Melihat kedatangan Dirga, Thea mengerucutkan bibir merah mudanya sambil berlagak manja seperti yang biasa dia lakukan kepada suaminya di kehidupan sebelumnya. “Hmm ... sebenarnya tidak ada apa-apa. Mereka hanya bilang aku seperti gelandangan dan manusia jelly. Ah, entahlah, apa maksud dari panggilan-panggilan itu.”
Mata Dirga menyipit. “Gelandangan? Manusia jelly? Panggilan konyol macam apa itu?”
Thea berjalan mengambil pakaian dari dalam lemari, dan masuk ke dalam ruang ganti pakaian di sudut kamar untuk memakainya. Setelah selesai, wanita itu kembali keluar, dan berjalan menghampiri Dirga sembari merapikan rambutnya dengan jari jemari.
Diam. Dirga benar-benar terpana melihat kecantikan wanita itu walau tanpa menggunakan riasan apapun, apalagi saat Thea menyatukan rambut, lalu mengikatnya. Terlihat begitu seksi dengan leher jenjang yang begitu putih dan wangi strawberry.
“T-Thea ....” Gumaman Dirga begitu pelan saking terpesonanya.
Thea berdiri menghadap Dirga, melingkari lengannya di sekitar leher pria itu, kemudian bertanya, "apakah menurutmu aku juga sangat buruk, Mas, seperti gelandangan? Atau ... Sangat aneh seperti jelly?”
Dirga mengerjapkan mata berulang kali, karena lagi-lagi ia dibuat terkejut oleh sikap tak biasa dari Thea–yang sebenarnya sering Thea lakukan di kehidupan sebelumnya. Namun tetap saja, bagi Dirga yang memang hidup di masa ini, itu adalah kali pertama Thea menunjukkan dirinya yang seperti ini.
"Bagiku, sejak awal kita bertemu, bahkan sampai detik ini, kamu tetaplah wanita paling cantik setelah ibuku. Tidak ada yang bisa menandingi,” jawabnya setelah pikirannya kembali.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Dirga segera saja menggendong Thea ala bridal, dan mencium kening wanita itu dengan begitu lembut, seakan tengah memberitahukan segala rasa yang sedang ia rasakan tanpa harus mengatakannya lagi.
“Benarkah? Kupikir kamu pun mempunyai pemikiran yang sama dengan para pelayanmu itu. Apalagi, penampilanku tadi tidak seperti sekarang. Sangat kotor dan bau asap.”
“Kecantikanmu bahkan tidak bisa tertutup oleh jelaga api sekalipun. Paham?”
Thea berdecak. “Aku yakin, Mas berbohong agar aku tidak pergi dari sini. Benarkan?”
“Itu tidak benar. Astaga, kenapa pikiranmu selalu saja buruk tentangku, Thea?”
Wanita itu terkekeh pelan, sedikit rindu dengan percakapan kaku antara dirinya dengan Dirga. “Semua ini karena ulahmu sendiri, Mas, sehingga aku cukup sulit untuk mempercayaimu kembali.”
Dirga mengerutkan dahi. “Ulahku? Memangnya, apa yang sudah kuperbuat? Aku tidak pernah melakukan hal-hal buruk di belakangmu. Lagipula, untuk apa juga aku berbohong? Tidak ada yang perlu aku sembunyikan darimu, Thea.”
“Banyak. Tapi, mungkin kamu belum menyadarinya, Mas,” jawab Thea sembari tersenyum penuh arti. Padahal yang dia maksud adalah sikap Dirga di masanya–lima tahun ke depan.
“Apa maksudmu, Thea? Aku benar-benar tidak mengerti. Tolong persingkat, dan jelaskan padaku dengan lebih mudah,” pinta Dirga. Pria itu benar-benar terlihat bingung dan tidak mengerti maksud dari perkataan Thea.
Wanita itu menggeleng cepat. "Sudahlah, lupakan, Mas. Aku gak apa-apa. Semuanya baik-baik saja." Thea menatap pria itu dengan garis senyum di matanya. "Mungkin, pelayan-pelayanmu ini belum pernah melihat bagaimana penampilanku sebenarnya. Jadi, kita juga gak bisa menyalahkan mereka yang hanya melihat saat keadaan wajahnya buruk seperti semalam.”
Para pelayan yang masih pada posisinya–berlutut– menghela napas lega ketika mendengar kata-kata Thea. Setidaknya, Nona Mudanya masih memberi kesempatan kepada mereka, walaupun sikap keduanya sudah cukup keterlaluan.
Dirga tersenyum. Semua gerakannya sangat berwibawa dan elegan. Dia bisa dengan mulus merubah sikapnya dari seorang pria sopan menjadi seorang preman sekalipun.
"Apapun yang kamu katakan, aku akan mendengarkan. Sekalipun aku kurang setuju dengan itu.”
"Terima kasih, Nona Thea! Terima kasih, Tuan Dirga! Kami berjanji, tidak akan mengulanginya lagi. Kami berdua mohon maaf.” Kedua pelayan rumah itu segera bangkit, mengucapkan terima kasih mereka, dan menghilang setelah mendengar pengampunan dari Thea. Padahal, diam-diam Dirga memberi mereka tatapan tajam yang dingin dan mematikan bak elang sang pemangsa.
Namun, saat dia kembali menatap Thea, raut wajahnya seketika berubah, kembali memperlihatkan senyuman yang hangatnya di kedua sudut bibir.
Terlihat sangat tampan, dan begitu memabukkan bagi siapapun yang melihatnya.
Kangen banget aku, Mas, lihat senyuman hangat ini. Aku juga kangen segala hal tentang Mas.
"Thea, apakah kita harus pergi mendaftarkan pernikahan kita sekarang? Aku takut seseorang merebutmu jika aku tidak bergerak cepat,” tanya Dirga tiba-tiba, dan Thea pun ingat, jika pada hari ini–saat itu–ia menolak ajakan Dirga.
Wanita dalam gendongannya itu hanya mengernyit sedikit. Sementara Dirga malah terlihat begitu panik saat melihat raut wajah Thea. "Aku tidak akan memaksa jika kamu belum siap untuk menikah. Tapi, apakah kamu bersedia untuk tinggal di sini mulai dari sekarang? Aku ingin selalu menjagamu, Thea,” tanyanya.
Tanpa berpikir panjang Thea mengangguk. Dia benar-benar tidak ingin kembali ke keluarga angkatnya, apalagi harus tinggal serumah lagi dengan Bunga dan Andri. Membayangkannya saja membuat Thea naik pitam, apalagi jika benar-benar harus kembali tinggal bersama mereka.
“Baiklah, aku bersedia,” jawabnya cepat. “Asalkan aku bersamamu, aku yakin, aku akan aman.” Tambah Thea.
Dirga mengulas senyuman lebar sebagai tanggapan. Merasa begitu bahagia saat mengetahui mereka akan tinggal bersama di bawah satu atap. "Aku bisa pastikan, kamu akan selalu aman, Thea. Apalagi, saat berada dalam jangkauanku, kamu pasti aman.”
“Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak.”
“Ini akan menjadi kamarmu. Kamu bisa tidur sendiri jika kamu mau. Dan jika kamu ingin mencariku, kamu bisa datang langsung ke kamar sebelah. Aku ada di sana.”
Karena dari kehidupan sebelumnya Thea sudah hafal betul setiap inch dari rumah ini, wanita itu hanya mengangguk. “Ya, aku akan mengingatnya.”
"Semua yang ada di rumah ini bisa kamu gunakan, dan kamu diperbolehkan menyusuri setiap sudut rumah. Jika kamu membutuhkan sesuatu, beri tahu Moses, dia yang akan membantumu selama tinggal di rumah ini."
Meskipun Thea ingin tidur di tempat tidur yang sama dengan Dirga, wanita itu tetap harus menahannya untuk saat ini. Karena bagaimana pun, Thea berencana ingin membuat Dirga kembali jatuh ke dalam perangkap cintanya, sampai dia hanya mencintai Thea seorang.
Egois memang. Namun, ia terpaksa melakukan semua ini supaya kejadian yang pernah dilalui di kehidupan sebelumnya tidak terulang lagi.
"Aku tahu, kamu memang yang terbaik, Mas. Dan aku yakin, kamu adalah orang yang begitu tulus mencintaiku.” Thea kembali melingkarkan lengannya pada leher pria itu. "Lalu ... bisakah aku membicarakan sesuatu denganmu, sekarang?"
"Apapun itu tentangmu, aku pasti akan mendengarkannya,” jawab Dirga dengan penuh kelembutan, hingga berhasil melelehkan hati wanita itu.
Thea seketika tersenyum penuh arti. "Aku ingin pergi ke Universitas Permata Biru. Ada sesuatu hal yang ingin aku lakukan di sana.”
***