Ini kali pertama Aryan mengajak Mara keluar. Mungkin karena itu juga dia terlihat rikuh duduk berdekatan dengan bosnya. Padahal sejak naik ke mobil, Aryan terlihat fokus menyetir. Tidak lagi usil dengan pertanyaan aneh, atau kelakuannya yang menyebalkan. Suara alunan musik menjadi satu-satunya peluntur suasana kaku selama perjalanan, karena tidak ada yang memulai bicara.
Sampai kemudian Mara meringis saat ponselnya terdengar berdering. Bingung mau diangkat atau tidak, karena sungkan ada bosnya di situ.
“Angkat!” ucap Aryan tanpa menoleh.
Mara buru-buru mengambil ponselnya dari dalam tas. Namun, dia justru semakin salah tingkah begitu melihat nama pacarnya yang muncul di layar.
“Berisik, Ra!” dengus Aryan.
“Maaf,“ gumam Mara malah mereject panggilan masuk di ponselnya, dan membalas dengan mengirimkan pesan.
Sayangnya sebelum pesan terkirim, ponselnya kembali berdering. Daripada bosnya sewot, Mara pun terpaksa mengangkatnya dengan suara berbisik.
“Halo, Beb!”
Panggilan sayang Mara saat mengangkat teleponnya itu meski pelan, tapi masih terdengar jelas di telinga Aryan. Bukan niatnya mau menguping, tapi jarak mereka begitu dekat mana mungkin tidak mendengarnya. Tanpa bertanya pun dia tahu, pasti pacarnya yang sedang menghubungi gadis itu.
“Nanti? Jam berapa?” tanya Mara.
Aryan sempat melirik sekilas. Senyum tersungging di bibir Mara, entah mau diajak kemana oleh pacarnya sampai sebahagia itu. Tanpa sadar Aryan menggeleng dengan decihan pelannya. Dia masih bisa maklum, namanya juga bocah yang baru kenal apa itu cinta.
“Ok, nanti jemput aku jam tujuh. Bye!” ucapnya setengah berbisik, lalu buru-buru menyimpan kembali ponselnya.
Hening, Mara mencuri pandang ke bosnya yang masih diam dengan muka lempengnya. Mereka yang selama ini memuja Aryan Jarvis mana tahu, kalau sebenarnya pria yang dikira sempurna ini begitu menyebalkan. Irit ngomong, tapi sekalinya mangap bikin sakit hati. Belum lagi kelakuannya yang kadang aneh dan kekanakan itu benar-benar menguji kesabaran Mara.
Kalau boleh memilih, dia lebih senang magang di lantai tujuh berbaur dengan pegawai lain yang ramah. Daripada dianggap beruntung naik jabatan bisa kerja bareng pak bos, tapi malah makan hati. Ini definisi salah yang katanya beruntung seperti dapat durian runtuh. Enak nggak, bonyok iya.
Mobil berhenti di area parkir gedung kantor Asastra. Mara segera turun mengikuti bosnya yang berjalan di depannya. Ini pengalaman pertamanya bekerja dan mendampingi atasan meeting, jadi Mara juga tidak paham harus bagaimana selain mengekor di belakang Aryan. Ketika masuk lift, Mara yang berdiri di samping Aryan memberanikan diri buka mulut.
“Soal di lift waktu itu, Bapak tidak menaruh dendam ke saya kan?”
Diam-diam Aryan mengulum senyum. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana, sambil membayangkan lagi kejadian konyol waktu itu.
“Yang katanya polos, ternyata ganas juga. Dengan yang tidak kenal saja kamu asal main tubruk dan peluk, apalagi sama pacar kamu.” cibirnya.
Mara menghela nafas kasar. Sumpah, dia menyesal sudah menyinggung lagi soal itu. Padahal niatnya ingin menjelaskan kronologinya, biar bosnya tidak berpikir yang aneh-aneh dan dia juga tidak canggung lagi atas insiden itu.
“Kalau Bapak mikirnya begitu ya terserah. Toh, saya juga tidak butuh pengakuan baik dari orang lain. Saya cuma merasa tidak enak hati ke Bapak atas kejadian itu. Maaf, waktu itu saya bangun kesiangan. Saking paniknya dan takut terlambat, jadi salah masuk lift.” jelasnya dengan muka keruh menahan kesal.
“Kamu bukan cuma salah masuk lift, tapi menubruk dan tiduran di atas saya.” timpal Aryan ketus.
“Coba kalau saya bukan perempuan, Bapak pasti tidak akan mempermasalahkannya.” celetuk Mara saking jengkelnya.
Aryan menoleh dengan tatapan tajamnya. Persis seperti perkiraannya. Gadis itu juga akan seperti yang lainnya, menganggapnya kotor dan mungkin juga jijik berdekatan dengannya. Itu sanksi sosial paling menyakitkan yang harus orang seperti dirinya tanggung, meski sudah tobat sekalipun.
“Iya, harusnya memang begitu. Tapi, karena perempuan itu kamu, jadi aku akan terus mempermasalahkannya. Satu lagi yang harus kamu tahu, aku orangnya pendendam.” ucap Aryan sebelum kemudian melangkah keluar begitu lift sampai di lantai lima belas.
Mata Mara sudah memburam panas. Dia bilang juga apa, Aryan Jarvis sengaja memindahkan dirinya ke lantai atas supaya bisa membalasnya.
“Buruan! Jangan lambat seperti kura-kura!” seru Aryan seperti tahu Mara enggan mengikutinya.
Mara menghela nafas kasar, dadanya sesak bukan main. Percuma ganteng, tapi mulutnya pedas bukan main. Pendendam lagi. Entah bagaimana nasibnya setelah ini, apalagi waktu magangnya masih lama.
“Cengeng! Begitu saja mewek!” sindir Aryan saat menoleh dan melihat Mara mengusap air matanya.
Sudah, Mara tidak berniat menanggapinya lagi. Ujung-ujungnya dia yang harus sakit hati oleh lidah tajam pria menyebalkan satu itu. Sekretaris di depan ruangan direktur utama mempersilahkan mereka masuk. Muka jutek bosnya seketika berubah ramah begitu bertemu rekan bisnisnya.
“Lho, sekretarismu ganti, Yan! Dila kemana?” tanya pria yang Mara tahu bernama Singgih Gunawan itu.
“Nggak kok, mana mungkin asal ganti sekretaris. Aku sudah terlanjur cocok kerja sama Dila. Ini Amara, anak magang yang jadi asisten sementaranya Dila!” jawab Aryan santai, memperkenalkan Mara ke rekannya.
Sedang Amara yang duduk di samping Aryan mengangguk sopan, lalu mulai menyiapkan berkas yang tadi diberikan oleh Dila padanya.
“Wah, pasti punya kemampuan lebih sampai dipercaya jadi asisten sekretaris bos. Setahuku kalau magang tidak mungkin ditempatkan di bagian penting, apalagi sampai dibawa-bawa meeting sama pak bos.” ucap pria itu.
“Soal kerja dia cekatan dan gampang paham. Jadi aku pikir tidak masalah kalau memberinya kesempatan belajar lebih banyak, dengan membawanya datang saat meeting.”
Mara sampai mendongak menatap bosnya. Makin tidak paham dengan sifatnya yang seperti bunglon. Setelah tadi di lift bicara pedas hingga membuatnya mewek, sekarang bisa-bisanya dengan muka serius memujinya di depan rekan bisnisnya.
“Kerja bareng Aryan harus banyak sabarnya, Mara. Dia ini orang paling menyebalkan. Dulu saja sebelum ada Dila, dia sering bergonta-ganti sekretaris saking rewelnya dan apa-apa salah.” ucap Singgih Gunawan yang mendapat tanggapan tidak terduga dari Mara.
“Tahu kok,” sahutnya dengan nada ketus.
Singgih tertawa ngakak, sedang Aryan menoleh menatap Mara gemas. Ada seringai di bibirnya, entah pikiran jahat apalagi yang terlintas di kepala Aryan sekarang.
***
Tadinya Mara kira meeting itu tidak akan lama, tapi nyatanya sampai hampir jam tujuh bosnya baru mengajaknya pulang. Tidak, meeting mereka sebenarnya sudah selesai hampir dua jam yang lalu. Hanya saja dia justru asyik ngobrol dengan Singgih Gunawan yang ternyata adalah teman dekatnya. Mara yang sudah terlanjur janji dengan pacarnya minta dijemput jam tujuh tampak gusar bolak-balik mengintip jam.
Sebaliknya dengan Aryan. Kalau tadi saat datang mukanya butek dan mulutnya luar biasa pedas, sekarang dia terlihat berbinar senang. Apalagi setiap kali melirik Mara yang kelicatan seperti ingin buru-buru berlari pulang.
“Pak, ini nanti kita langsung pulang kan?” tanya Mara tidak sabaran setelah mereka sampai di lobi yang bahkan sudah mulai lengang ditinggal pulang para pegawainya.
“Kenapa?” Aryan pura-pura bertanya. Bibirnya berkedut mendapati muka masam gadis itu.
“Jam tujuh saya sudah ada janji mau menemani pacar saya ke pembukaan kafe milik temannya,” jawab Mara mengekor di belakang bosnya.
“Telat, lima menit lagi sudah jam tujuh.” lontar Aryan menatap puas jam tangannya.
“Tidak apa-apa telat sedikit, saya sudah kirim pesan minta dijemput di depan kantor sini.”
Mendengar itu langkah kaki Aryan tiba-tiba langsung berhenti dan berbalik. Mara yang di belakang sedang menunduk memeriksa ponselnya, meringis begitu menubruk lagi d**a bosnya. Tak hanya itu, dia melotot melihat ponselnya jatuh mental terbanting di lantai.
“Sial!”
Tanpa sadar dia mengumpat, lalu memungut lagi ponselnya. Namun, dia benar-benar mau menangis mendapati layarnya yang sudah retak dan tidak bisa dinyalakan lagi.
“Makanya kalau jalan lihat-lihat! Sudah salah, mengumpat lagi!” tegur Aryan menatap tanpa sedikitpun kasihan.
“Bapak sih, kenapa tiba-tiba berhenti!” omel Mara dengan mata memerah menatap bosnya sengit.
“Maksudmu aku yang salah, gitu?!” ucap Aryan membalas tatapan Mara tajam.
“Bapak ngeselin, iihh!” dengusnya sambil berlalu keluar lebih dulu.
Aryan berbalik, menatap punggung Mara yang berjalan sambil menunduk masih berusaha menyalakan ponselnya yang rusak. Jahatnya lagi, dia justru tersenyum di atas musibah gadis itu. Melihat Mara sejak tadi gusar mengintip jam dan sibuk mengetik di ponselnya, malah membuatnya senang bukan kepalang.
“Buang saja! Rusak gitu mana mungkin bisa menyala lagi,” ucapnya saat menyamai langkah Mara.
“Nanti kalau pacar saya telpon, gimana? Dia bilang sampai sini mau telpon lagi. Kan nggak tahu saya di sebelah mana,” racau Mara curhat ke Aryan, tanpa tahu semua adalah ulah sengaja dari bosnya.
“Biarpun ponselmu bisa menyala lagi juga percuma. Kamu tetap tidak bisa pergi dengan pacarmu, karena setelah ini harus lembur membantu pekerjaanku.” sahut Aryan.
“Lembur?!” seru Mara melongo kaget.
“Iya, lembur. Kenapa? Kamu keberatan membantuku?” tanya Aryan kembali menghentikan langkahnya menatap muka cengo Mara yang seperti orang kena prank. Lucu sekali.
“Lembur apa? Ini kan sudah jam tujuh, Pak. Terus kenapa nggak bilang dari tadi? Tahu begini saya kan tidak menyanggupi ajakan pacar saya. Bapak gimana sih!” omelnya kesal.
Ya jelas kesal, bahkan mata Mara sudah berkaca-kaca saking jengkelnya. Bukan cuma karena seharian bosnya terus bikin ulah yang menguji kesabarannya, tapi juga mulut pedas dan sikapnya yang seenaknya sendiri begini. Ditambah ponselnya rusak gara-gara terbanting setelah menabrak dadanya yang keras. Sumpah, Mara ingin sekali mencakar muka datarnya yang seolah tidak merasa bersalah itu.
“Kok jadi kamu yang ngomel ke bos? Aku mana tahu kamu sudah ada janji dengan pacarmu! Kalau tidak mau bantu ya sudah. Kencan sama pacar memang lebih penting kok daripada menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan. Mungkin memang begini aslinya kamu. Tidak konsisten pada tanggung jawab kerja!” ucap Aryan sengit, lalu bergegas keluar.
Mara berdiri mematung dengan air mata mengalir. Kenapa nasibnya jadi sial setelah bertemu pria arogan satu itu.
“Awas kamu ya! Dasar perjaka tua! Pantas saja tidak laku, mulut pedas kayak habis ngunyah cabe sekilo!” gumamnya menyumpahi Aryan yang melangkah menuju mobilnya.
Mara hanya bisa pasrah menyusul bosnya. Meski pacarnya nanti pasti marah tidak menemukannya saat menjemput kesini, tapi itu bisa diurus belakangan. Dia tidak ingin hari-hari magangnya di Jarvis grup akan semakin sulit, karena pria pendendam satu itu terus berulah.
“Katanya mau kencan?” cibir Aryan dengan seringai puas saat Mara naik ke mobilnya.
“Kalau nggak jadi lembur saya turun saja lagi!” sahutnya melengos kesal.
Aryan mengemudikan mobilnya sambil menggigit bibir menahan tawa geli melihat Mara yang ngambek. Lembur? Menemaninya mampir makan malam ke rumah adiknya, bagi Aryan itu juga termasuk lembur.