuk ke dalam rumah saya?" tanya Pak Wahid menyelidik.
"Saya adalah.... "
***BERSAMBUNG***