Hujan sudah tercurah sangat deras, bahkan sejak mobil keluar dari garasi. Sambaran petir sesekali berkilat menerangi dunia. Gemuruh halilintar yang tidak terlalu menggelegar terdengar susul menyusul di kejauhan.
Dhena memalingkan pandangan ke luar jendela. Teringat kembali omongan sahabatnya Noviar tentang Andrean. Dia memang belum menemukan sisis keburukan Andrean, kecuali perbedaan keyakinan. Itupun bukan masalah besar karena Andrean sudah siap pindah agama.
Namun entah apa yang dimiliki Rizal, Dhena pun tak mengerti. Andrean gagah, tampan, mapan dan jantan. Secara fisik dan keduniawian tak sebanding dengan Rizal, tapi mengapa dirinya sangat sulit melepaskan diri dari bayang-bayang lelaki sederhana yang sangat luar biasa memperlakukan dirinya. Dhena benar-benar merasa dirinya layaknya permaisuri raja ketika berada di dekat Rizal.
Di depan semua orang, Dhena seolah membenci Rizal. Namun jauh di lubuk hatinya tak setitik pun dia bisa melupakannya. Bukan hanya karena Rizal telah menanamkan benih di rahimnya, tapi lebih dari itu. Dan Dhena tak sanggup menjelaskannya mengapa bisa begitu.
'Sepertinya aku harus mulai belajar mencintai Andrean. Sudah terlalu baik dan terlalu banyak pengorbanan dia untukku. Setidaknya aku harus belajar menghargai perjuangannya. Apa salahnya jika sekarang memberi kesempatan pada Andrean. Bukankah cinta dan kesetiaannya sudah terbukti?'
Dhena menarik napas panjang, hatinya berbicara tentang Andrean, namun bayangan wajah yang tergambar di balik derasnya hujan justru wajah yang ketampanannya di bawah Andrean.
'Mungkin lama-lama juga aku bisa melupakan Rizal. Mending ajak Andrean untuk menemaniku di Bandung, sekalian menjajaki. Ya udah ah besok aja Andrean suruh menyusul. Wildan suruh balik lagi, aja." Seulas senyum terbit di bibir Dhena, hatinya pun terasa plong.
"Oh iya Wil, boleh aku tanya sesuatu yang sedikit pribadi? Tapi, kamu jangan tersinggung." Dhena memalingkan wajah menatap Wildan yang sedang serius mengendalikan mobil.
Wildan mengangguk pelan seraya tersenyum. Dia sudah siap dan bahkan sudah menebak pertanyaan apa yang akan Dhena lontarkan.
"Wil, aku benar-benar kaget ketika Noviar bilang kalau dia ternyata mengenalmu. Maaf, sejak kapan kalian saling kenal?" Mata Dhena makin tajam menatap wajah Wildan yang tetap anteng.
"Wow! sudah Idan duga. Dan ternyata pertanyaan serta kekagetan kita memang sama, Teh." Wildan menolehkan wajahnya sekilas. Lalu kembali fokus menatap jalanan.
"Maksudnya, Wil?" tanya Dhena bingung.
"Sebenarnya yang paling kaget melihat Tante Noviar itu justru Idan. Sejak kapan Teteh kenal atau bergaul dengan Tante Noviar?"
"Sudah sejak masih kuliah."
"Sumpah Idan bener-bener kaget, Teh. Kok Teteh bisa kenal dan akrab dengan Tante Noviar? Ada hubungan apa antara kalian?" Wildan kembali menolehkan wajah menatap Dhena dengan ekspresi penuh kepenasaran dan tanda tanya besar.
"Hehehe, kami sudah lama kenal dan berteman seperti saudara. Sudah belasan tahun mungkin, Wil," balas Dhena kalem.
"Oh ya?" Kini Wildan yang melongo. "Berarti kalian sudah lama sama-sama gabung dalam clubs arisan brondong, ya?" Suara Wildan sedikit ditahan.
Dia tetap tak percaya dan masih sedikit shock. Rasanya tak mungkin seorang Dhena bisa masuk dalam klub yang ajaib itu.
"Arisan brondong? Apaan tuh? Kami gak pernah ikut arisan demikian, Wil. Kami memang ada arisan keluarga. Noviar juga ikut karena sudah masuk dalam daftar keluargaku," Sanggah Dhena.
"Serius, Teh?" Wildan kembali meluruskan duduknya.
"Hei, ada apa, Wil?" Dhena makin kebingungan.
"Ti...ti..tidak, ma..maaf Teh mungkin Idan salah orang." Tiba-tiba Wildan salah tingkah dan gelagapan.
"Tidak! kamu tidak salah orang. Itu tadi bener Noviar yang kamu maksud. Soalnya dia juga sangat kenal dengan kamu, bahkan......" Dhena tidak melanjutkan ucapannya, sorot matanya makin tajam dan dalam menatap mata Wildan dari samping.
"Bahkan apa, Teh?" Wildan masih sedikit gelagapan.
"Maaf, sebenarnya kalian kenal dimana? Ceritakan gimana awalnya kalian bisa saling mengenal?" Dhena tak menjawab pertanyaan Wildan.
"Eh, ma..maaf mungkin sa...saya yang salah orang, Teh?" Wildan masih tetap bertahan dan menyangkal.
"No! Kalian tidak salah orang. Aku yakin kalian saling kenal dan kini aku mulai sedikit melihat ada benang merah diantara kalian. Kamu tadi mengatakan Noviar anggota club arisan brondong. Sementara Noviar menyebut kamu adalah brondong bayaran. Apa benar demikian, Wil?" tanya Dhena seraya memegang tangan Wildan yang sedang memegang stir mobil.
"Su...su..sumpah Teh, Idan bukan gigolo!" Wildan akhirnya menyerah dan menyangkal tuduhan Noviar sambil menundukkan kepala.
"Iya, aku percaya. Tapi mengapa kalian bisa saling kenal? Pasti sudah lama kan kalian saling kenal hingga bisa menyebut status masing-masing yang bahkan saling berkaitan seperti panu dengan gatalnya. Ada hubungan apa kalian?"
"Tidak ada apa-apa, Teh."
"Wil, kamu boleh bohong sama teteh. Tapi mata dan kegugupan sikapmu telah lebih jujur berbicara jika di antara kalian memang ada sesuatu. Bolehkah aku mendengarnya? Atau setidaknya tahu sedikit kejujuran yang keluar dari mulutmu langsung?" Dhena menurunkan intonasi suaranya untuk memberikan kenyamanan pada lawan bicaranya.
"Teteh masih percaya sama omongan Idan?" Wildan balik bertanya.
"Hehehe, selagi kamu belum berubah. Selain papa. kakak-kakakku dan anak-anak Bi Arnah, hanya tersisa dua orang lelaki yang sampai saat ini selalu teteh percayai ucapannya. Kamu dan Ilham. Walau kamu belum pernah mengenal Ilham."
"Maaf Teh, sebaiknya kita lupakan saja cerita itu. Dan Idan mohon maaf atas segala kelancangan yang telah menuduh sahabat teteh begitu."
"Wil, justru karena Noviar sahabatku, aku wajib tahu. Siapa dia sebenarnya. Jujur saja aku memang bersahabat bahkan sudah lebih dari saudara dengan dia, tetapi aku belum terlalu banyak mengenalnya. Apalagi akhir-akhir ini aku sendiri banyak menemukan kejanggalan tentang dia."
Dhena terdiam beberapa saat seraya menatap wajah Wildan yang masih khusyuk menatap jalan.
"Saya bingung ceritanya, Teh. Takut menyinggung perasaan teteh." Wildan kembali berdiplomasi.
"Wil, aku memang tak pernah terlalu jauh ikut campur dalam urusan bisnis dan pergaulan Noviar di luar sana. Sejujurnya, selain karena bukan urusanku, aku juga berpikir dia sudah dewasa bahkan sudah punya berkeluarga. Tapi lebih tepatnya lagi, aku juga tak punya waktu untuk ngurusi hal terlalu pribadi orang lain, walau itu saudara atau temanku sendiri."
"Tapi, untuk kali ini, aku benar-benar ingin tahu. Ada apa dengan Noviar? Apa yang selama ini dia sembunyikan dariku? Karena rasanya aku sudah sangat terbuka dengan terang benderang pada Noviar."
Dhena memegangi bahu Wildan yang tetap menunduk dan terdiam.
"Wil."
"Ya."
"Please cerita, Sayang."
"Saya mengenal Noviar sudah cukup lama. Kurang lebih enam bulan ke belakang. Kami kenal secara tidak sengaja. Anggap saja berawal dari kesalah-pahaman."
Wildan yang waktu itu baru dua satu bulan menyandang status duda, pergi merantau ke kota dan mengadu nasib menjadi driver ojek online ikut dengan temannya. Pada suatu hari, dia mendapati pelanggan seorang ibu berusia kira-kira 50 tahun. Dia seorang guru di sebuah SMK. Namanya Bu Rustini.
Dari pertemuan awal itu, rupanya sang penumpang sedikit tertarik dengan Wildan. Entah karena cara mengendari motornya yang asik atau karena hal lain. Yang pasti Bu Rustini langsung meminta nomor hape Wildan. Dia berjanji akan sering memakai jasa ojek Wildan di luar aplikasi. Hal yang sudah sangat lumrah.
Hampir dua hari sekali Bu Rustini memakai jasa ojek Wildan. Dia sering memberikan ongkos yang cukup besar. Jauh sekali dengan tarif yang seharusnya. Setelah hampir satu bulan menjadi pelanggan ojek off line, Bu Rustini menawarkan sesuatu yang sangat mengejutkan sekaligus menggiurkan buat Wildan.
Sebagai seorang duda yang sudah lama tidak mengasah senjata laras panjangnya, ditambah iming-iming bayaran yang lumayan besar, Wildan akhirnya menerima tawaran Bu Rustini untuk dijadikan hadiah brondong arisan. Kebetulan bulan itu Bu Rustini menjadi salah seorang pemenang arisan itu.
Jangan membayangkan mereka menjalankan arisan sama seperti emak-emak pada umumnya. Kumpul-kumpul setiap bulan lalu mengocok siapa pemenangnya dan sang pemenang pulang dengan membawa uang arisan. Bukan seperti itu!
Arisan brondong yang diikuti Bu Rustini, dikelola secara online. Membernya tidak pernah mengadakan pertemuan atau kumpul-kumpul. Semua dilakukan secara online di sebuah group w******p dengan kerahasiaan yang terjaga ketat.
Arisan itu dikelola oleh dua orang admin, termasuk urusan pengumpulan uang dan mendistribusikannya. Pemenangnya pun sudah diatur sebelumnya. Setiap bulan ada 3 member yang keluar sebagai pemenang.
Pengurus berkewajiban menyediakan tiga brondong pada setiap bulannya. Namun para member pun bisa mencari dan menentukan brondong mana yang akan mereka pakai nantinya. Namun urusan administrasi dan keuangan tetap melalui admin atau pengurus.
Karena aturan itu pula Bu Rustini memilih Wildan untuk dijadikan hadiah arisan. Wildan menyetujui karena lumayan besar 15 juta. Dia pikir melayani Bu Rustini yang sudah tua, paling juga 5 atau 10 menit. Dalam keadaan kepepet siapa yang tidak tergiur.
Bu Rustini pun memberikan nomor kontak dua pengurus arisan itu pada Wildan. Dan hari berikutnya Wildan diminta untuk bertemu dengan dua orang pengurus arisan itu di rumah Noviar. Menurut Bu Rustini, itu sudah menjadi prosedur tetap. Siapapun yang akan menjadi brondong, wajib bertemu dulu dengan admin dan menandatangi beberapa kesepakatan, termasuk merahasiakannya.
Wildan sangat terkejut. Dua admin itu ternyata bukan hanya mengurusi administrasi dan keuangan. Mereka merangkap penguji keperkasaan para brondong yang akan beraksi dengan para pemenang nanti. Istilah mereka itu adalah test drive yang benar-benar gratis.
Wildan yang keberatan dan merasa tertipu dengan aturan yang sangat merugikan itu, langsung menolak. Alih-alih melayani threesome Tante Noviar dan seorang temannya, Wildan justru memutuskan pulang dan mundur dari semua tawaran super gila itu. Noviar dan temannya sangat marah, mungkin karena kecewa Wildan tidak bisa diajak kerja sama.
Bu Rustini yang khayalan dan angannya untuk bisa b******a dengan Wildan itu sontak mencak-mencak dan marah besar. Dia tidak terima Wildan membatalkan secara sepihak. Dan Akhirnya Wildan menceritakan alasan penolakannya itu.
Bu Rustini semakin marah dan tidak puas. Dia pun ngamuk-ngamuk di group WA arisannya. Bahkan dengan terang-terangan dia menceritakan apa yang selama ini dilakukan oleh Noviar dan Maya selaku admin, di belakang para member.
Semua member marah karena merasa tertipu telah diberi brondong bekas pakai Noviar dan Maya. Padahal mereka sudah membayar cukup mahal.
Noviar dan Maya diteror oleh para member dan wajib mengembalikan uang mereka yang belum dapat jatah brondong, termasuk Bu Rustini. Akhirnya group arisan itu tak jelas nasibnya.
"Itu alasannya mengapa Noviar begitu membenci Idan, Teh" Wildan menutup ceritanya.
"Hmmm." Dhena masih belum bisa bicara.
"Kita makan dulu Wil. Cari tempat makan yang enak, ya." Balas Dhena dengan sekujur tubuh yang lemas.
Tak menduga sahabatnya terlibat dalam praktek arisan yang sangat memalukan.
^^^