13. Ajakan Menikah

2395 Kata
Mengenakan gaun dengan warna serasi—biru tua—sepasang saudara sepupu itu tampak percaya diri menghadiri resepsi mewah yang digelar oleh Ghibran dan Ghina di sebuah hotel berbintang lima. Meskipun sesekali bibir Elya masih saja mengomentari warna gaun yang jauh dari pilihannya. Elya bertanya mengenai warna abu-abu, Dana justru memutuskan memilih gaun warna biru tua saja! Ishh, jika keputusan kembali ada di tangan Dana, lalu untuk apa pria itu menyeret Elya mendatangi butik? “..buang-buang tenaga aja!” rajuk Elya yang masih saja berlanjut sampai dengan keduanya memasuki gedung hotel mewah ini. Dana yang sejak tadi menahan dirinya untuk tidak marah ataupun kesal, pada akhirnya terpancing juga. Kesabarannya menghadapi Elya ternyata masih harus terus dilatih. “Elya? Bibirmu tidak lelah sejak tadi mengoceh terus..” “Nggak, tuh!” “Kenapa? Kamu tidak suka dengan warna gaun yang saya pilih?” “IYA! Nggak suka! Gelap warnanya. Kulitku ‘kan putih, sayang aja kalau pakai gaun warna gelap. Biasanya aku itu cocoknya pakai gaun warna abu muda, merah muda, atau kuning!” Tak mau ambil pusing dengan segala pernyataan Elya yang menurut Dana hanya berupa opininya pribadi, karena bagi Dana—kulit Elya tetap tampak cerah meskipun memakai gaun berwarna gelap. Bahkan menurut pria itu, gaun di seluruh negeri ini akan selalu cocok apabila melekat pada Elya, karena pemakainya adalah Elya. Gadis yang bertubuh seksi dan juga mempunyai kulit bersih, mulus, terawat. Dana yang saat ini tengah memijat dahinya itu iseng menyeletuk, “Ya sudah kalau kamu tidak suka. Lepaskan gaunmu itu!” “Kepala saya pusing kalau dengar kamu mengoceh terus,” lanjutnya yang mulai kebakaran jenggot. Memangnya hanya Elya saja yang bisa marah, Dana juga bisa! Bukannya berusaha menyuguhkan suasana adem di saat yang satunya turut terpancing emosi, Elya justru semakin menjadi. Kalian lupa bagaimana watak Elya? Meskipun sudah mengalami perubahan sedikit demi sedikit, tetapi ketika di hadapkan pada situasi seperti ini, Elya tentu saja tidak akan dengan mudah bisa mengalah/terkalahkan oleh sag sepupu. Enak saja! Di samping Dana, Elya secara terang-terangan melucuti lengan sabrinanya yang sebenarnya sudah rendah. Seketika itu juga Dana memekik, “ELYA, APA YANG KAMU LAKUKAN!?” “Katanya suruh lepas gaun?” tanyanya dengan super polos. Dalam hati Elya berteriak gembira. Ia menang! Dana bukan tandingannya. Sorry. “Saya pikir kamu sudah berubah, Elya. Ternyata sesekali setann dalam dirimu masih kerap muncul.” Nada bicara Dana saat ini begitu rendah, sindirannya juga terlampaui tajam sampai-sampai menyebut kata ‘setann’. Pasti saat ini Dana tengah menahan amarah yang menggunung. Elya hafal! Bahkan saat tangan Dana bergerak membenahi tata letak gaunnya, Elya hanya terdiam di posisinya berdiri. Jujur saja, seketika kakinya lemas. Andai di hadapannya Ghibran, sudah pasti Elya akan jatuh ke dadaa pria itu. Tetapi sayang seribu sayang, pria yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Dana. Tangan pria itu perlahan namun pasti bergerak merapihkan gaun mewah Elya sampai kembali pada bentuk asalnya. “Jangan membuat saya marah dengan tingkah konyol kamu, Elya.” Dana kali ini memberikan peringatan tegas pada Elya. Sembari tangannya di bawah sana ternyata sedang mencengkeram erat tangan Elya. “Sakit..” ringis Elya. Tapi Dana mengabaikannya, ia malah meletakkan tangan Elya dengan kasar di lengannya. Bermaksud memberikan kode pada Elya agar memeluk lengannya. Untung saja kali ini Elya menurut. Tangan mungilnya mengapit lengan Dana. Keduanya berjalan kembali menuju titik pasti digelarnya resepsi mewah pernikahan Ghibran. Sampai mereka tiba di tengah-tengah resepsi mewah tersebut. Baru saja pandangan Dana bertemu dengan Ghibran di depan sana. Kini kedua pria itu berjalan saling menghampiri. Akan tetapi Elya justru menahan pergerakan Dana yang hendak menghampiri Ghibran. “Kenapa?” “Aku nggak mau ketemu dia.” “Kamu di samping saya, Elya. Apa yang kamu khawatirkan? Tidak apa-apa. Ada saya. Kamu harus memberikan ucapan selamat pada Ghibran atas pernikahannya.” Elya menggeleng lemah. “No..” “Senyum lebar, Elya..” titah Dana yang tidak dituruti oleh Elya kali ini. Ternyata Ghibran sudah berdiri di hadapan mereka berdua dengan sosok Ghina yang mengapit lengan pria itu. Hati Elya semakin panas saja. Ada rasa iri dan dengki yang terasa dalam hatinya karena mendapati Ghina-lah yang sudah SAH menyandang status sebagai Nyonya Ghibran. Andaikan saja Elya bisa mendapatkan hati Ghibran. Mungkin yang saat ini berdiri di samping Ghibran bukan Ghina. Melainkan dirinya. Menyebalkan! Elya ingin melempari gaun mewah Ghina dengan menggunakan kue pernikahan mereka yang sialnya sangat besar dan dihias dengan begitu indah itu! Tidak rela hati Elya! Ia sudah seperti seorang istri pertama yang menyaksikan suaminya menikah lagi.. Khayalan Elya semakin liar saja. Sampai-sampai matanya memanas, dan pada akhirnya ia menunduk. Air matanya tak bisa tertahan, dengan sialnya jatuh ke lantai begitu saja. Siial-siall!! “Selamat menempuh hidup baru, Ghibran, Ghina.. Semoga kalian berdua bahagia selalu,” ucap Dana sembari bersalaman tangan dengan kedua mempelai pengantin. Mendapati Elya hanya menunduk, Dana berusaha menyenggol lengan Elya dengan lengannya. Sampai mau tidak mau Elya mengangkat kepalanya. Untung saja air mata Elya tidak sampai membasahi pipinya. Sayang sekali makeupnya yang sudah ditata sedemikian cantik ini! Hmm, bahkan gadis itu merasa dirinya jauh lebih cantik daripada istri Ghibran! “Elya, saya senang kamu datang.” ‘Aku yang nggak senang! Dasar Wanita Perebut! Aku benci banget sama kamu!!’ Kemarahan dan makian Elya hanya mampu tersuarakan melalui batinnya. Tentu hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri. Perempuan yang baru saja menyapanya dengan hangat itu tentu tidak akan mendengar. Mencoba menunjukkan sisi queennya yang tentu sepaket dengan sisi berkelas. Elya dengan santai mengulurkan tangannya pada Ghina, lalu pada Ghibran. Gadis itu tidak langsung melepaskan tangannya dari tangan Ghibran, Elya masih menahan tangan Ghibran di genggaman tangannya. “Mas Ghibran semoga bahagia selalu, ya.. Kalau kangen sama Elya, masih boleh kok..” “Boleh ‘kan, Mbak Ghina?” Kini gadis itu justru terang-terangan bertanya pada Ghina. Sangat konyol menurut Dana! Bukan keberanian lagi yang coba Elya tunjukkan. Tetapi lebih mirip wanita murahann. Dana kesal setengah mati. Ingin sekali Dana menyeret Elya keluar gedung dan langsung menghardiknya di sana. Akan tetapi ia tahan saat mendapati Ghina justru tersenyum tipis. “Eh..hmmm, i—iya. Kalian ‘kan teman.” Untung saja wanita itu waras dan tidak terlalu mengambil hati tentang pertanyaan ngawur Elya barusan. Justru Ghina seolah menanggapi Elya dengan tingkahnya yang menunjukkan bahwa ia memang wanita berkelas. Dana memuji pilihan Ghibran. Pria itu tidak salah dalam memilih pendamping hidup. “Ekhm, maaf Elya. Sepertinya ucapan kamu barusan berlebihan. Kamu hanya bercanda ‘kan?” Ghibran pada akhirnya bisa melepaskan genggaman tangannya dari tangan Elya. Ia merasa lega. Kemudian menoleh untuk menyaksikan bagaimana raut wajah Ghina. Apakah istrinya itu kesal? Syukurlah..ternyata Ghina biasa saja. Seolah ia sudah paham dengan tingkah nyeleneh Elya kepada Ghibran selama ini. “Oh iya! Cuman bercanda, kok, Mbak Ghina. Kalem, Mbak..” Ghina tertawa kecil, “kamu lucu Elya.” ‘Lebih lucu lagi kalau suatu saat nanti aku bisa ngerebut Mas Ghibran dari sisi kamu, Mbak!’ Mencuri pandangnya ke samping, lebih tepatnya pada wajah Elya. Dana seketika mendapati raut wajah sang sepupu begitu antagonis. Seperti sedang membatin sesuatu. Sepertinya sudah cukup mereka berempat bercengkerama. Jika dilanjutkan, Dana tidak yakin Elya hanya anteng. Gadis itu pasti akan berulah. Memang pada dasarnya Elya tidak bisa diberikan sikap lembut darinya, barang sedikit saja. Karena akan sama, berujung sebuah pemberontakan yang tidak terduga. Semakin menjadi istilahnya! Baik Elya maupun Dana pada akhirnya menuju tempat makan prasmanan. Elya mengambil makan sesuka hatinya, tanpa peduli dengan apa yang baru saja ia lakukan. Dana tentu tidak tinggal diam. Tatkala keduanya sudah duduk berhadapan untuk menyantap hidangan lezat itu, bibir Dana lantas menyunggingkan senyum miring. “Cara kamu rendahan, Elya.” “Hah?” Elya tentu tidak paham. Sebelumnya tidak ada perbincangan yang terjadi diantara mereka. Tiba-tiba Dana berucap demikian. Mana langsung menyentil hati Elya. Elya sampai tidak habis pikir! Ting! Terdengar suara keras dari sendok yang Elya letakkan secara kasar di piringnya. Bahkan belum ada sesuap nasi pun yang masuk ke dalam mulut Elya. Selera makannya hilang seketika. Ia yang sebenarnya sejak tadi sudah sensitif, kini justru semakin menjadi. “Apa, sih, Mas!? Perasaan kamu cari masalah mulu, deh, sama aku!” “Saya tidak suka dengan ucapan kamu saat bersama dengan Ghibran dan Ghina tadi, Elya. Kamu harusnya bisa berpikir sebelum berucap seperti itu tadi.” Bukannya menyadari kesalahannya, Elya justru sangat santai mengibaskan rambutnya ke belakang. “Duh, maaf, Mas Dana. Pikiranku udah nggak ditempatnya.” Dana melotot dibuatnya. Semakin dongkol ia pada Elya yang semakin tidak bisa dikendalikannya. Kemana Elya yang penurut dan manis seperti tadi siang? Terbawa angin kencang malam ini sepertinya. Tidak berhenti di situ saja. Elya masih terus melancarkan aksinya. Ia bangkit dari duduk manisnya, “sekarang aku nggak napsu makan. Aku mau pulang.” Elya dengan gerakan cepat lantas melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan gedung resepsi pernikahan keramat ini. Tak mempedulikan sama sekali teriakan Dana di belakang sana. Biarlah pria itu mencari pasangan kondangan lainnya.. Pulang dengan menaiki taksi online, sampai di rumah Elya tentu masih diberondong segala macam pertanyaan dari kedua orang tuanya mengenai resepsi yang baru saja dihadirinya. Akan tetapi Elya bungkam dan langsung masuk ke dalam kamarnya, mengunci pintu kamarnya dari dalam. Setelahnya melempar tas dan juga melemparkan sepatu berhaknya ke sembarang arah. Ia berteriak, melampiaskan kekesalannya pada semua orang. Rasa-rasanya tidak ada yang mengerti dengan perasaan Elya yang tengah hancur lebur. Gadis itu menangis histeris. Sampai berlutut di lantai. Penampilannya sudah acak-acakan. Makeupnya sudah tidak lagi secantik tadi, ditambah rambutnya yang baru saja ia jambak, kini sangat berantakan. Elya persis orang yang sedang depresi. Bukan persis lagi, memang gadis itu sangat depresi.. “Elya!! Elya buka pintunya, Sayang! Ini Mama!” Tokkk..tok…tokk.. “Sayang, buka pintunya!” “Elya lagi pengen sendiri, Ma! Mama sama Papa tenang aja, Elya nggak bakalan bunuh diri kok!” “Elya kamu jangan bikin khawatir kami, Elya..” “Elya janji Elya nggak akan kenapa-kenapa, Pa!” Mencoba menarik napasnya agar stabil seperti sediakala. Elya lantas berteriak kembali, “Sekarang, biarin Elya sendiri!” Hingga suara di luar pintu kamarnya tidak lagi terdengar, barulah Elya kembali melanjutkan tangisnya. Tangis yang begitu menyayat hati sesiapa yang mendengarkannya. Elya sangat sakit, hancur, tidak berdaya, tidak rela dengan takdir burukk ini. Ia marah. Marah pada semuanya, termasuk Ghibran. Pyarrrr!! Elya melemparkan sepatu berhaknya sampai mengenai kaca, dan pecah. “Arrgghhhh! Kenapa bukan aku, Mas!?” Ia kembali bertanya-tanya pada heningnya malam. Perasaan Elya yang sudah hancur kini semakin tidak berbentuk. Menuruti permintaan Dana sama saja mengantarkan hatinya pada kehancuran yang lebih parah. Seharusnya Elya tidak perlu menghadiri pernikahan Ghibran dan Ghina tadi. Caranya yang kata Dana, ‘rendahan’ justru berhasil menghibur hati Elya dengan suatu kepuasan tersendiri. Elya yang tengah menangis itu seketika tertawa kencang. “Hahhahha, memangnya aku peduli dengan penilaian kamu? Tidak sama sekali! Kamu bukan siapa-siapa di dalam hidupku!” “Bukan siapa-siapa,” ulangnya yang mencoba menampik semuanya. Termasuk segala fakta yang ada. Terutama fakta yang sering menjatuhkan mentalnya selama ini merupakan saudara sepupunya sendiri. Andai Dana orang lain, sudah pasti Elya akan mengirim Dana santet! Tokkk…tokkk..tokkk.. “Elya, buka pintunya! Ini saya! Saya minta maaf, Elya!” Tokkk…tokkk..tokkk.. “Elya buka pintunya atau saya dobrak pintu ini!?” “Cih, aku tidak peduli.” Elya bangkit dari duduk melantainya. Ia justru berjalan santai menuju balkon kamarnya malam-malam seperti ini. Pasti hawa di sana sangat dingin, Elya ingin dipeluk oleh dinginnya malam agar ia lupa dengan rasa hatinya yang tengah mendidih karena semua orang. Gaunnya yang cukup terbuka, justru semakin memudahkan angin malam untuk masuk ke tulang-tulangnya. Hahh..Elya mendekap dirinya sendiri dalam kesunyian malam. Gubrakkk!! Elya yakin, Dana berhasil membuka paksa pintu kamarnya. Tapi gadis itu masih enggan beranjak dari posisinya berdiri yang tengah menghadap ke arah pemandangan malam pelataran luas kediamannya. Hingga.. Grep!! Sebuah pelukan hangat dari belakang membuat Elya lemas seketika. Ia yakin pelakunya adalah Dana. Tercium dari parfum khas Dana dan juga lengan pria itu yang masih mengenakan setelan jas berwarna seperti gaunnya. Kali ini Dana merasa aneh saat tidak mendapati pemberontakan dari Elya. Ia sekali lagi mencoba memastikan bahwa Elya baik-baik saja. Karena takutnya gadis itu sudah lebih dulu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Dana membalikkan tubuh Elya agar menghadap padanya. Tangannya lantas meraih kedua pipi Elya. Lirih Dana berkata penuh dengan penyesalan, “Maaf, Elya. Sekali lagi maafkan ucapan saya di pesta tadi.” “Untuk apa meminta maaf? Toh, benar ‘kan? Caraku rendahan..” “Elya..” “Ngapain Mas Dana masih ke sini? ‘Kan Mas Dana udah tau kalau aku pasti nangis dan ngurung diri.” “Saya ingin berada di sisi kamu. Setiap saat, setiap waktu, setiap menit bahkan detik.” “Ya sudah. Terserah.” Elya pun kembali membalikkan posisi badannya. Kini ia membelakangi Dana lagi. Dana sendiri tanpa segan kembali memeluk pinggang sang sepupu dari arah belakang. Berusaha menyenderkan punggung kecil Elya di dadanya. Tak peduli dengan apa yang seisi rumah pikirkan tentang interaksi mereka berdua yang terkesan intim ini. Yang jelas, Dana hanya ingin mengikuti kata hatinya—membawa Elya ke dalam dekapannya. Lain halnya dengan Dana, Elya justru merasakan kenyamanan yang membuat hatinya yang semula mendidih, kini perlahan sejuk. Gadis itu juga tidak segan untuk merebahkan punggung dan kepala bagian belakangnya ke dadaa Dana. Masa bodo! Yang penting ini posisi ternyaman Elya saat ini. Sembari masih terus menikmati angin malam. “Maafkan saya, Elya..” bisik Dana tepat di telinga bagian kanan Elya. Sontak Elya merasakan aliran darahnya semakin lancar mengalir. Tiupan napas yang berasal dari Dana saat berbisik, terasa bak sihir untuknya. Siaal! Elya masih mencoba menyadarkan dirinya bahwa pria yang saat ini bersamanya bukan Ghibran, melainkan Dana. Seharusnya ia tidak terbawa suasana. Norak! “Elya?” “Hm.” “Menikahlah dengan saya.” “Boleh-boleh saja. Asal kamu siapkan mahar paling sedikit 1M, Mas. Bagaimana?” “Saya serius, Elya. Soal mahar, kamu tenang saja—sudah siap semuanya.” “Beri aku alasan kenapa aku harus menerima ajakan kamu?” ‘Karena saya sangat menyayangi kamu, Elya. Saya sangat mencintai kamu. Sebagai seorang pria pada wanitanya, bukan pada sesama saudara sepupu.’ “Kamu harus bahagia. Agar Ghibran menyesal karena telah menyia-nyiakan kamu.” “Oke! Sepertinya memang hanya kamu orang yang tepat untuk mengupayakan segala kebahagiaanku, Mas. Aku terima tawaran kamu.” “Kamu s—serius?” Elya membalikkan badannya. Senyum lebarnya tampak nyata, meskipun matanya masih menyiratkan kesedihan yang teramat dalam. “Kapan kita menikah?” tanyanya sembari mengusap lembut dadaa Dana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN