Sore itu kebahagiaan Dhena semakin lengkap. Tak sampai 20 menit sejak Dhena dan Ilham sampai di villa, Bi Arnah dan dua pengawal pribadinya tiba dengan menggunakan mobil sewaan milik Pak RW.
"Cuma berempat dengan sopir?" tanya Dhena saat Bi Arnah, Teguh dan Aiman memasuki ruang tengah.
Sementara sang sopir lebih memilih ngaso di teras depan sambil menikmati secangkir kopi yang disuguhkan Bi Kayah.
"Anwar gak jadi ikut Neng, katanya gak tenang ninggalin rumah. Dia minta izin buat ngajak teman-temannya nginep di rumah," jawab Bi Arnah seraya memeluk dan menciumi wanita yang terkadang dipanggilnya calon menantu.
"Oh ya gak papa. Yang penting Aiman ikut. Soalnya udah ditunggu sama Bi Isah, Bi Aar dan yang lainnya," jawab Dhena memberikan tangannya untuk dicium Aiman juga kakaknya.
"Besok Aiman disuruh ikut panen cabe bantuin mereka, kaya dulu. Mau ya, Sayang?" tanya Dhena seraya memeluk bahu bocah ganteng, gemuk yang menggemaskan.
Aiman hanya menganggukkan kepala, tanpa sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa jagoan bunda loyo begini, pusing ya, Sayang?" lanjut Dhena sambil berjongkok dan mencium pipi Aiman yang matanya sedikit berkaca-kaca.
"Tetep aja Neng, naik mobil sewaan juga mabuk, hehehe," bisik Bi Arnah.
"Hehehe, nanti juga kalau udah gede enggak ya, Sayang. Ya udah jagoan bunda boboan aja dulu ya, kalau masih pusing gak ikut salat berjamaah juga gak papa," hibur Dhena seraya kembali mencium pucuk kepala Aiman.
Bi Arnah segera menuntun Aiman menuju kamar di belakang.
Sementara Teguh sudah duduk di sofa sambil memegangi tas gendongnya yang tampak penuh isinya.
"Si Ganteng mabuk juga, gak?" tanya Dhena seraya tersenyum dan duduk di dekat Teguh.
Tak lama Bi Kayah datang menyuguhkan orange juice untuk Teguh dan Dhena.
"Alhamdulillah aman, hehehe. Oh iya untuk acara malam jumat itu serius, Bun?" tanya Teguh.
"Sejutarius malah. Ganteng sudah siap kan?" Dhena balik bertanya.
"Gimana ya? Insya Allah siap sih. Tapi Teguh belum tahu konsep acaranya kaya gimana, Bun?" Teguh menatap wanita yang paling dikaguminya.
"Sebenarnya itu acara dadakan. Waktu kemarin kami kumpul dan ngobrol-ngobrol. Terus mama bilang gimana kalau ngadain syukuran untuk kelulusan Della, Rizky, Ganteng dari SMA, Bima dari SMP, Furqon dan Aiman dari SD. Ternyata semua setuju. Tadinya mau ngundang hiburan organ tunggal, tapi Kak Imron usul gimana kalau ngadain pengajian keluarga, sambil ngundang anak yatim."
"Oh mustaminya anak-anak ya, Bun."
"Rencana ngundang 500 orang. Anak yatim kurang lebih 300, selebihnya para pimpinan dan staf dari perusahaan papa, perusahaan Kak Imron dan perusahaan Kak Adit & Mas Bayu."
"Oooh." Mulut Teguh membulat.
"Nah tadinya bunda usul, Anwar yang jadi Qori, Aiman saritilawahnya terus Ganteng yang ceramah. Karena Anwar gak jadi datang, mungkin yang jadi Qoriahnya, Della."
"Della?" Teguh melongo.
"Iya dong biar kompak, masa calon istrinya hafiz, gak berani nunjukin kemampuan ngajinya, hehehe,"
"Kirain hanya anak yatim aja. Acaranya ngedadak, jadinya Teguh sakit perut dan grogi nih, Bun."
"Grogi apaan? Bunda sudah bosan nerima piagam dan piala lomba Ceramah, sekarang saatnya denger langsung aslinya, kalau rekaman pas lagi lomba kan gak seru, hehehe."
"Kalau depan bunda doang sih sekarang juga berani. Tapi kalau depan para pimpinan dan staf perusahaan gitu, gimana ya Bun. Takut salah ngomong." Raut wajah Teguh mendadak tegang dan serius.
"Hehe, ingat gak pesan bunda, apa?"
"Papa, bunda dan semua tidak akan mendaulat Teguh untuk ceramah kalau tidak percaya dengan kemampuannya, hehehe," jawab Teguh malu-malu.
"Nah, kan pinter. Ayo tunjukan merahmu depan Della dan ayahnya! Kak Imron sama Kak Lusy dari kemarin udah gak sabar pengen dengar langsung ceramah calon menantunya, hehehe."
"Wah depan camer makin tambah grogi, nih, hehe."
"Udah ah jangan sok manja. Bunda aja percaya sama Ganteng, masa ganteng sendiri gak percaya pada diri sendiri."
"Siap, Bunda!"
"Ya udah, sebentar lagi magrib. Kita berjamaahnya di mushola belakang aja ya. Sebenarnya Bunda kangen sama suara merdu adzannya Anwar."
"Siap, Bunda! Hari ini Teguh siap menjadi muadzin merangkap Imam, hehehe."
Setelah menghabiskan orange juicenya, mereka pun beranjak menuju kamarnya masing-masing.
^^^
Kebahagiaan hati Dhena sore menjelang malam itu, berbanding terbalik dengan suasana kejiwaan seorang lelaki muda berparas tampan rupawan dengan pakaian necisnya.
Kegalauan dan keresahan hati sang pengusaha muda itu tergambar jelas dari cara memarkirkan mobil di garasinya. Dia bahkan membanting pintu mobilnya saat keluar. Tampaknya dia sudah lama memendam kesal, geram, gusar dan marah.
Dengan langkah tersentak serta gerakan tubuh mengadopsi gaya maling yang hendak merampok dan menjarah, lelaki itu masuki rumah dan langsung menuju sebuah kamar. Tak berselang lama, lelaki perlente itu keluar dari kamar lalu melanjutkan dengan melakukan inspeksi mendadak pada hampir semua ruangan di rumah itu. Entah apa yang dicarinya.
Setelah merasa cukup puas melakukan pencarian pada seluruh ruangan yang dia kira bisa menemukan yang dicarinya namun tak menghasilkan apapun.
Lelaki tampan rupawan itu berdiri mematung di tengah ruangan dengan napas yang memburu dan berkacak pinggang.
Kemeja ketat berbahan katun warna merah marun yang dikenakannya tampak elegan menyatu dengan celana bahan warna khaki senada dengan pantofelnya. Penampilan yang sangat mewah dan jantan, namun sayang harus berbanding terbalik dengan rambut dan wajah tegangnya yang kusut masai.
"Bi Atiiiiiiik...!" teriak lelaki itu tiba-tiba. Suaranya menggelegar membahana memenuhi seluruh ruangan yang sunyi senyap.
"Ya, Tuan!" balas seorang dari dapur.
Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh masuk ruang tengah lalu mendatangi sang tuan yang memanggil namanya dengan sangat keras.
"Alexa belum pulang, Bi? Dari kapan dia perginya?" tanya lelaki muda itu dengan rahang dan gigi yang tampak ditekan menahan amarah.
"Dari kemarin siang, Tuan. Memangnya nyonya tidak menelpon?" Bi Atik balik bertanya dengan suara yang sedikit bergetar menatap wajah tuannya yang terlihat sangat jelek dan menakutkan dalam ekspresi marahnya.
"s**t! Istri model apaan si Alexa ini? Sialan! Pantas dari kemarin sore gak bisa dihubungi!" dengus lelaki itu kesal.
"Dengan siapa perginya, Bi?" lanjutnya.
"Dengan Den Steven dan Tuan Kelvin?" Bi Atik menjawab polos.
"Kelvin? Si Kelvin yang ngejemput ke sini?" tanya Andrean dengan suara pelan. Tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Sorot matanya makin beringas menatap Bi Atik yang mengangguk terintimidasi.
"f**k!" maki sang lelaki itu menyentak, "titip pesan apa Alexa, Bi?" lanjutnya.
"Kalau Tuan sudah pulang, bibi boleh pulang ke rumah, terus..te..terus katanya, Tu Tuan ti..tidak boleh menyusul nyonya kalau masih ingin selamat!" Bi Atik bicara gugup seraya menundukkan kepala. Kedua tangannya tampak bergetar memainkan ujung kebaya yang dipakainya.
"Sialan! Gaji bibi udah dibayar belum sama dia?" tanya tuan muda dengan nada yang masih menyentak.
"Semua sudah selesai Tuan, anak bibi yang ngejemput pun sudah ada dari tadi pagi." Bi Atik kembali mengangkat wajah, berusaha menatap sang majikan.
"Syukur kalau semua sudah beres. Silakan saja kalau bibi mau pulang. Saya ucapakan terima kasih atas segala pelayanan bibi buat saya, Alexa juga Steven," balas sang majikan pasrah.
Sang majikan tampaknya menyadari, tak ada gunanya melampiaskan segala kemarahan pada wanita yang sudah hampir empat tahun mengabdikan diri pada dia dan keluarganya.
Setelah bersalaman dan berbasi-basi Bi Atik segera kembali ke dapur. Tampaknya wanita itu sudah tak sabar ingin segera keluar dan pergi dari rumah besar namun terasa sepi mencekam itu.
Sementara itu sang tuan beranjak mengambil sebotol minuman dan cawan dari mini bar-nya. Lalu duduk di sofa memandangi layar televisi yang hitam, wajahnya yang tampak kacau berantakan itu ditekuknya.
Cawan demi cawan minuman beralkohol mulai membasahi mulut dan tenggorokannya. Berharap kekacauan pikirannya bisa segera siran. Melupakan istri dan anaknya yang kini benar-benar pergi dengan membawa seluruh harapan dan masa depannya.
Sementara itu, berjarak tidak lebih dari 10 kilo meter dari rumah tuan muda yang sedang galau tingkat dewa itu, tampak sepasang insan berlainan jenis kelamin sedang duduk mesra pada sebuah gazebo privacy sebuah restauran khas masakan Sunda.