LoD_7

1165 Kata
Ketika jam makan siang tiba, aku bisa melihat Mas Dimas dan Delisa turun beriringan dari lantai dua, ada yang berbeda dengan keduanya, entah apa. Aku mencoba mencari-cari, setelah aku ingat-ingat, baju yang dikenakan Delisa sudah berganti, tadi pagi aku melihatnya menggunakan kemeja putih dengan kerah V besar, sekarang terlihat dia menggunakan kaos berwarna putih dengan tulisan “Kesayangan Bos Nih!” aku menduga, sepertinya antara Delisa dan Mas Dimas memang memiliki hubungan istimewa, “Kamu sendirian, Riana?” aku menganggukkan kepala, “Iya, Pak, eh, Mas. Saya sendiri, yang lain lagi makan siang. Tadi sih katanya gentian, mereka makan siang duluan, setelahnya baru saya.” Mas Dimas menganggukkan kepalanya, “Ya deh. Aku sama Delisa keluar dulu, ya. Kalo ada apa-apa atau ada yang mau ditanyakan, telepon saya aja.” Kemudian Delisa mengibaskan tangannya, “Enak aja. Jangan langsung hubungi kamu, donk, sayang. Nanti acara makan siang kita terganggu. Kamu hubungi Leli aja. Ada nomornya, kan?” aku menggeleng, “Gak punya. Tadi soalnya setelah bilang ke saya kalo selama satu bulan ini saya dapat shift siang, mereka keluar, makan siang.” Mas Dimas terlihat kebingungan, seperti aneh, “Mereka udah keluar dari tadi?” aku menganggukkan kepala, “Iya, Mas. Sekitar jam sebelasan gitu mereka keluar makan siang. Katanya sih, mereka keluar duluan biar bisa gentian makan sama saya.” Wajah Mas Dimas menyiratkan tanda tanya, mungkin Delisa melihat keanehan tersebut langsung bilang, “Iya, mereka tadi udah izin sama aku. Gak apa-apa, kan, sayang. Sekarang, kan, udah ada Mariana juga. Kamu kalo ada yang mau ditanyain, langsung hubungi Leli. Itu nomor teleponnya ada di papan tulis di sana, nomor kamu juga nanti ditulis di situ, ya. Biar yang lain juga bisa menghubungimu kalo ada perlu.” Delisa menunjukkan papan tulis dengan ukuran sedang yang ada di bagian dalam toko, lagi-lagi aku mengangguk. "Ayok, sayang. Aku udah laper banget, tenagaku habis dikuras sama kamu dari tadi.” Ucap Delisa menggelayutkan tangannya manja ke lengan Dimas, aku berusaha buat muka, untuk tidak melihat mereka. Tidak berapa lama mereka keluar, “Kita makan siang dulu, ya, Mariana.” Aku menoleh kea rah mereka, lalu menganggukkan kepala. Ketika sedang menunggu toko, ada lima orang yang datang dan membeli beberapa barang aksesoris komputer, mouse, keyboar, trackpad untuk mouse, dan juga ada barang lainnya. Setengah jam, satu jam, aku menunggu Leli dan kelima dua orang lainnya kembali dari makan siangnya, tapi sampai jam satu lebih dua puluh menit, hampir setengah dua siang, mereka belum juga kembali. Setelah jam dua siang, perutku sudah lapar banget, wujud mereka belum terlihat, tapi suara ketawa mereka udah terdengar sampai sini, “Sorry, ya, lama. Kita tadi makannya ngantri.” Ucap Leli. Lalu mereka kembali ke counter jaga, Leli ke depan komputer. Setelah mereka kembali, aku bangun, “Aku gentian makan siang, ya, Mbak.” Ucapku pada Leli, “Yah. Gak bisa, Riana. Bos bakal marah kalo masih ada yang di luar jam segini. Kamu kan sampe malam, nanti jam tiga kan aplusan shift, nanti kamu boleh makan jam segitu.” Aku meradang, “Aku lapar, loh, Mbak.” Leli hanya mengangkat bahu, “Ya, terserah, sih, kalo kamu mau maksa keluar makan siang. Tapi nanti kalo bos marah, aku gak tanggung jawab, ya. Jangan gegabah, ini baru hari pertama kamu masuk kerja, kesan pertama itu penting.” Aku hanya bisa mendengkus napas kasar, lalu kembali ke mejaku. Melanjutkan menunggu pembeli. Sampai jam tiga sore, perutku belum juga terisi nasi, padahal sudah laper banget, perih sebenarnya. Untung tadi pagi Tante Andriane memaksaku untuk sarapan, kalo gak, mungkin sekarang aku udah pingsan. Setelah yang shift siang datang, aku bangun dari dudukku, karena kata Mbak Leli tadi, aku bisa makan siang setelah ganti shift, “Riana, ini anak-anak shift malam. Nanti kamu nerusin shift hari ini dengan mereka, ya. Penanggung jawab shift malam si Viko.” Aku mengangguk dan menyalami mereka satu per satu, “Aku keluar dulu, ya, Mbak. Cari makan.” Leli menggelengkan kepala, “Sorry, Riana. Gak bisa, kamu harus ikut Viko untuk cek stock operan stock.” Bahuku melemah, “Mbak, aku laper banget, loh, ini. Perutku udah sakit banget. Gak lama, hanya setengah jam.” Viko yang mendengarku bicara seperti itu bertanya, “Emangnya tadi gak makan siang?” aku menggelengkan kepala, “Mbak Leli dan yang lain balik dari makan siang jam dua. Kan gak boleh keluar kalo udah lewat dari jam makan siang.” Viko menggelengkan kepala, “Ya udah, kamu makan dulu. Setengah jam, ya. Abi situ temui aku.” Mataku berbinar, “Makasih, Mas Viko.” Tanpa melihat lagi ke arah Leli aku bergegas keluar, “Kamu selalu begitu kalo sama anak baru. Jangan-jangan, kamu juga kasih dia shift dua selama satu bulan dengan dalih untuk training, ya, Leli?” aku tidak melihat ekspresi atau mendengar jawabannya, hanya saja, Mas Viko kembali bicara, “Jangan gitu, lah. Diubah kebiasaan senioritasmu itu. Gak baik.” Aku tidak peduli, yang penting aku bisa makan. Tidak mau membuang waktu banyak, aku mencari tempat paling dekat dari toko, ada sebuah warteg di dekat sini, langsung memesan tumis labu siam dan ayam goreng, juga es teh manis. Lima belas menit aku makan, lalu membayar makananku, “Baru ya, Mbak, kerja di toko itu?” aku menganggukkan kepala seraya tersenyum, “Iya, Bu.” Setelah memberikan uang kembalian, penjaga kasir itu bilang, “Jadi langganan, ya, Mbak.” Aku menganggukkan kepala lagi, lalu bergegas kembali ke toko. Pas setengah jam aku makan dan sekarang sudah kembali ke toko. Aku bisa melihat mobil Mas Dimas sudah terparkir di depan toko dan mendengar suara Mas Dimas sedang bicara. Aku kemudian masuk ke dalam toko yang diikuti dengan pandangan aneh Mas Dimas, “Loh, kamu dari mana, Riana? Jangan keluar toko atau ninggalin shift begitu, ya.” Baru aku mau membuka mulutku untuk menjawab ucapan Mas Dimas, memberikan alasanku keluar tadi, tapi Mbak Leli mengedipkan matanya, memberi isyarat agar aku tidak menjawab, akhirnya aku hanya menganggukkan kepala dan bilang, “Iya, Mas. Maaf, ini tidak akan terulang.” Lalu aku berjalan menuju tempatku tadi duduk dan kembali melihat jajaran barang yang ada di depanku sambil bertanya, apakah aku akan kuat bekerja di sini dengan berbagai ketidakadilan yang terjadi di depan mataku. Aku baru ingat untuk mengecek handphoneku, karena sejak tadi pagi aku belum sama sekali membukan handphoneku. Ada lima pesan dari Tante Andriane menanyakan kabarku, apakah aku sudah makan, bergegas aku segera membalas pesannya, “Maaf Tan, baru balas. Lumayan lah, hari ini. Dari tadi aku jaga toko jadi belum lihat-lihat handphone. Sekalian aku izin, ya. Aku beres kerja jam sembilan malam, jadi kemungkinan aku pulang malam.” Setelah mengirim pesan ke Tante Andriane, aku melihat story w*****p dan terlihat postingan Kak Dela, dia memang cantik. Berbeda denganku yang jarang dandan. Iseng aku me-reply story-nya, “Cantiknya kakaku.” Lalu aku memasukkan kembali handphoneku ke dalam saku celana. Sambil kembali memikirkan berapa lama kira-kira aku bertahan di sini. Kalo saja bukan karena kebutuhan dan uang, mungkin sejak tadi aku sudah angkat kaki dari tempat aneh ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN