LoD_8

1105 Kata
Selepas isya, handphoneku berdering, “Dek, kamu pulang beneran jam sembilan malam? Kamu kerjanya kok malam banget gitu, sih, pulangnya.” Telepon dari Tante Andriane masuk, aku menangguk, “Iya, Tan. Karena masih training, jadi selama satu bulan ini aku kerjanya dua shift dari jam sembilan pagi sampai jam sembilan malam. Nanti kita ngobrol di rumah, ya.” aku tidak enak, bicara di telepon terlalu lama. Khawatir malah dikira teleponan mulu. Di toko ini, entah kenapa aku bisa merasakan aura senioritas yang sangat kuat, “Santai aja kalo sama aku, Mah, Riana. Gak apa-apa.” Mas Viko yang datang duduk di sebelahku, “Iya, Mas.” Jawabku singkat. Aku belum tau gimana kepribadian Mas Viko, jadi belum bisa banyak ngobrol sama dia. Aku tertarik dengan satu pintu dengan gagang yang menggunakan sidik jari atau kartu pegawai untuk membukanya, karena penasaran, aku bertanya ke Mas Viko itu ruangan apa, “Mas, maaf kalo terkesan aku gak sopan atau kepo. Tapi dari tadi aku datang, aku penasaran sama ruangan itu,” tunjukku pada Mas Viko, “Itu ruangan apa, sih, Mas. Istimewa dan rahasia banget, ya, sampe orang yang masuk ke situ harus menggunakan sidik jari atau harus nge-tap kartu.” Mas Viko mengangguk, “Iya, itu bukan ruangan biasa. Mereka yang kerja di dalam situ, tidak diperbolehkan keluar, sampai diizinkan oleh penanggung jawabnya. Karena itu proyek khusus yang dikerjakan Mas Dimas. Kita yang di toko gak ada yang tau perihal apa yang terjadi di dalam sana.” aku yang dasaranya suka penasaran, lebih lanjut bertanya ke Mas Viko, “Proyek apa? kok sampe disebut proyek khusus?” Mas Viko menggelengkan kepalanya, “Aku gak tau. Dan gak mau tau sebetulnya. Aku udah nyaman kerja gini aja, jaga toko, ngadepin konsumen lebih menarik untukku daripada ngadepin komputer berjam-jam.” Setelah Mas Viko bicara seperti itu, aku tidak meneruskan lagi berbagai pertanyaan yang masih ada di kepalaku, daripada nanti Mas Viko malah kesel dan bete sama aku. Aku melewati sisa shiftku dengan mencoba menghapalkan harga-harga barang-barang yang ada di toko ini, agar nanti, kalo aku ditinggal sendiri di toko seperti tadi, aku tidak perlu menghubungi siapa pun atau ngerepotin siapa pun. Tidak ada kejadian istimewa yang terjadi, setelah jam sembilan malam, aku, Mas Viko, dan satu lagi karyawan perempuan yang masih muda, lebih muda dariku sepertinya, dia mengambil sapu, “Mbak Riana, kalo udah mau tutup toko gini, kita beresin barang-barang, sambil bersih-bersih toko juga.” Aku menganggukkan kepala, lalu ikut sama dia untuk mengerjakan apa saja yang menjadi kebiasaan di sini, di toko ini. Jam sembilan lewat sepuluh menit, aku, Mas Viko, dan Yuli keluar, “Udah dikunci semua, ya, Yul?” tanya Mas Viko sama Yuli dijawab dengan anggukan kepala Yuli. Aku agak heran, emangnya orang-orang yang ada di dalam ruangan itu tidak pulang? “Mas Viko, ini toko ditutup? Orang-orang yang ada di ruangan itu, nanti pulangnya gimana?” Mas Viko tersenyum, “Mereka keluar dan masuk menggunakan pintu khusus, di sebelah sana yang berhubungan langsung sama parkiran dan mereka juga pulangnya gak setiap hari. Aku gak tau gimana persisnya jadwal mereka pulang, tapi yang pasti mereka pulang setiap satu atau dua bulan sekali dan bergantian, gak satu pulang terus semua ikut pulang.” Aku masih mencerna informasi yang diberikan Mas Viko, “Udah, jangan dipikirin. Semakin dalam kamu tau tentang sesuatu makin terikat kamu dengan hal itu, makin menjaga jarak kamu dari sesuatu itu, makin aman hidupmu.” Aku hanya menganggukkan kepala meskipun tidak mengerti. Perjalanan selama dua puluh menit aku tempuh menuju ke rumah, aku mampir dulu di tukang nasi goreng yang ada di dekat rumah. Ketika sampai di depan gerbang, aku melihat lampu kamar Tante Andriane yang emang terlihat dari depan sini, masih hidup. Aku membunyikan klakson sekali, menunggu apakah Tante Andriane masih bangun, dan benar saja, dia keluar dengan menggunakan pakaian tidurnya, setelah memasukkan motor ke garasi, Tante memberondongku dengan banyak pertanyaan, “Kamu kerja apa, sih, Ri? Itu toko kok begitu peraturannya. Kalo kira-kira memang gak cocok dan bikin kamu gak nyaman, keluar aja, cari kerjaan lain. Mumpung masih baru.” Aku duduk di kursi yang ada di dapur, sambil menarik napas panjang, “Aku sambil makan, ya, Tan. Ini aku beli nasi goreng, Kakak udah tidur?” Tante Andriane mengangguk, “Kakak dari jam delapan tadi udah tidur, katanya besok mau ikut casting iklan e-commerse gitu. Kamu kalo ditanya itu dijawab.” Aku menganggukkan kepala, “Iya, Tan. Emang begitu aturan yang ada di toko, kalo karyawan baru emang kerjanya dua shift, nanti kalo udah satu bulan, baru dibagi jadwalnya.” Terlihat dari ekspresi Tante Andriane tidak puas dengan jawabanku, “Terus, kamu mau, nerusin kerja di situ? Cari kerjaan lain aja, lah. Masa sebulan pulang malem jam segini terus?” aku tetap menyendokkan nasi goreng yang ada di hadapanku, “Aku coba dulu, Tan. Cari kerja sekarang gak mudah, nanti kalo emang bener-bener gak bisa aku ikutin peraturan dan kerjaan di sana baru aku putuskan untuk resign.” Tante Andriane sepertinya masih belum ingin melepaskanku dari berondongan pertanyaannya, “Udah, Tante tenang aja, aku tau, kok, kalo aku rasa gak enak di diriku, pasti aku keluar. Sekarang Tante makan, donk, nasi gorengnya. Aku udah beliin ini, loh.” Tante Andriane menggelengkan kepala, “Tadi udah makan. Dimasukin kulkas aja itu, buat sarapan besok.” Aku menganggukkan kepala, “Ehm … Tan, besok masak apa?” Tante Andriane mungkin bingung dengan pertanyaanku, "Tumben, De, nanya besok masak apa. Mau bawa makan dari rumah?” aku menganggukkan kepala, “Iya, Tan. Kalo toko rame, gak sempet keluar beli makan. Gampanglah, besok aku goreng nugget juga cukup. Udah, Tante istirahat aja.” Dia mengangguk dan masuk ke kamarnya. Setelah menyelesaikan makan malamku yang terlambat banget, aku mandi dan merebahkan tubuhku di ranjang, sambil ngecek handphone yang seharian ini jarang banget aku buka, dua pesan dari Kakak, satu pesan dari Tante, dan satu pesan dari teman lamaku di sekolah menengah atas kemarin, menanyakan kabarku, “Lu masih suka bikin-bikin program gitu, kan? Kantor gue lagi butuh program untuk mendata konsumen nih, lu bisa, gak? Nanti chat gue aja untuk detail kerjaannya.” Ah … proyek bagus, nih. Biasanya kalo bikin-bikin program gini bayarannya lumayan, maka aku langsung membalas chatnya, “Dati, udah tidur ato belom? Sorry baru balas, seharian ini gue kerja, jadi gimana program yang lu maksud?” setelah mengirim pesan ke Dari aku memejamkan mata sebentar, hari ini lelah banget, kalo Mas Viko tadi bilang kalo dia lebih nyaman ngadepin konsumen dan bosan kalo harus berlama-lama di depan laptop, aku justru lebih nyaman berada di depan komputer ketimbang ketemu banyak orang. Tidak berapa lama pesan dari Dati membuat mataku berbinar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN