Waktu yang berlalu tak terasa pada akhirnya mengantarkan Elya pada hari yang sangat amat dibencinya. Hari pernikahan Ghibran dan Ghina. Yang Elya tahu, keduanya melangsungkan akad di pagi hari, kemudian dilanjutkan resepsi mewah di hotel berbintang lima di malam harinya. Dua momen tersebut sama-sama bencana bagi Elya, akan tetapi sudah pasti momen yang sangat ditunggu sang mempelai pria dan wanita. Dirinya sudah mengurung diri sejak pagi di dalam kamar. Bahkan Elya izin tidak masuk kantor, dengan alasan sakit. Eva yang tahu keadaan hati Elya sedang tidak baik, tidak ingin terlalu bertanya-tanya dan hanya membiarkan Elya melakukan apapun yang gadis itu mau.
Perubahan Elya sudah cukup membuat keluarganya merasa mempunyai anak gadis yang normal. Baik Eva maupun Maher sangat senang dengan berbagai perubahan yang terjadi di dalam kehidupan Elya. Mungkin menyongsong usia dua puluh dua tahun, Elya mulai sedikit sadar dan mau memperbaiki semuanya. Sikap, tingkah, tindakan, dan apapun itu.
Di dalam kamarnya, Elya tidak hanya diam dan melamun. Dengan bodoohnya Elya justru menonton siaran langsung akad pernikahan Ghibran dan Ghina. Jikalau begini, maka sama saja menyiksa diri. Entahlah, gadis itu hanya penasaran. Secantik apa Ghina sehingga mampu merebut seluruh perhatian Ghibran yang selama ini sangat susah Elya dapatkan. Setampan apa Ghibran pada hari pernikahannya. Hmm, bolehkah Elya berhalusinasi bahwa gadis cantik yang duduk di samping Ghibran itu adalah dirinya?
Hati Elya semakin sakit saat semua orang mengucap kata ‘SAH’ bersama-sama.
Pupus sudah. Yang hancur semakin hancur. Seiring dengan tangisnya yang tak mau mereda, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar. Elya berteriak dengan suara serak, “Siapa!?”
“Saya, Mbak Atika, Non Cantik!”
“Kenapa Mbak!? Elya lagi nggak mau diganggu!”
Setelahnya tidak terdengar lagi suara ketukan pintu kamar, maupun suara Mbak Atika. Elya sempat lega. Tetapi kelegaannya lenyap seketika tatkala mendengar suara rendah Dana. “Saya tidak bermaksud mengganggu kamu. Boleh saya masuk?” Elya yakin, pria itu tengah menempelkan dirinya di pintu agar suaranya terdengar sampai dengan dalam kamar.
Siial!
Dana selalu saja muncul disaat yang tidak tepat. Di saat Elya terpuruk, dan tak ingin semua orang tahu—Dana justru selalu muncul. Entah sebuah kesialan ataukah akan berubah menjadi anugerah, Elya tak paham. Yang jelas ia menjawabi pertanyaan Dana barusan dengan sebuah teriakan. “Tunggu!”
Dengan gerakan cepat, Elya segera mengacir ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Mencuci wajahnya dengan sabun yang sepaket dengan skincarenya, tak lupa menggosok giginya agar wangi. Setelah selesai, ia berkaca di meja rias. Menyisir rapih rambutnya agar tidak terlihat mengenaskan. Meskipun kedua kantung matanya tidak bisa berbohong. Di sana, lingkar hitam merusakk pemandangan cantik wajah Elya. Mata sembab Elya karena habis menangis pun masih terpampang jelas. “Masa bodo! Lagian juga Mas Dana pasti tau gimana perasaanku sekarang,” gumam Elya meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak apa Dana tahu mengenai kondisi mengenaskan dirinya yang tidak bisa disembunyikan lagi.
Membuka pintu kamarnya, yang Elya dapati adalah tubuh tinggi tegap Dana yang sudah berdiri di sana. Pasti pria itu lama menunggu Elya. Tak apa, pria ‘kan memang biasanya selalu menjadi sosok yang paling setia dalam menunggu.
Kepala Elya celingukan mencari keberadaan Mbak Atika yang ternyata sudah tidak ada. Padahal yang pertama kali mengetuk pintunya dan meneriaki dirinya adalah Mbak Atika. Kemana wanita itu?
“Cari siapa?”
“Mbak Atika.”
“Mbak Atika balik ke dapur.”
“Oh..”
“..ekhm, ngapain ke sini? Aku udah izin nggak masuk kerja, lohh, Mas.” Elya mengingatkan Dana kembali. Karena setahu Elya, ia sudah melayangkan izin tertulis yang dikirimkannya melalui email sang sepupu. Apa masih kurang resmi bahasanya? Atau Elya tidak mendapatkan acc izinnya hari ini? Jika IYA, fiks Dana jahatt.
“………”
“Aku nggak boleh cuti? Barang sehari aja..” Nada bicara Elya memelan, melembut, berusaha mengambil hati seorang Dana yang memang selama ini selalu memandang rata Elya sama seperti karyawan lainnya di kantornya.
Tidak ada keistimewaan dan sebagainya, padahal Elya merupakan sepupunya sendiri. Sama sekali tidak ada. Itulah mengapa Elya selama ini juga merasa selalu nyaman, karena tidak pernah juga mendengar rekan-rekannya berbisik suatu hal yang burukk tentangnya di kantor.
“Kamu baik-baik saja, Elya?”
“Huh?” Elya mengernyit heran. Ia benar-benar tidak paham dengan pertanyaan yang barusan keluar dari bibir Dana. Setelah beberapa saat pria itu hanya membisu, Elya pikir Dana tengah menahan amarahnya karena Elya yang tiba-tiba izin tidak masuk kerja. Namun ternyata, pertanyaan Dana sungguh di luar ekspektasinya.
Pria itu justru menunjukkan raut wajah khawatirnya sembari bertanya tentang keadaan dirinya.
Elya merasa semakin menjadi orang yang menyedihkan, karena biasanya Dana tidak pernah bertanya seperti ini. Argghh, Elya tak suka!
“Kalau tujuan Mas Dana ke sini cuman buat mastiin kondisiku, AKU BAIK-BAIK SAJA. Silahkan Mas Dana pergi dari sini,” usir Elya secara terang-terangan, ia pun juga sengaja menekankan kata ‘aku baik-baik saja’ sebagai pertanda bahwa dirinya tidak ingin mendapatkan belas kasihan dari orang-orang di sekitarnya.
Tangannya bahkan sudah berniat untuk menutup kembali pintu kamarnya. Persetann dengan tingkahnya yang kembali pada tabiat awalnya. Yang jelas, Elya ingin sendiri. Mengurung diri di dalam kamarnya, menangis sekencang-kencangnya dan mengadukan nasib mirisnya ini pada sinar mentari yang tega-teganya secerah ini menyinari bumi. Sementara hatinya sedang mendung.
Tetapi pergerakan tangan Elya berhasil dihentikan oleh Dana yang lebih dulu sigap memeluk Elya. Membawa tubuh gadis lemah itu ke dalam dekapannya. Berusaha menyalurkan kehangatan kasih sayang yang nyata untuknya. Serta memberikan ruang bagi Elya untuk memperdengarkan tangis, keluh kesah, dan sebagainya yang mampu membuat Elya merasa lega.
“Jika kamu masih keras kepala menyimpan semuanya seorang diri. Maka jangan salahkan saya jika saya juga sama denganmu, keras kepala untuk berusaha mendengar segala keluh kesah sampai dengan segala tangismu. Luapkan, Elya. Maka dengan begitu kamu akan merasa lega dan jauh lebih baik..” tutur Dana panjang lebar, dan sangat manis. Sampai-sampai pemberontakan Elya di dalam dekapannya perlahan melemah. Sepertinya kata-kata manis Dana barusan berhasil meluluhkan hati Elya.
Elya merutuki dirinya. Ia mengingat betul siapa pria yang mengatakan kata-kata indah barusan—sepupunya sendiri!
Andai yang barusan bertutur adalah pria lain di luaran sana. Mungkin perlahan Elya akan berpindah hati untuk mencoba belajar membuka hatinya, untuk cinta yang baru. Sayang seribu sayang, yang baru saja bertutur adalah sosok Dana, sepupunya sendiri. Mendapatkan lampu hijau dari Dana, Elya lantas menangis. Ia sudah tidak kuasa menahan dirinya untuk berusaha kuat sejak tadi. Rasanya sangat menyiksa. Biar saja kemeja Dana basah, Elya tidak peduli. Toh pria itu sendiri yang secara suka rela ingin mendengar tangis Elya, katanya agar Elya merasa lega dan jauh lebih baik.
Mendapati Elya yang sudah tidak bergerak di dalam dekapannya, Dana mengulas senyumnya. Ia lega karena pada akhirnya Elya memperdengarkan tangis memilukannya itu pada Dana. Beberapa saat Dana memeluk Elya, pada akhirnya tangan mungil Elya membalas pelukannya. Entah apa yang membuatnya seperti sekarang ini. Yang jelas, Dana merasakan sepasang tangan Elya tengah melingkar di pinggangnya. Sontak Dana menunduk, untuk memastikan kebenarannya di sana dan benar saja—itu tangan Elya.
Perasaan dalam hati Dana semakin meletup-letup. Pop corn, lewat! Dana memang sangat menyayangi dan mencintai Elya. Tetapi ia masih enggan mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya. Padahal sang mama yang kerap menjadi tempat curhatnya sudah memaksa Dana untuk segera melamar Elya secara resmi dan menjadikan Elya sebagai istrinya. Yaa, Dana bertambah bahagia tatkala Denada—mamanya, memberikan restu sepenuhnya untuk Dana segera mempersunting Elya. Tidak peduli apa kata orang nantinya karena mereka merupakan saudara sepupu.
Toh, pernikahan dengan sepupu sendiri dihalalkan, SAH-SAH saja..
Sampai Elya puas menangis, sepasang saudara sepupu itu masih berpelukan. Seperti tidak merasa lelah atau pegal dengan posisi berdiri sembari berpelukan seperti ini. Hingga Elya sendirilah yang berinisiatif untuk melepaskan dirinya dari pelukan Dana. Tentu kali ini Dana tidak lagi menahan pergerakan Elya. Setelah terlepas dari pelukan Dana, tangan Dana justru bergerak menyeka sisa air mata yang tampak mengganggu pemandangan cantik di hadapannya. Sampai tidak ada lagi air mata yang jatuh. Barulah Dana berucap lembut, “Besok-besok lagi, jangan disimpan sendirian, Elya. Kamu punya saya. Saya bisa menjadi tempatmu berbagi kesedihan ataupun kesenangan.”
Mengabaikan ucapan tulus Dana barusan. Elya merasa sepertinya pria itu hanya kasihan padanya. Menyebalkan.
Elya bertanya membahas topik lain, “Mas Dana, kok, malah ke sini?”
“Memangnya mau kemana lagi?”
“Ke acara akad, mungkin..”
“Saya baru mau pergi ke sana jika bersama dengan kamu, Elya.”
Mendengar pernyataan tak masuk akal itu, Elya yang semula tenang, kini mendidih kembali. Ia sangat kesal. “Sudah berapa kali aku bilang!? Aku nggak mau pergi ke sana! Kenapa nggak ada yang ngerti perasaanku, sih!?”
“Saya mengerti perasaan kamu. Justru itu saya mengajak kamu pergi ke sana bersama. Kita hadiri resepsi Ghibran dan Ghina nanti malam, ya?” Sepertinya Dana memang sedang menguji kesabaran dan ketabahan Elya. Pria itu juga sudah bersiap untuk kemungkinan terburukk sekalipun.
Elya memelototkan kedua matanya. Ia juga tak segan berkacak pinggang. Wajahnya memerah, sebentar lagi sepertinya lahar dari gunung berapi akan mengalir. “AKU NGGAK MAU DATANG!”
“Kamu harus datang. Harus, Elya. Tunjukkan kalau kamu itu baik-baik saja. Maaf..jangan terlihat seolah-olah kamu paling menyedihkan di sini.”
“AKU-NGGAK-MAU-DATANG,” tegas Elya sekali lagi. Bukannya pasrah dan mencoba mengalah dengan gadis di hadapannya ini. Dana justru menarik tangan Elya. Entah hendak membawa kemana Elya.
***
Lelah memberontak karena tidak berguna sama sekali. Mengingat Dana memang selalu melakukan apapun itu sesuai dengan kemauannya. Percuma saja mengatakan TIDAK pada Dana. Karena pria itu nyatanya tetaplah otoriter. Elya benci, tapi tak bisa menolak tatkala Dana membeberkan alasannya mengajak Elya ke sebuah butik baju terkenal. Yaa, keduanya harus fitting baju untuk nanti malam. Mereka haruslah tampil mewah dan menunjukkan kebahagiaan mereka atas hari bahagia Ghibran ini.
Kali ini, Elya benar-benar patuh pada Dana. Karena sialnya segala nasihat Dana benar adanya. Di dalam mobil tadi, Dana sempat menasihati Elya dengan serangkaian kalimat yang cukup menusuk, akan tetapi juga mampu menyadarkannya. Begini nasihatnya, “Jika kamu tidak menghadiri pernikahan Ghibran, semua orang akan semakin memandangmu sebagai gadis yang sangat menyedihkan. Saya tidak ingin saudara sepupu saya yang cantik ini dikasihani oleh banyak orang. She is a queen in her life! Saya ingin dia menjelma menjadi seorang ratu yang mampu menyihir semua orang dengan senyum manisnya, walau mungkin palsu. Tak apa, Elya. Kita harus datang. Saya yang akan selalu berada di sisi kamu nanti malam. Jangan takut, saya yakin..kamu kuat. Lagipula, hidupmu masih akan terus berjalan meskipun Ghibran sudah SAH menjadi suami wanita lain. Tangismu, kesedihanmu, kegalauanmu, rasa sakit hatimu, tidak berguna sama sekali. Ghibran tetap melafalkan ijab kabul dengan lantang bukan? Maka dari itu, saya ingin kamu menggunakan logikamu, mengesampingkan perasaanmu sejenak saja. Saya mohon, Elya. Kita datang, ya?”
Begitulah kalimat super panjang yang selama dua puluh satu tahun Elya hidup, baru terdengar.
“Kamu pilih gaun manapun yang kamu sukai, Elya. Saya akan menyesuaikan warna setelan jas saya dengan gaun pilihan kamu..” ucap Dana mempersilahkan Elya memilih gaun pesta semaunya.
Jika dahulu hal seperti ini sangat membahagiakan bagi Elya, maka tidak dengan saat ini. Perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya, sedikit banyak mengubah Elya yang dahulu matre dan sangat senang menghamburkan uang.
Tapi, bolehkah kali ini Elya memanfaatkan momen memilih gaun sebagai ajang menghibur dirinya sendiri?
Sepertinya tidak masalah. Toh, Dana sendiri yang membukakan pintu selebar-lebarnya untuk Elya.
“Beneran, Mas?”
“Hmm, lagipula sudah lama bukan kamu tidak berbelanja?”
“Kok Mas Dana tau, sih!?”
Pikiran Elya langsung tertuju pada Maher—papanya. “Isshh, Papa!” kesal Elya karena papa dan saudara sepupunya ini masih saja sudah membicarakan tentangnya di balik layar. Elya ‘kan jadi malu..
“Senyum yang lebar, dan pilih gaun manapun yang kamu sukai. Ayo..” ajak Dana yang tak pernah rela melepaskan genggaman tangannya pada Elya. Sehingga di dalam butik mewah ini pun, keduanya masih bertautan tangan.
“Kalau harganya sampai puluhan juta, boleh?”
“Boleh.”
“Kalau aku pilih warna pink, setelan jas Mas Dana juga warna pink 'kan?”
“Pink?”
“Iya!”
“Kamu menjadikan saya badut, Elya..”
“HAHAHHAHAH, BERCANDA MAS DANA!” Mendengar tawa keras akhirnya bisa keluar juga dari bibir Elya, Dana merasa sangat lega. Setidaknya, saat ini ia berhasil menyadarkan Elya untuk bangkit meninggalkan sangkar yang ia buat sendiri.
Sejujurnya, ini merupakan awal dimana Dana akan memulai semuanya.
Ia sudah bertekad akan menjadikan Elya istrinya.
Tekadnya yang satu itu telah bulat. Tak peduli jika suatu saat nanti Elya kembali menjadi sosoknya yang dulu, Dana siap dengan segala resikonya. Termasuk bangkrut. Tetapi hal itu Dana usahakan tidak akan pernah terjadi. Selagi tenaga dan pikirannya masih bekerja, Dana akan terus memutar otaknya untuk bekerja demi membahagiakan calon istrinya—Elya.
“Semoga wanita itu kamu, Elya..”
“Hah? Aku kenapa?”
“Calon istri saya,” lirih Dana yang terabaikan, karena gadis muda itu sudah larut dalam kegiatan shoppingnya memilih gaun terbaik untuk menghadiri resepsi pernikahan Ghibran nanti malam. “Mas Dana! Ini gaun warna abu-abunya cocok ‘kan sama kulit aku!?”
***