Langit yang cerah sudah menguning dan perlahan redup, Naomi masih berada di posisi yang sama, melakukan hal yang sama. Yaitu, menangis di tengah bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang, dan ramaianya para pejalan kaki.
Orang-orang bergerak berjalan kaki, mereka sibuk diri mereka sendiri, tidak mempedulikan apapun yang ada di sekitar mereka, termasuk tidak mempedulikan Naomi.
Naomi mengusap air matanya beberapa kali dengan napas tersendat-sendat, gadis itu tersadar bahwa dia telah mengambil langkah yang salah. Mungkin seharusnya kini dia kembali ke rumah, pulang berkumpul dengan ayahnya dan menyetujui pernikahan bisnis yang ayahnya rencanakan.
“Sudah selesai menangisnya?”
Wajah Naomi terangkat untuk melihat siapa yang berbicara kepadanya. Naomi mematung kaget, melihat Axel yang kini berdiri di hadapannya bersedekap dengan angkuh.
Untuk apa pria itu ada di sini?
Dengan kasar Naomi mengusap matanya. “Untuk apa kau di sini?” tanya Naomi dengan ketus.
“Kau ingin di rawat kan? Ikut aku,” Axel menggerakan dagunya mengisyaratkan Naomi untuk segera beranjak dan ikut dengannya.
Naomi memalingkan wajahnya enggan menjawab dan melihat Axel. Harga diri Naomi sudah terinjak sejak Axel meninggalkannya di klinik, lagipula siapa yang mau ikut bersama pria angkuh seperti dia? Naomi memohon karena terdesak tidak memiliki pilihan, bukan karena mau.
Tubuh Axel menegang kaget, pria itu terkejut melihat reaksi Naomi yang merajuk dalam diam.
Tangan Axel menurun, ketegangan di bahunya ikut menurun. “Kau jadi ikut atau tidak? Aku tidak akan menawarkannya lagi jika kau menolak,” ucap Axel dengan suara yang melembut.
“Ikut,” jawab Naomi dengan ketus.
Axel mendengus geli. “Ikut aku.”
Perlahan Naomi bangkit dari duduknya, bibir mungilnya yang sempat cemberut itu kini perlahan tersenyum manis di penuhi oleh harapan. “Tunggu!” teriak Naomi dengan suaranya yang serak.
Axel yang sudah melangkah jauh membalikan badannya, melihat Naomi menyeret koper dan ranselnya. Dalam langkah lebarnya Axel kembali mendekati Naomi dan merebut koper dan ransel Naomi, membawanya pergi dan memasukannya ke dalam mobil.
Sekali lagi Axel harus melihat ke belakang, melihat Naomi yang berjalan terseok-seok pelan layaknya seekor kura-kura.
“Cepatlah!” titah Axel mulai kesal, dengan tidak sabaran Axel kembali mendekati Naomi. Tanpa basa-basi dia langsung membungkuk, membopong Naomi dengan mudah dan segera membawa gadis itu pergi masuk ke dalam mobil.
***
Naomi menggerakan jari-jarinya dengan hati-hati, dapat dia rasakan kini tanganya yang bengkak itu terasa lebih sakit karena efek obat bius yang di dapatkannya sudah hilang.
Wajah Naomi terangkat, gadis itu segera melihat Axel yang sejak tadi hanya diam membisu dan sibuk menyetir.
“Namaku Naomi, namamu siapa?” Naomi membangun percakapan dengan mengajak berkenalan karena sejak tadi mereka belum saling mengenal nama mereka satu sama lainnya.
“Axel,” jawabnya singkat.
Axel terus mengemudi membawa kendaraannya entah mau ke mana, sejujurnya pria itu tidak memiliki ide akan membawa Naomi pergi kemana meski Axel memiliki beberapa tempat tinggal yang bisa di tempati Naomi.
Masalahnya, kini pergolakan masalah kepeminpinan perusahaan sedang memanas, segala sesuatu scandal menjadi senstif bagi banyak orang, Axel harus menjaga sikapnya, dia tidak boleh membuat orang-orang berpikir bahwa dia memiliki sifat buruk seperti ayah dan kakeknya. Oleh karena itu, Axel tidak mungkin meminjamkan salah satu unit apartementnya pada Naomi, apalagi Axel tidak mengenalnya sama sekali.
Axel harus bertindak hati-hati, dia tidak boleh membuat kesalahan apalagi kehilangan dukungan neneknya yang saat ini masih menjadi kekuatan terbesarnya.
“Kau, tunawisma dari mana?” tanya Axel terdengar kasar.
“Aku bukan gelandangan. Aku sedang dalam perjalanan kabur.”
Axel tersenyum miring meneliti keadaan Naomi dan barang bawaannya yang kini berada di kursi belakang. “Tidak ada orang yang kabur membawa ransel seperti akan pergi naik gunung seminggu dan membawa koper besar yang bisa di masuki manusia, dan tidak ada orang kabur yang langsung membuat kejahatan dengan memeras orang lain.”
Naomi mengerucutkan bibirnya terlihat kesal, dia tidak suka dengan sindiran Axel yang mengarah padanya. Naomi juga tidak sudi memohon hingga memaksa Axel sejauh ini jika keadaan badannya baik-baik saja.
***
Setengah jam mengemudi ke sana-kemari, pada akhirnya Axel membawa Naomi ke rumah pribadinya.
Axel tidak memiliki banyak pilihan selain membawa Naomi ke rumahnya, ini adalah tempat teraman untuk Axel terhindar dari banyak masalah. Lagi pula, Axel tidak akan menampungnya lama-lama, setelah Sharen kembali, sekretarisnya akan mengurus Naomi.
Di rumah ini, Axel memiliki keamana yang ketat, Naomi tidak bisa bertindak apapun, akan lebih bagus jika Naomi bertindak hal yang buruk dengan begitu Axel bisa balik melaporkan Naomi dan mengusir gadis itu langsung ke sel penjara.
Kedatangan Naomi dan Axel di sambut oleh David, kepala pelayan. Pria paruh baya itu menyapa Axel dengan tatapan yang tertuju kepada Naomi yang menyusul keluar, sorot mata David terlihat tajam di balik kacamata yang dia kenakan, dengan cepat David melihat Axel kembali dan tersenyum formal.
“Nyonya Teresia datang dan ingin berbicara dengan Anda,” kata David.
“Antar gadis ini ke kamar tamu,” titah Axel menunjuk Naomi. Tanpa berkata apapun lagi Axel langsung pergi memasuki rumahnya lebih dulu.
Sekali lagi David meneliti Naomi yang kini berdiri di hadapannya memasang senyuman lebar dan mata berbinar bahagia.
David terdiam cukup lama, wajah Naomi sangat familiar di ingatannya namun David sama sekali tidak dapat mengingat sebenarnya gadis yang berada di hadapannya sekarang.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Sepertinya saya mengenal Anda,” gumam David.
Naomi tersenyum semakin lebar memaksakan diri untuk terlihat tenang meski pada kenyataannya, perasaannya di landa kegugupan. Naomi tidak ingin siapapun tahu siapa dirinya dan berakhir dengan orang-orang yang mengejek kebangkrutan keluarganya, Naomi tidak ingin itu terjadi.
Naomi menggaruk pipinya yang tidak gatal, gadis itu tertawa canggung, “Wajahku memang pasaran, karena itu terlihat mirip dengan banyak orang.”
“Koper dan ransel itu?” David menunjuk ransel dan koper Naomi.
“Oh, itu?” Naomi menunjuk koper dan ranselnya yang tertumpuk di sisinya. “Aku baru pindah ke kota ini, tadi Axel tidak sengaja menabrakku dan dia ingin bertanggung jawab memberikan perawatan penuh sampai lukaku sembuh,” jelas Naomi terbata-bata seraya menunjukan kakinya yang di gips dan tangannya terbalut perban.
David tersenyum mengangguk dengan perasaan yang masih mengganjal di hatinya. “Nama saya David, saya kepala pelayan di rumah ini. nama Anda siapa?”
“Naomi.”
Pupil mata David terbelalak kaget, kepalanya yang sempat pusing memikirkan siapa gadis di hadapannya kini tercerahkan.
David segera memanggil pengawal agar mereka membawakan barang-barang Naomi. Tatapan tajam yang semula David tunjukan kini menghilang dengan tatapan hangat dan ramah, pria paru baya itu membantu Naomi berjalan dan menuntunnya pergi masuk ke dalam rumah menuju kamar tamu.
Naomi berjalan terpincang-pincang, sesekali gadis itu meringis menahan sakit ketika kakinya harus menekuk hendak melewati satu persatu anak tangga.
Meski melelahkan dan menyakitkan, Naomi tetap senang dan bersyukur karena kini dia memiliki tempat berlindung. Untuk sekarang Naomi tidak akan memikirkan apapun, dia akan berusaha sembuh secepatnya dengan begitu bisa pergi mencari pekerjaan dan menata kehidupan barunya dalam kesederhaan.