LoD_9

1075 Kata
“Lama banget balas pesanku, Ri. Jadi program yang dibutuhkan kantor itu untuk mendata semua info mengenai konsumen yang menggunakan produk yang diproduksi sama kantorku, mulai dari jenis kelamin, pekerjaan, umur, hobi, usia, sudah menikah atau belum, jumlah anak, pendidikan, pokoknya data-data begitu. Nah, yang jadi kendala itu kantor butuh data actual, jadi setiap ada yang beli produk di toko A, nah dari barcode yang di scan kasir, nanti kasir akan minta nomor handphone si pembeli atau nama, nanti dari sana kita bisa telusuri. Gue gak ngerti gimana sistemnya, pokoknya keinginan kantor gue begitu. Buat honornya, kantor gue mau menggelontorkan biaya sekitar dua puluh sampe tiga puluh juta.” Angka yang membuat mataku jadi membulat, aku segera menyanggupi permintaan Dati ini bersinar. Uang segitu cukup untuk menjadi bekalku kalo memang nanti aku jadi keluar dari pekerjaan yang sekarang, “Oke, gue terima. Berapa lama nih, target deadlinenya?” Dati menyampaikan kalo maksimal targetnya tiga bulan, percobaan satu bulan, kalo sesuai target maka program ini akan dilaunching bulan Mei, “Bulan Mei nanti kan puasa, tuh. Nah, saat puasa adalah saat yang tepat untuk nyebar program untuk mendapatkan data konsumen, karena banyak yang bakal belanja, kan?” aku setuju dengan ucapan Dati, “Oke, aku akan kerjakan. Tapi aku minta data, ya, kantor lu kerja samanya dengan toko mana aja, terus gue juga minta akses ke berbagai toko itu karena nanti gue pasti survey ke sana.” Dati meng-oke-kan permintaanku, “Besok datanya gue kirim, terus gue minta nomor rekening lu, ya. Biar besok gue ajukan uang muka untuk awal pengerjaan proyek. Jadi pembayaran akan dibagi tiga waktu, uang muka awal pengerjaan sebesar lima belas juta, pembayaran kedua setelah pengerjaan selesai sebesar sepuluh juta, sisanya lima juta dibayarkan jika program sudah teruji dan tidak ada masalah.” Aku meng-iya-kan saja ucapan Dati. Masalah nanti kapan aku bisa ke toko-toko itu, aku akan gunakan waktu makan siangku untuk ke sana. maka setelah menutup telepon, aku mengirimkan pesan berupa nomor rekeningku. Lalu aku memilih untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal. “Kok ruangannya begini banget, sih?” tanyaku dalam hati. Aku masih berjalan sambil mengendap-endap, pelan banget biar gak ketahuan sama mereka yang sedang fokus di depan komputer, bunyi tuts keyboard saling beradu kecepatan, jari-jari mereka berkejaran dengan entah apa, cepat dan lincah sekali menari di atasnya, menimbulkan suara-suara. Tapi dasar apes, aku menyenggol sesuatu sehingga menimbulkan suara, dan secara refleks, si kepala ruangan, mungkin, pokoknya satu orang ini terlihat lebih sering memerintah yang lain, berteriak, “Siapa itu?” lalu dia seperti berlari mencariku, aku mencoba untuk kabur mencari jalan keluar, keringat dingin sudah membanjiriku. Aku mendapatkan satu pojokkan yang sepertinya aman jika aku bersembunyi di sana. jadi aku menundukkan kepala. Naas, orang itu menemukanku, “Penyusup! Bawa dia ke bos, cepat seret dia.” Dadaku deg-degan, napasku tidak beraturan. “Dek, bangun, udah subuh.” Lagi, aku bisa mendengar suara Tante Andriane tapi jauh banget, “Riana, bangun, udah subuh.” Dan pintu kembali diketuk, “Mariana, bangun, salat subuh nanti kesiangan.” Suara Tante Andriane sekarang benar-benar jelas, dan aku membuka mataku, rupanya kejadian barusan hanya mimpi, tapi lelah, keringat, dan dadaku yang deg-degan beneran nyata. Aku mencoba mengatur napasku yang masih tersengal, “Dek, Mariana, sudah bangun apa belum?” karena belum ada jawaban dariku, Tante Andriane masih bertanya dari balik pintu, “Udah, Tan, aku udah bangun.” Baru setelahnya tidak terdengar lagi suara Tante. Aku termenung, kenapa sampe kebawa mimpi banget, ya, ruangan itu. Padahal aku tidak pernah memikirkan sama sekali setelah Mas Viko bilang kalo ruangan itu memang hanya untuk orang-orang khusus. Apa justru karena dibilangin begitu, sisi penasaran dalam diri ini justru terpancing untuk mengetahui lebih jauh, karena memang aku merasa ada yang janggal dengan tempat itu. Aku menggelengkan kepala, mengucek mataku, “Sudahlah. Salat subuh dulu, nanti kesiangan.” Ucapku pada diri sendiri dan bergegas ke kamar mandi untuk berwudu. Setelah selesai berwudu aku langsung melaksanakan salat subuh, lalu keluar untuk menuju ke dapur. Tante Andriane sudah ada di sana, “Tante udah numis toge sama tahu putih, terus tempe goreng tepung sama ayam goreng untuk kamu bawa ke toko.” Aku memeluk Tante Andriane, “Makasih, ya, Tan. Padahal tadinya Adek mau goreng nugget aja biar praktis.” Tante Andriane menjawil idungku, “Mana tega, sih, Tante biarin ponakannya cuma makan begitu. Selama Tante bisa, insyaallah pasti dimasakin.” Setelah masakan Tante hampir dingin, aku memasukkan ke kotak bekal yang ada, ketika sedang memasukkan nasi, terdengar langkah kaki Kakak mendekati dapur, “Dek, kamu kerja apa? pulang malam begitu, Kakak gak setuju, loh. Udah resign aja, cari kerjaan lain.” Aku tidak menjawab tidak mau, tidak juga menjawab mau resign, “Baru hari pertama, Kak. Gak bagus juga untuk resumeku nanti kalo nyari kerjaan lain.” Kakak menggelengkan kepalanya, “Dek, selama ini kan kamu masih dapet uang dari sekolahan yang pake programmu itu, tinggal kamu perbanyak aja inovasi program yang kamu punya, tambahin fitur-fitur menarik, jual lagi, uangnya bahkan lebih besar, kan, dari gajimu?” aku setuju dengan Kakak untuk urusan ini, “Iya, sih. Sebenarnya juga teman sekolahku dulu, semalam menghubungiku, dia minta dibuatkan program, uangnya lumayan.” Aku tidak jadi menyendokkan nasi ke kotak bekal makan, “Ya sudah, Dek, resign saja. Mumpung belum terlalu lama.” Aku duduk, mencoba untuk berpikir jernih, keputusan apa yang akan aku ambil, “Kakak hari ini ada casting, kamu temani, ya. Kakak gak pede. Udah, resign aja. Insyaallah ada rezeki dari tempat lain.” Aku mencoba meminta waktu untuk menimbang berbagai kemungkinan, “Aku coba pikirin dulu, ya, Tan, Kak.” Mereka berdua biasanya akan membiarkanku untuk berpikir tanpa mencoba memberatkanku atau membuatku merasa tertekan dan terpaksa. Aku masih ingin lebih lama di toko itu, karena penasaran apa yang sebenarnya terjadi, kenapa orang-orang di sana bikin aku penasaran, sebenarnya project apa yang sedang mereka kerjakan, program apa yang disembunyikan? Sampe aku kebawa-bawa mimpi masuk ke ruangan itu. Tapi setelah melalui berbagai pemikiran, akhirnya dengan yakin, dengan penuh pertimbangan, bismillah aku melepas pekerjaan di toko. “Oke, Kak, Tan. Aku resign aja, ya, dari toko itu. Semoga ada rezekiku bisa dapet kerja dengan gaji tetap dan jam kerja yang masuk akal.” Kakak dan Tante Andriane memelukku, “Akhirnya. Insyaallah pasti ada, Dek. Berarti bisa, ya, nganterin Kakak nanti jam sepuluh.” Aku mengangguk, “Bisa. Aku mau kirim pesan dulu ke bos yang sebentar lagi bakal jadi mantan bos.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN