Ethan membalas tatapan kakaknya jengah. Bahkan setelah semua yang Ivan lakukan pada mereka, kakaknya masih saja peduli pada pria b******k satu itu.
“Kenapa? Khawatir aku sudah menghabisi nyawa mantan peliharaanmu itu?” lontarnya ketus.
“Ethan .…”
“Apa perlu aku ingatkan lagi, kalau dia yang sudah membunuh mama! Selama ini aku tidak pernah ikut campur urusan pribadimu, biarpun jijik melihatmu mesra dan tinggal bersama pacar priamu itu. Kalau sampai Bang Aryan ingkar dan mengulang kesalahan yang sama, jangan harap mendapat maaf dari kami lagi!” teriak Ethan tidak bisa menahan emosinya.
Namun, suara benda jatuh seketika membuat keduanya menoleh kaget. Jantung Aryan mencelos melihat seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri mengintip di depan pintu ruang kerjanya yang sedikit terbuka.
Sadar dalam masalah besar, Ethan bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang sudah menguping pembicaraan mereka. Kalau sampai aib kakaknya bocor ke luar, bisa hancur nama baik keluarga dan perusahaan mereka.
“Kamu siapa? Kenapa lancang mencuri dengar pembicaraan kami?” cecar Ethan begitu membuka pintu, dan mendapati seorang gadis berdiri dengan muka pucat pasi di sana.
Aryan yang menyusul keluar mengernyit tajam. Dia lagi, gadis yang tadi menabraknya di lift. Hanya saja Aryan tidak habis pikir, bagaimana bisa anak magang yang seharusnya di lantai tujuh itu berada di depan ruangannya.
“Kamu kenapa disini?” tanyanya, tapi gadis itu lagi-lagi hanya diam kebingungan.
“Dila!” teriak Ethan memanggil sekretaris kakaknya yang sembrono membiarkan orang asing masuk.
Seperti sadar sesuatu, gadis itu buru-buru memungut kembali berkas yang baru saja dia jatuhkan di lantai.
“Maaf, saya juga tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Saya kesini cuma diminta Bu Dila untuk menyerahkan berkas penting ini ke Bapak!” jelasnya dengan wajah menunduk takut dan tangan gemetar mengulurkan berkasnya.
Ethan yang kemudian mengambilnya, masih dengan tatapan lekat mengamati gadis itu penuh selidik.
“Saya permisi!” pamitnya mengangguk sekenanya, lalu berbalik hendak bergegas pergi. Itu yang ingin dia lakukan sebelum kena amuk mereka. Sayang, Aryan sudah lebih dulu menyambar tangannya dan menyeret gadis itu masuk ke ruangannya.
“Pak!” pekik Amara panik berusaha lepas dari cekalan bosnya.
“Than, panggil Dila kesini sekarang juga!” titah Aryan ke adiknya sambil membawa gadis itu ke arah sofa.
“Bapak mau apa? Sumpah, saya bukan sengaja mau mencuri dengar!” jelas Amara sampai gagap saking takutnya.
“Duduk!” perintah Aryan tanpa mau dibantah.
Mau tidak mau Amara pun duduk, pasrah meratapi nasibnya hari ini yang begitu sial. Setelah kejadian memalukan di lift tadi, sekarang malah mendengar rahasia gelap yang punya perusahaan. Padahal dia benar-benar tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Mana dia tahu kalau pintu ruangan tidak tertutup sempurna, sedang mereka adu mulut dengan begitu kerasnya.
“Kamu tidak bisa ketuk pintu dulu, ya? Kenapa asal buka pintu ruangan saya?!” tanya Aryan dengan suara meninggi, meski sebenarnya kasihan melihat anak magang itu sudah pucat ketakutan.
“Bukan saya yang buka, Pak. Tadi pintunya memang tidak tertutup rapat. Saya mau ketuk, tapi tidak jadi karena mendengar .…”
Amara kicep, tidak berani meneruskan ucapannya. Jantungnya berdetak cepat saat mendapati tatapan tajam menusuk pria di depannya itu
“Kamu dengar apa?” tanya Aryan dengan muka kaku.
“Tidak dengar apa-apa,” jawab Amara menggeleng keras.
“Telingamu tidak budeg kan?” ucap Aryan ketus hingga Amara tersulut.
“Tentu saja tidak!” seru Amara mendongak kesal, tapi sedetik kemudian dia meringis menyesali kebodohannya.
Aryan sedang mendelik menatapnya sengit. Rasanya Amara ingin menangis saja saking bingungnya. Sampai detik ini dia merasa seperti kena prank. Siapa sangka CEO berwajah blasteran yang tampannya membuat kaum hawa ngiler itu justru seorang gay. Tetapi, itu juga bukan urusannya, dan dia sama sekali tidak peduli. Masalahnya kenapa dia harus terjebak dalam situasi seperti ini.
“Jadi kamu mendengar semua pembicaraanku dengan adikku kan?” tanya Aryan.
Amara terpaksa mengangguk. Pintu tidak ditutup dan mereka bicara sekeras itu, mana mungkin si bos percaya kalau dia tetap ngotot bilang tidak mendengar apa-apa.
“Sial! Kenapa juga mulutmu asal mangap!” umpat Aryan keras, tapi kali ini dia marahnya ke Ethan.
“Mana aku tahu dia ada disitu! Salahkan saja Dila asal suruh orang kesini,” dengus Ethan tidak terima dijadikan kambing hitam oleh kakaknya.
Suara ketukan pintu menghentikan debat mereka. Dila datang tergopoh dengan wajah panik menghampiri bosnya. Barusan di telpon dia sudah kena amuk Ethan, gara-gara Amara mendengar pembicaraan mereka.
“Maaf, Pak. Tadi dari lantai tujuh saya harus ke lobi dulu menemui wakil Indira grup yang datang mengantar dokumen, jadi minta tolong Mara buat mengantar berkasnya ke Bapak.” jelas Dila sebelum bosnya bertanya.
“Terus menurutmu sekarang bagaimana? Siapa yang bisa menjamin mulutnya tidak asal bicara di luar sana?” ucap Aryan berusaha untuk tidak berteriak ke sekretarisnya yang ceroboh.
Dila meringis, merasa iba sekaligus bersalah saat menatap Amara yang menunduk ketakutan dengan tangan saling bertaut erat. Kalau tadi dia tidak minta tolong, pasti tidak begini jadinya.
“Maaf, Pak. Saya yang salah. Nanti biar saya yang bicara dengan Mara.” ujar Dila.
“Masalah ini kalau tidak dibicarakan secara tuntas, bisa fatal akibatnya. Kalaupun dia berjanji akan tutup mulut, kita juga tidak tahu apakah omongannya bisa dipegang.” lontar Ethan menatap gadis itu lekat.
Cantik dan sepertinya polos, tapi siapa yang bisa menjamin mulutnya tidak akan jahat membocorkan aib kakaknya.
“Sumpah! Saya tidak akan bilang ke siapa pun. Lagipula apa untungnya buat saya buka aib orang lain. Saya hanya sedang magang disini. Bapak mau gay atau bukan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya.” ucap Mara memberanikan diri bicara, meski tangannya sampai gemetaran mendapati semua mata tertuju padanya.
Ethan mengulum senyum melihat muka kakaknya merah padam menahan malu. Sekali-kali pria menyebalkan itu memang butuh diberi shock terapi biar otaknya bisa benar-benar lurus.
“Apa jaminannya kamu tidak akan keceplosan bicara? Kamu tahu apa resiko dan taruhannya, kalau sampai hal ini di menyebar di luar sana? Nama baik keluarga kami dan perusahaan ini akan hancur,” Aryan berkata dengan mimik serius.
“Tapi kan juga bukan salah saya, Pak.” sahut Mara sambil mengusap air matanya yang merembes keluar.
“Aishhh, aku tidak membentakmu kenapa malah nangis!” ucap Aryan menatap anak magang itu tanpa tahu harus berbuat apa.
Memang bukan sepenuhnya salah gadis itu, tapi karena sudah kejadian masalah ini harus diselesaikan sampai rampung.
“Siapkan surat perjanjian, La! Dia harus tanda tangan dulu di atas materai. Kalau sampai keceplosan ngomong atau sengaja menyebarkan soal tadi, aku akan menuntutnya.” perintah Aryan sontak mengagetkan Amara.
“Baik. Pak.” sahut Dila segera beranjak.
“Kok gitu sih, Pak! Bapak masa nggak percaya sama saya?” protesnya memelas. Sedang Ethan tidak tahu kenapa justru ingin tertawa melihat raut lucu gadis itu saat mewek begitu.
“Tentu saja tidak percaya, kita saja tidak saling kenal dan baru kali ini bertemu. Apalagi kamu orangnya ceroboh. Satu lagi, mulai hari ini kamu magangnya pindah jadi asistennya Dila. Jangan berbaur dengan pegawai lain, biar tidak keceplosan ngomong yang aneh-aneh. Sanggup kan?” tanya Aryan
Ethan ikut merasa lega begitu melihat Amara mengangguk, meski tahu gadis itu juga terpaksa menyanggupinya. Kakaknya memang begitu, pendiam dan kadang omongannya pedas. Beda lagi kalau di rumah berhadapan dengan adik dan keponakan kembar mereka, kakaknya jadi murah senyum dan berubah jinak.
“Ini surat perjanjiannya, Pak! Kalau isinya sudah sesuai, tinggal tanda tangan.” ucap Dila yang datang menyerahkan lembar surat perjanjian yang baru di buatnya.
Aryan membaca yang tertera di sana, sedang Ethan beranjak mendekat ikut mengintip. Amara tampak semakin gusar, apalagi sesekali Aryan mengalihkan tatapan tajamnya. Mungkin pria itu juga ingin sekalian membalasnya, setelah tadi di lift dia menyeruduk masuk dan membuatnya terjungkal.
Setelah Aryan membubuhkan tanda tangan, Dila menyerahkan surat itu untuk dibaca dan ditandatangani oleh Amara.
“Baca baik-baik dulu, Mara! Kalau ada yang kurang jelas, saya bisa jelaskan.” ucap Dila pelan.
Sanggup menerima hukuman seberat-beratnya kalau sampai terbukti membocorkan rahasia dari Aryan Jarvis, intinya seperti itu. Amara menghela nafas panjang. Apapun isinya dia tidak takut, karena memang tidak punya niat jahat membocorkan apapun tentang aib pria itu. Tanpa ragu dia pun membubuhkan tanda tangannya di atas materai, lalu menyerahkan ke Dilla.
“Itu bukti saya benar-benar tidak punya maksud jahat ke Bapak,” ujar Amara menahan jengkelnya melihat muka menyebalkan pria itu.
“Bagus lah. Jangan lupa setelah ini kemasi barangmu dan pindah kerja sama Dila. Batasi berbaur dengan pegawai lain. Saya tidak suka harus terus-terusan mengingatkan hal apa saja yang tidak boleh kamu langgar selama disini,” sahut Aryan.
Dila kemudian mengajak Amara keluar dari sana. Ethan menatap gadis itu hingga menghilang di balik pintu dengan tatapan tidak teganya.
“Kasihan dia, padahal bukan salah dia juga.”
“Iya, semua salah mulutmu yang asal bicara. Aku sudah tobat, tapi setelah ini dia pasti menatapku jijik dan menganggapku masih seperti itu. Sialan, kamu!” umpat Aryan sengit, tapi adiknya justru cengengesan.
“Beneran tobat kan? Terus nikahnya kapan? Paling tidak tunjukkan dulu mana pacarmu?” desak Ethan.
“Kenapa juga aku harus memaksakan diri punya pacar dan menikah, hanya untuk membuktikan hal tidak penting seperti itu? Kamu kan juga tahu, sebelumnya aku pernah punya beberapa pacar wanita.” sanggahnya sinis, tapi bukan Ethan kalau tidak ngeyel orangnya.
“Jangankan cuma pacaran, yang sampai nekat dinikahi cuma untuk menutupi perilaku menyimpangnya saja banyak kok.” sindir Ethan terang-terangan menatap kakaknya curiga.
“Kalau tidak percaya ya terserah. Tetapi, apa yang sudah aku ucapkan di depan mendiang mama pasti akan aku tepati. Lagipula aku tidak ingin mengecewakan Elina. Meski dia tidak pernah mencela, tapi aku ingin jadi kakak dan om yang bisa untuk panutan.”
Ada senyum tersungging di bibir Ethan mendengar perkataan kakaknya. Setidaknya mama mereka tidak mati sia-sia, karena di detik-detik terakhir hidupnya masih bisa menuntun anak sulungnya itu kembali ke jalan semestinya.
“Than .…”
“Apa?” sahut Ethan.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Apa hilangnya Ivan ada hubungannya denganmu? Aku bukannya mengkhawatirkan dia, tapi tidak ingin kamu bertindak sejauh itu” Aryan kembali menanyakan soal itu ke adiknya.
Ethan tampak gamang. Dia tentu saja tahu seperti apa nasib kucing belok mantan peliharaan kakaknya itu sekarang.
“Musuh Ivan bukan hanya kita, dan terakhir dia sudah salah mencari lawan. Paham maksudku kan? Mereka tidak mungkin tinggal diam, setelah apa yang Ivan lakukan pada Luna hingga membuatnya keguguran.” jawab Ethan sebelum kemudian pergi dari sana.
Aryan duduk termangu. Meski Ethan tidak menjelaskan secara gamblang, tapi dia yakin Ivan tidak mungkin selamat dari tangan mereka. Dan kalau memang begitu, dia justru bersyukur kematian mamanya sudah terbalaskan.
Tatapannya kembali jatuh ke lembar surat perjanjian di atas meja, lalu meraihnya. Amara Bella, dia mengulum senyum menatap bubuhan tanda tangan di atas materai gadis itu.
“Dasar bodoh!” gumamnya dengan wajah puas.