“Tunggu!”
Pintu lift sudah mulai menutup saat Aryan yang berada di dalamnya mendengar teriakan itu. Semua terjadi begitu cepat. Matanya sempat mengernyit melihat seorang gadis berlari kencang dan menerjang masuk, lalu menubruknya dengan sangat keras.
Pintu tertutup sempurna, sedang Aryan jatuh terjungkal tertimpa sosok asing yang meringkuk di pelukkannya. Hening, keduanya justru terdiam tanpa berani bergerak dengan jantung berdegup kencang. Nafas terengah gadis itu setelah berlarian menerpa telinga Aryan. Wangi menguar di hidungnya yang nyaris mencium kulit putih leher di hadapannya. Sialnya lagi, gadis itu jatuh terduduk tepat di itunya hingga Aryan tidak berani berkutik.
“Apa-apaan, kamu!” bentak Aryan meringis dengan perasaan meremang.
“Maaf,” ucapnya buru-buru bangun.
Namun, entah bagaimana ceritanya gadis itu justru limbung. Aryan yang mendongak hanya bisa melongo tanpa sempat menghindar, saat wajahnya tertimpa dua bongkahan kenyal d**a gadis itu. Naasnya lagi, kepala Aryan juga membentur keras dinding lift di belakangnya.
“Aughh …,” rintih gadis itu meringis kesakitan setelah kembali terhempas jatuh menelungkup di atas tubuh Aryan.
“Sial!” geram Aryan dengan tubuh kaku. Bukan masalah beratnya, tapi jantungnya mau meledak tertindih dua gunung gadis itu.
“Maaf, saya tidak sengaja.” ucapnya panik sambil bangun dengan wajah meringis seperti menahan sakit.
Aryan beranjak berdiri sambil meraba kepala belakangnya yang berdenyut pusing. Ingin marah, tapi tidak tega melihat gadis itu sudah pucat menahan malu. Matanya menatap awas kartu identitas yang tergantung di lehernya itu. Amara Bella, anak magang rupanya. Pantas saja tidak tahu kalau ini lift khusus untuk para petinggi perusahaan.
“Lantai berapa?” tanya Aryan.
“Tujuh,” jawabnya pelan, lalu dengan terseok dan wajah meringis melangkah menekan tombol disana.
Padahal Aryan tidak pasang muka galak, tapi gadis itu berdiri di dekat pintu tanpa berani menoleh. Entah karena sadar sudah salah naik lift, atau malu dengan kejadian tadi. Bibir Aryan berkedut menatap sosok kurus yang nyatanya bisa seperti banteng menubruknya sampai jatuh terjungkal.
Namun, senyumnya seketika sirna begitu matanya hinggap di leher jenjang yang tadi sempat membuat nyaris tidak bisa bernafas. Untung saja lift sampai di lantai tujuh, sebelum Aryan mengingat hal konyol lain yang baru saja terjadi disana. Begitu pintu terbuka, gadis itu pun bergegas keluar. Masih dengan langkahnya yang sedikit terseok.
“Dasar bocah!” gumam Aryan tanpa sadar tertawa pelan, tapi kenapa dia malah meraba dadanya.
“Sial!” umpatnya dengan muka panas segera keluar dari lift yang sudah sampai di lantai ruang kerjanya.
“Selamat pagi, Pak! Ada tamu di dalam,” ucap sekretaris Aryan begitu melihat bosnya datang.
“Siapa?” tanya Aryan menghentikan langkahnya sejenak.
“Dia bilang kakaknya Pak Ivan.”
Aryan menggeram, tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Beraninya kakak si Ivan datang mencarinya, setelah apa yang adiknya lakukan.
“Kenapa dibiarkan masuk?!” serunya kesal.
“Pak Ethan yang membawanya masuk, karena tadi sempat bikin ribut di lobi.” jawab Dila, sekretaris yang sudah lama bekerja untuk Aryan dan tahu rahasia gelap bosnya itu. Termasuk hubungan terlarang Aryan dengan Ivan yang dulu pernah bekerja di Jarvis grup.
Dengan langkah lebar Aryan bergegas masuk. Susah payah dia menutup lembar kelam masa lalunya, sekarang justru ada yang mulai menyeruak keluar mencoba mengungkitnya lagi.
“Dicari mantan iparmu!”
Aryan tidak peduli sindiran ketus dari adiknya yang duduk di sofa berhadapan dengan tamu tak diundangnya itu. Safira, kakak perempuan Ivan. Pria yang pernah bersamanya hingga dua tahun lebih. Bahkan, Aryan juga membawa Ivan bekerja di Jarvis grup dan memberinya posisi mentereng. Sebelum kemudian konflik muncul di antara mereka, dan Ivan melakukan hal tak terduga yang menghancurkan hidup Aryan dan keluarganya.
“Mau apa kamu kesini?” tanyanya tanpa basa basi lagi.
“Dimana adikku? Sudah enam bulan lebih Ivan menghilang dan tidak bisa dihubungi. Jangan bilang tidak tahu! Karena kamu yang terakhir berhubungan dengan dia,” cecar Safira penuh selidik.
“Kalau begitu kamu juga pasti tahu, perbuatan terkutuk apa yang sudah adikmu lakukan! Kalau aku tahu pria sialan itu dimana, pasti sudah aku bunuh dia!” balas Aryan menatap Safira sengit.
“Ivan tahu persis mamaku punya penyakit jantung kronis, tapi sengaja datang ke rumah dan membongkar semua tentang hubungan kami. Kamu pikir setelah dia membunuh ibuku, aku masih peduli padanya?! Bagaimana bisa kamu masih punya muka datang kesini menanyakan soal adikmu!” sahut Aryan dengan muka menguar emosi.
Safira terdiam, dia tentu saja tahu apa yang sudah Ivan lakukan pada mama Aryan. Namun, datang ke Aryan juga jadi pilihan terakhirnya setelah sekian lama tidak menemukan adiknya yang tiba-tiba menghilang.
“Maaf, tapi aku tidak tahu lagi harus bertanya ke siapa. Apartemennya kosong, juga tidak ada petunjuk apapun untuk menemukan Ivan.”
“Mungkin saja dia sengaja menghilang karena ingin menikmati sendiri uang hasil memeras kakakku, tanpa harus berbagi denganmu. Bukankah selama ini kamu juga selalu datang meminta jatah. Jangan sok polos! Aku sudah tahu semua belang kalian,” ucap Ethan tersenyum sinis.
Aryan menoleh, tidak menyangka kalau adiknya ternyata mencari tahu soal Ivan sampai sejauh itu. Sedangkan Safira tertawa terkekeh, tidak malu lagi menunjukkan wajah aslinya setelah boroknya dikuliti oleh Ethan.
“Kamu dan adikmu sama busuknya. Dia mendekati kakakku hanya demi uang dan memperoleh jabatan tinggi di perusahaan kami. Sedangkan kamu, ikut menikmati apa yang dia dapat dari kakakku. Kalian berdua lintah menjijikkan!” lanjut Ethan dengan suara gemetar menahan amarahnya.
Wajar, karena dia yang paling dekat dengan mamanya. Bahkan hubungan dengan kakaknya sempat renggang, karena Ethan menyalahkan Aryan atas kematian mama mereka.
“Bagaimana bisa dibilang memanfaatkan, sedang selama berhubungan kakakmu juga mendapat apa yang dia ingin dari adikku. Bukankah itu adil? Mana ada yang gratis!” lontar Safira sampai membuat Aryan yang mendengarnya menggeram marah.
“Tidak usah banyak mulut! Apa maumu sebenarnya? Kalau niatmu memang mencari Ivan, mana mungkin menunggu sampai enam bulan lebih dia menghilang kamu baru datang bertanya!” sahut Aryan sudah habis kesabarannya.
“To the point, aku suka itu. Saat membereskan apartemen Ivan, aku menemukan flashdisk berisi foto-foto bagus. Apa kamu tertarik untuk membelinya?” tanya Safira dengan seringai jahatnya.
Mendengar itu tubuh Aryan seperti tersengat. Dia sangat paham foto apa yang Safira maksud. Hal yang membuat Aryan semakin sadar, Ivan ternyata telah menyiapkan semua untuk menjebaknya.
“Kamu pikir bisa memerasku!” bentaknya keras.
“Aku hanya menawarkan. Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Pihak media pasti akan berebut membayar dengan harga pantas, untuk skandal menjijikkan pimpinan Jarvis grup.”
Ancaman Safira membuat Aryan murka. Dia menendang keras meja di depannya hingga cangkir kopi di atasnya tumpah tidak karuan. Wajah tampan blasterannya itu tampak merah madam. Saat dia sudah kembali ke jalannya, memulai hidup baru sesuai janjinya di depan sang mama di akhir hidupnya, orang tidak tahu malu ini datang ingin menghancurkan segalanya.
“Adikmu sudah mendapatkan segalanya dariku, dan dia membalas ketulusanku dengan membunuh mamaku. Aku sudah berbaik hati tidak ikut menyeretmu dalam masalah ini, tapi sekarang kamu malah datang mengusik kami lagi. Uang sudah membuat kelakuan kalian seperti binatang.”
“Terima kasih, aku anggap itu sebagai pujian. Jadi bagaimana? Kamu tertarik atau tidak?” balas Safira masih memamerkan senyum, tidak gentar sedikitpun menghadapi amukan Aryan.
“Tidak! Sepeser pun jangan harap bisa mendapatkan uang dari kami!” sahut Ethan tegas.
Kali ini dia tidak akan membiarkan kakaknya salah langkah lagi, dan diperas orang-orang licik seperti Ivan dan Safira.
“Ethan .…”
“Bang Aryan tenang saja, dia hanya menggertak. Nyalinya tidak sebesar itu untuk bermain-main dengan kita,” ujar Ethan menatap datar wajah tidak senang Safira.
“Kamu menantangku!” ucap kakak Ivan membalas tatapan Ethan.
“Aku pun memegang kartumu, Mami Safir. Tahu persis bagaimana cara memesan ayam peliharaanmu, dan dimana biasanya kalian mangkal.”
Bukan hanya Aryan yang kaget mendengar perkataan Ethan, Safira bahkan tampak pucat pasi. Tidak, Ethan bukan cuma menggertak. Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu ke Safira yang membuat wanita itu semakin tidak berkutik.
“Pakai otakmu sebelum cari musuh! Kamu pikir aku bisa duduk tenang, dan tertawa senang sebelum bisa membalas kematian mamaku.” ucap Ethan sambil menunjuk ke kepalanya sendiri.
“Jadi benar, hilangnya adikku ada hubungannya denganmu. Dimana Ivan sekarang?” tanya Safira setengah berteriak dengan mata melotot lebar.
“Adikmu yang hilang, kenapa malah tanya ke aku? Aku pria normal, tidak tertarik menyimpan kucing belok bekas banyak orang seperti dia.” cibir Ethan dengan senyum mengejeknya.
“Mulut sialan!” teriak Safira mengumpat keras tidak terima adiknya dihina.
Aryan terdiam, bungkam. Menatap adiknya lekat dengan beribu pertanyaan yang kini berkecamuk di kepalanya. Benarkah menghilangnya Ivan ada hubungannya dengan Ethan? Semua bukan tidak mungkin, karena Aryan sangat tahu seperti apa lingkup pertemanan adiknya sekarang. Mereka, orang-orang yang bisa menghancurkan tanpa harus menyentuh.
“Jangan coba-coba menyulut api dengan kami, kalau tidak ingin hangus terbakar seperti adikmu. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengobrak-abrik keluarga dan juga hidupmu, kalau kamu masih mencoba mengusik kakakku. Jangan pikir bisa menguras uangnya seperti yang sudah adikmu lakukan dulu. Itu tidak akan pernah terjadi lagi!” ujar Ethan kembali memberi wanita tidak tahu diri itu peringatan.
“Sekarang aku yakin hilangnya Ivan ada hubungannya dengan kalian, jadi jangan harap aku juga akan tinggal diam!” ucap Safira sebelum kemudian pergi dari sana.
Aryan menghela nafas panjang, menghempas punggungnya kasar ke sandaran sofa. Kedatangan Safira seperti mengulik luka lama saat dia terpuruk rasa bersalah atas kematian mama mereka yang mendadak, karena kelancangan Ivan. Itu hukuman paling menyakitkan untuk kesalahan terbesarnya sudah tergoda menggeluti dunia kotor. Sekaligus, menjadi titik balik dia mantap melepas kehidupannya yang menyimpang itu.
“Than .…”
“Apa?” sahut adiknya ketus.
“Ivan, kamu apakan dia? Apa dia masih hidup?” tanya Aryan, tetap berharap adiknya tidak bertindak sejauh itu.