Bab.3 Boss Menyebalkan

1617 Kata
Dan terhitung sejak hari itu pun Amara menjadi penghuni baru lantai paling atas kantor Jarvis grup. Posisinya yang tiba-tiba dipindah sebagai asisten sekretaris direktur utama, tentu saja sempat jadi bahan perbincangan. Apalagi statusnya hanya anak magang yang baru tiga hari di sana. Mereka semua berpikir Amara sangat beruntung bisa setiap hari dekat dengan bos bule. Yang biarpun bujang lapuk, tapi malah makin ganteng itu. Namun, tidak buat Amara yang justru merasa terpaksa berada di sana. Ganteng iya, sayangnya belok. Pantas saja sampai di usianya yang hampir empat puluh tahun pak bosnya masih jomblo, karena seleranya memang beda. Begitu pikir Amara, tanpa paham kalau Aryan sudah tidak lagi bergelut di dunia pelangi. “Salinan dokumennya sudah selesai, Ra?” tanya Dila . “Sudah, Mbak.” jawab Mara mengangguk. “Kalau begitu tolong sekalian sama berkas yang ini kamu taruh di atas meja Pak Aryan. Biar nanti begitu orangnya datang bisa langsung diperiksa,” ucap Dila meletakkan map warna biru di meja Mara yang berada tepat di sampingnya. "Ok," sahutnya. Amara memeriksa sekali lagi dokumen yang baru selesai dia kerjakan, lalu mengambil berkas dari Dila sebelum beranjak ke ruang kerja pak bos. Sebenarnya bekerja di lantai sini tak semenyeramkan seperti bayangan Mara sebelumnya. Setidaknya itu yang dia rasakan selama dua hari ini. Mungkin karena Dila orangnya baik. Bos mereka juga biarpun mukanya butek dan menyebalkan, tapi tidak pernah bersikap galak. Saat meletakkan bawaannya di atas meja, mata Mara tergelitik melihat pigura yang di sana. Dua foto keluarga yang berbeda, karena hanya Aryan dan seorang wanita paruh baya di sana yang berwajah bule. Itu semakin membuat Mara penasaran, kenapa meski bersaudara Ethan sama sekali tidak mirip bule. “Ganteng ya?” “Hm, banget.” gumam Mara mengangguk. “Yang mana?” “Yang .…” Jari Mara sudah nyaris menunjuk satu wajah di foto, sebelum kemudian dia menoleh dan terjengkit kaget. Saking fokusnya dengan foto dan rasa penasarannya, dia sampai tidak menyadari kedatangan si empu ruangan. Bahkan dengan bodohnya menyahut pertanyaan bosnya. Malunya sampai ubun-ubun. “Maaf, Pak. Saya cuma numpang lihat sebentar fotonya, permisi!” ucapnya gelagapan. Dengan muka panas menahan malu Mara buru-buru berbalik, tapi Aryan yang sudah duduk di kursi kebesarannya tidak membiarkan dia pergi begitu saja. “Tidak sopan! Aku bertanya kenapa tidak dijawab?” “Bapak tanya apa?” sahut Mara terpaksa berdiri menghadap bosnya. Sumpah, dengkulnya lemas ditatap lekat seperti itu. Apalagi kalau ingat kejadian memalukan di lift, Mara sampai tidak pernah berani bertatap mata langsung dengan bosnya. “Mana yang kamu bilang ganteng banget?” Aryan mengulang pertanyaannya tadi dengan bibir berkedut melihat gadis itu mati kutu menahan malu. “Harus dijawab ya, Pak?” Mara balik bertanya. “Kamu kalau tanya ke orang, terus tidak dijawab. Kesal nggak?” sahut Aryan begitu menikmati wajah bingung Mara. Mata bening gadis itu menatap pigura di sana. Tidak mungkin dia ngaku siapa yang menurutnya paling ganteng di foto itu, jadi Mara mengarahkan telunjuknya ke pria tampan satunya lagi. Namun, muka bosnya justru langsung berubah kecut. “Itu iparku, kamu tidak lihat dia duduk berdampingan dengan istrinya! Yang bujang banyak, kenapa malah suka suami orang?” omel Aryan tidak jelas, sampai Mara yang mendengarnya pun melongo. “Lho, kapan saya bilang suka iparnya Bapak? Mana yang paling ganteng, setiap orang punya penilaian yang relatif. Bapak tanya, saya jawab. Kenapa malah sewot?” ucap Mara tidak habis pikir dengan sikap nyeleneh bosnya. “Kamu mengomeli saya?!” sahut Aryan tiba-tiba merasa kesal. “Nggak, Pak. Mana saya berani. Coba tadi di situ ada foto pacar saya. Pasti saya bakal jawab dia yang paling ganteng, biar Bapak nggak urung-uringan.” jelas Mara sampai kering tenggorokannya. “Kamu sudah punya pacar?” Amara tidak langsung menjawab. Masih tidak habis pikir, kenapa cuma gara-gara ketahuan lihat foto saja bosnya malah bertanya ngelantur kemana-mana begini. “Sudah,” jawab Mara. “Ambilkan kopi!” perintah Aryan dengan muka datar mengalihkan tatapannya ke berkas di depannya. Dengan perasaan lega Amara segera ke pojok ruangan menuang secangkir kopi. Seperti kata Dila, Amara tidak menambahkan gula karena bosnya tidak suka manis. “Ini kopinya. Kalau begitu saya permisi keluar dulu, Pak.” ucap Amara setelah meletakkan cangkir itu meja bosnya. Bahkan dia baru beranjak beberapa langkah, tapi sudah dipanggil lagi oleh bosnya. “Kopinya terlalu pahit,” protesnya. “Kan biasanya juga tanpa gula, Pak.” sahut Mara. “Tambahkan sedikit saja, saya lagi ingin minum manis.” titahnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkasnya. Amara kembali membawa cangkir itu dan memasukkan satu butir gula kotak ke dalamnya, lalu mengaduknya. Sesekali matanya melirik ke bosnya yang sedang tekun dengan berkas dan laptopnya. Padahal dia punya segalanya yang dipuja oleh wanita. Harta, rupa dan tahta, tapi semua jadi percuma karena malah memilih jalan yang menyalahi kodrat. “Kopinya sudah saya tambahi gula, Pak.” “Hm ...,” gumamnya. Karena merasa tugasnya sudah selesai, Amara pun bergegas pergi. Hingga saat tangannya hampir menyentuh daun pintu, pria itu kembali berulah. “Kamu mau saya kena diabetes ya! Kopinya kamu tambahin gula berapa kilo? Buang saja, ganti yang nggak pakai gula!” serunya dengan muka masam menatap Amara sengit. Sumpah, kalau bukan bosnya pasti sudah Mara jambak itu orang. Dia mulai curiga Aryan sengaja menyuruhnya bekerja disini karena ingin membalasnya. Tanpa mengucapkan apapun, dia segera menuang secangkir kopi lagi dan mengantarnya ke meja bosnya. Namun, naas saat hendak menaruhnya di meja Mara justru menumpahkan kopinya. “Maaf ...,” ucap Mara panik mengambil beberapa lembar tisu untuk mengelap meja bosnya. Padahal mukanya sedang meringis karena tangannya terguyur kopi panas. “Dasar ceroboh!” Aryan bangun dari duduknya, lalu menyambar tangan Amara dan menariknya ke toilet. Mukanya terlihat kaku saat melihat tangan kiri Mara yang diguyur air di wastafel tampak merah. “Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Nanti berkasnya saya bikin lagi yang .…” “Diam!” sela Aryan memotong ocehan Amara. Dia yang tinggi besar, harus sedikit membungkuk karena postur tubuh Amara lebih mungil. Bukan karena terlalu pendek, tapi Aryan yang tingginya di atas rata-rata. Amara meringis begitu sadar posisinya yang berada di rengkuhan pria itu. Entah karena harganya yang pasti mahal atau karena sudah bercampur dengan keringat pria ganteng, jadi wangi parfum bosnya tercium lain di hidungnya. Daripada sakitnya terguyur kopi panas, sekarang dia lebih tidak nyaman harus sedekat ini dengan seorang Aryan Jarvis. Jantungnya tidak baik-baik saja, berdebar tidak karuan tanpa tahu kenapa. Percaya atau tidak, dia dan pacarnya pun tidak pernah seintim ini. “Masih sakit?” tanya Aryan. “Nggak,” geleng Mara. Setelah mematikan kran, Aryan mengambil handuk kecil dan memberikannya ke Mara. Gadis itu mengekor di belakang bosnya dengan muka panas menahan malu. Dia buru-buru membereskan meja yang belepotan kopi. Untung saja tidak mengenai berkas di sana. “Sini tanganmu!” ucap Aryan yang datang dengan membawa obat oles. “Saya bisa sendiri,” ujar Amara enggan mengulurkan tangannya. “Jangan besar kepala! Aku cuma tidak enak hati, karena kamu tersiram saat membuatkanku kopi. Lagipula aku tidak tertarik dengan bocah ceroboh sepertimu.” lontar Aryan seperti paham apa yang Amara pikirkan. “Biar saya koreksi! Bapak tidak tertarik bukan karena saya masih bocah ataupun ceroboh, tapi karena selera bapak memang lain. Lagipula saya bukan bocah, bulan depan umur saya sudah dua puluh satu.” sahut Mara kesal mendengar ucapan pedas pria menyebalkan itu. Bukannya marah, Aryan justru mengulum senyum. Entah bagaimana reaksi Mara kalau tahu dia juga punya beberapa mantan pacar wanita yang bahkan bukan dari kalangan biasa. Mungkin nanti kalau ada kesempatan dia akan mengenalkan salah satunya ke bocah satu ini. “Dua puluh satu , ya? Nggak pakai plus-plus kan?” ledeknya. “Ya ampun! Apanya yang plus-plus, Pak! Saya masih polos,” serunya melotot kesal. “Makanya saya bilang kamu masih bocah. Ngaku dewasanya nanti, kalau sudah genap dua puluh satu tahun dan paham plus-plus.” ucap Aryan kembali ke kursinya setelah meletakkan obat oles di atas meja. Amara sampai dibuat cengo, tapi sudah malas berdebat dan terus terjebak dengan pria menyebalkan itu di sini. Jadi dengan membawa cangkir kotor dan obat oles itu dia segera keluar sana. Begitu pintu ditutup dari luar, Aryan tertawa tergelak. Muka Mara yang menahan marah dan malu terlihat begitu lucu. Sampai kemudian ponselnya berdering pelan. Matanya berbinar senang begitu nama Elina, adik perempuannya muncul di sana. “Halo, El.” sapanya dengan suara lembut. “Kata papa nanti Abang mau kesini. Jadi kan? Aku bikinin jamur crispy kesukaan Abang.” “Jadi, tapi mungkin agak telat. Kebetulan setelah ini aku ada jadwal di luar, dekat rumah kamu situ.” sahut Aryan dengan senyum semakin lebar. Matanya berbinar menatap foto adiknya yang terlihat cantik. “Nggak apa-apa, yang penting datang. Ya sudah dulu, aku mau ganti pampersnya Kinan.” “Iya.” Aryan meletakkan ponselnya, masih dengan tatapan tertuju ke foto keluarga mereka yang belum lama ini diambil. Ethan dan Elina itu kembar, tapi terpisah sejak bayi. Jadi Aryan juga tidak protes saat papanya dan Ethan lebih memilih tinggal bersama Elina, untuk menebus puluhan tahun waktu kebersamaan mereka yang hilang. Dia sendiri masih menempati rumah kediaman keluarga Jarvis. Hanya sesekali datang menginap menghabiskan waktu bersama mereka di akhir pekan. “Pak, untuk jadwal pertemuan dengan pihak Asastra apa boleh kalau saya minta tolong Mara yang gantikan? Soalnya dokumen yang besok pagi harus disetor ke Indira masih belum selesai,” ucap Dila dengan wajah tidak enak. “Boleh, tidak apa-apa.” jawab Aryan sambil meraih ponsel dan jasnya. Sudah waktunya dia berangkat. Sampai di luar ruangan dia melihat bocah itu sedang bertopang dagu, tampak begitu fokus dengan laptopnya. “Mara, ikut saya!” ajaknya, sedang Mara menoleh bingung. “Kemana, Pak?” tanyanya. “Ke KUA," sahut Aryan sambil berlalu, tanpa peduli Amara yang melongo semakin bingung dan Dila yang tertawa ngakak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN