"Byuuuur!!" Adimas menyemburkan kopi yang diminumnya.
Di depannya Max yang duduk mengambil posisi sempurna terlihat menatap Adimas serius, disisi lain Adimas masih berusaha menyadarkan jiwanya.
"Apa? Bisa diulangi?" Adimas berbicara.
"Saya mau lamar Kiranti!" ulang Max jadi agak ngegas.
"Uhuk-uhuk! Sebentar-sebentar!" Adimas sudah memasang wajah datarnya. "Kamu? Lamar Kiranti? Serius?"
Max mengangguk yakin. "Serius Om. Kalau saya gak serius saya pasti cuma ngajakin Kiranti pacaran doang." Bukannya sombong, tapi definisi lelaki sejati versi Max itu apabila memberi bukti bukan hanya janji.
Muliya yang sejak tadi cuma mangap-mangap kayak ikan cupangpun akhirnya ikut bersuara. "Max kamu mau lamar Kiranti? Bukannya kamu udah dijodohin sama Ajeng, Putri Jenderal kamu?"
Max jadi mengernyit. "Tante tau darimana?"
"Lololo jangan salah, gini-gini relasi gosip Tante sejagat raya!" bangga Muliya malah menyombongkan diri.
Max menghembuskan napas pelan. "Saya tolak kok Tan."
"Loh? Kenapa?"
"Saya gak suka sama Ajeng." Balas Max.
"Trus kamu sukanya sama Kiranti?"
Tanpa diduga semburat pink muncul di pipi lelaki tampan itu. "Iya." Balas Max jadi malu.
Muliya menggaruk pelipisnya keheranan. "Kayaknya kamu harus pergi ke dokter mata deh Max."
Semua orang di ruangan itu melotot lebar.
"Kiranti Putri kita loh sayang." Ujar Adimas tidak tega Putrinya dinistakan.
"Ya kan aku cuma jujur Mas, malah ini kesannya aneh gak sih? Kiranti kan 8 tahun di luar negeri tapi kok Max tiba-tiba ngelamar kayak gini?" selidik Muliya, lalu tiba-tiba Ibu muda itu menunjuk ke arah wajah Max. "Kamu lagi bikin prank ya! Hayo ngaku! Tante sering lihat konten beginian di YT!" tuduh Muliya membuat Max mendelik.
Ternyata Ibu Kiranti ini sangat nyeleneh.
"Ini udah dandan keren-keren pake batik yakali cuma prank, Ya!" balas Ibu Max jadi kesal.
"Udah kamu ke dapur sana!" titah Adimas ke arah istrinya membuat Muliya mencebik.
"Ish dasar! Lain kali kalo ngelamar pake ondel-ondel dong biar kelihatan serius!" gerutu Muliya sebelum beranjak ke belakang. "Gea, Alif, ayo ikut Mamah kita ke belakang!"
"Nggak mau ah Mah, aku lagi asik lihat acara lamaran anti mainstream." Tolak Gea.
"Saya disini aja Mah, saya juga penasaran." Balas Alif sopan.
Muliya makin merengut, apalagi saat menyadari suaminya sedang melemparkan kekehan geli ke arahnya. "Yaudah lah kalian lanjutin acara lamarannya, aku ambilin tambahan camilan dulu." Pamit Muliya beranjak. Tapi bukannya ke dapur perempuan itu malah berbelok ke kamar Kiranti, dengan pelan Muliya membuka pintu kamarnya.
Kiranti yang ternyata sedang asik menonton konser suami-suaminya (baca: BTS, EXO, dan kawan-kawannya) langsung menoleh saat mendengar suara deritan pintu.
"Kenapa Mah?"
"Dandan sana, katanya tadi mau ganti baju?"
"Maleees, makanya aku di kamar aja. Oh iya, di bawah ada tamu ya? Kok rame banget?"
"Tau, lihat sendiri aja."
"Ih Mamah! Tinggal kasih tau apa susahnya sih?!"
Muliya mendesah pelan. "Kamu makanya mandi, trus dandan yang bener dulu. Abis itu lihat sendiri siapa yang dateng."
"Emang siapa sih Mah yang dateeeeng?"
"Makanya mandi dulu sanaaaa." Balas Muliya jadi ikut bernada.
Kiranti makin mencebik, dengan ogah-ogah terpaksa melangkah ke kamar mandi. Padahal tuh ia males-males-males bangee—
"Ada keluarga Max di bawah, mereka lagi lamar kamu."
Gedubrak!
Lagi, Kiranti terjerembab seperti biasa.
***
"Udah lah Dim terima aja, bisa jadi besan loh kita." Bujuk Gio mencoba merayu sahabatnya ini.
"Tapi ini pernikahan loh Gi, kayak agak gimana gitu kalo gue terima gitu aja lamaran Max."
"Ini anak gue Tentara, ganteng, gagah, negara aja dijaga, apalagi anak lo Dim." Lama-lama Gio sudah seperti sales yang lagi menawarkan barangnya.
Adimas mendesah berat, entah kenapa seperti ada beban yang masih mengganjal di hatinya.
"Gue sebenernya gak rela aja kalo semua anak gue udah nikah."
Farel yang tidak sengaja lewat langsung mengumpat dalam hati. INI DIRINYA YANG JOMBLO NGENES BUKAN ANAK PAPAH ADIMAS APAAAA???! Farel mendengus, lalu lewat melipir begitu saja sambil mengelap upilnya ke tembok. Bodo amat lah dirinya di anak tirikan! Yang penting ia GANTENG. Valid no debat!
"Huft ... baiklah, kita tanya Kiranti dulu." Putus Adimas akhirnya.
"Om setuju?!" nada antusias yang terdengar dari Max membuat Adimas entah kenapa merasa sedikit geli.
"Iya, sebentar biar Om panggilkan anaknya dulu—...eh sayang." Baru juga Adimas ingin beranjak, Kiranti sudah datang duluan.
Kiranti menyalimi orang tua Max dengan sopan dan duduk di sebelah Papahnya. "Jadi niat keluarga Max datang kesini ingin meminang kamu, apapun jawaban kamu Papah akan dukung." Ucap Adimas mengelus pelan pundak anaknya.
Kiranti menatap lurus ke depan, kaget? Bukan cuma kaget, rasanya Kiranti masih tidak percaya kalau ini sungguhan.
"Ran, kamu mau jadi istri aku?" tanya Max pelan dengan ekspresi sedikit menghangat.
Kiranti memilin ujung bajunya tegang, ia seperti diberi dua pilihan yang sama-sama memberatkan menurut Kiranti. Antara perasaan atau ego.
"Max, bisa kita bicara berdua?"
Hening sejenak. Atmosfer yang terasa jadi sedikit memberat.
Max pun merasakannya, ekspresi menghangatnya perlahan memudar. "Baik." Lelaki itu mengekor di belakang Kiranti dengan langkah tegapnya.
Mereka berdua duduk di halaman belakang rumah yang dijadikan taman itu, menit-menit pertama belum ada yang membuka suara.
"Aku kira kamu bakal seneng."
Kiranti menoleh kaget, tersentak mendengar ucapan Max.
"Aku kira kamu suka sama aku, tapi kayaknya aku sendiri yang terlalu membanggakan diriku."
"Max ... "
"Padahal aku tadi mengharapkan jawaban pasti kamu, tapi kamu seperti ragu. Kenapa Ran??" Max menghadap Kiranti menuntut.
"Ini pernikahan Max!"
"Ya, semua orang tau. Lalu masalahnya apa?"
"Masalahnya membangun pernikahan tidak sesimpel itu."
Max tertawa hambar. "Kamu pikir aku ngelamar kamu tanpa persiapan Ran? Nggak, aku nggak sebodoh itu!" Max mencoba menekan emosinya. "Aku sudah punya apartemen, kalau kamu gak mau tinggal di apartemen aku bisa bangunin rumah buat kamu. Aku punya pekerjaan tetap, dan aku juga pasti bertanggung jawab. Lalu kurangnya apa?"
"Perasaan kamu."
Max tercenung. Kiranti menunduk mencoba menekan sesak di dadanya.
"Seberapa kali pun aku berpikir rasanya sangat mustahil kalau kamu tiba-tiba lamar aku. Kecuali .... kamu cuma mau balas budi tentang 'kejadian' 8 tahun silam." Max mendelik lebar.
"Ran! Pikiranku nggak sesempit itu!"
Kiranti menarik napas mencoba mengontrol perasaannya. "Nggak papa Max, it's okay, aku paham kalau niat kamu baik. Tapi bukan seperti ini caranya."
"Ran! Tatap mata aku!"
Kiranti justru membuang muka. Max menggeram tampak menahan ledakan di dadanya.
"Apa ... cuma segini pandangan kamu terhadap aku Ran?" ada nada getir dalam suara Max. "Aku pikir kamu bisa ngertiin aku Ran, tapi kayaknya aku salah."
Kiranti menahan napasnya, menoleh menghadap sepenuhnya kearah Max. Air mata perempuan itu turun, membuat sesuatu seperti menyayat d**a Max.
"Kalau kamu cinta sama aku, Kamu pasti berusaha cari aku Max, kemana aja kamu 8 tahun ini? Meskipun aku di luar negeri tapi aku gak pernah sembunyiin tempat aku. KAMU KEMANA MAX?!"
"Kamu yang pergi Ran, kamu yang tinggalin aku, kalaupun aku cari kamu aku mau ngomong apa? Emang waktu itu kita ada hubungan apa?!" lantang Max.
Kiranti tersentak diam.
"Kamu pergi, kamu bilang ke aku kalau kamu gak mau lihat aku lagi. Aku sakit Ran waktu itu, tapi setelah berpikir lama aku jadi paham. Kamu gak mau lihat aku karena waktu itu kamu kecelakaan demi menolong aku, dan setelah itu kamu kehilangan kemampuan taekwondo kamu. Aku yang menjadi penyebab semua itu. bisa apa Ran?" Max mengalihkan pandangan saat matanya mulai mengembun panas.
Kiranti mengerjap tak percaya. Padahalkan Kiranti pergi dari Max karena Kiranti yang merasa sudah tidak pantas untuk lelaki ini. Jangan bilang kalau Max salah paham terhadapnya? Kiranti jadi menyibak rambutnya kasar.
"Sebenarnya aku pergi bukan gara-gara itu." Jujur Kiranti, Max diam-diam melirik. "aku ... a-aku pergi karena ... aku udah gak pantes buat kamu." Lirihnya hampir tak terdengar kalau Max tidak membuka lebar telinganya.
Max mendelik kaget. "Maksud kamu?!"
"Aku udah rusak Max, meskipun aku bisa jalan normal tapi setelahnya apa? Aku udah gak berguna. Aku dulu masih bisa menjalani hidup normal karena aku pikir aku punya kemampuan taekwondo yang hebat bahkan dulu aku sering ngejar-ngejar kamu, tapi setelah kecelakaan itu kemampuan taekwondo ku hilang ... bersamaan dengan masa depanku."
Max benar-benar tak percaya mendengar alasan ... konyol Kiranti. Gadis ini pergi bertahun-tahun cuma karena hal itu???
"Aku malu Max sama kamu, kamu dulu pintar, famous di sekolahan, dan banyak perempuan-perempuan yang lebih dari aku juga suka sama kamu. Aku udah ngerasa kalah start duluan."
Ternyata rasa insecure perempuan bisa berdampak sebesar ini? Max akhirnya paham pemikiran Kiranti.
Kiranti akhirnya mendongak, menemukan wajah lelaki itu yang hanya berjarak beberapa senti dari dirinya. "Kamu masih ingat pesan aku dulu?" Max terlihat bingung, Kiranti tersenyum tipis, mengulurkan tangan mengelus pipi Max yang sekarang lebih tirus daripada dulu. "Cari perempuan yang baik, cari perempuan lain ya Max."
Kiranti menurunkan tangannya, beranjak dari kursinya sesaat sebelum tangannya kembali ditarik oleh lelaki itu. Kiranti hampir memekik kencang kalau bibirnya tidak tiba-tiba dibungkam oleh bibir Max. Jantung perempuan itu hampir berhenti berdetak saking syoknya.
Max meredupkan matanya, menarik pinggang Kiranti sampai terjatuh ke pangkuannya, lelaki ini tidak mengulum atau memagut bibir Kiranti, hanya sekedar menempelkannya saja meskipun sudah berdampak sangat besar terhadap diri Kiranti.
Kiranti ingin menolak, tapi tubuhnya benar-benar tak sanggup digerakkan, perasaan hangat yang diberikan Max membuat Kiranti nyaman.
Cukup lama mereka di posisi seperti itu sampai Max perlahan menjauhkan bibirnya dari bibir ranum Kiranti. Dengan lembut lelaki itu mengecup pipi Kiranti.
"Mulai sekarang kamu diam aja ya, biar aku yang berjuang buat kamu." Bisiknya seperti menghipnotis Kiranti.
***
"Gea coba kamu sadarin Adik kamu itu, Mamah jadi ngeri lihat dia bengong mulu daritadi!" perintah Muliya ke arah Putri keduanya.
Keluarga Max sudah pergi daritadi, tapi entah kenapa Kiranti masih bengong kayak orang kesambet.
"Dek-dek istighfar, sekalian baca syahadat." Tepuk Gea kearah pundak Kiranti.
"Dikira lagi sakaratul maut apa." Cibir Farel yang sedang asik main ML itu.
"Heh! Dosa banget ya mulut Mas!" omel Gea yang hanya dibalas Farel dengan mendecih. Farel masih ngambek karena tadi gak diakuin anak sama Papahnya, sebel-sebel-sebel!
"Yaudah kalian berdua jagain Kiranti ya, Mamah mau ke dapur dulu." Pamit Muliya.
"Ke dapur mulu perasaan dari tadi." Sewod Farel, tapi setelahnya langsung memekik cempreng saat Muliya mengambil HP nya. "Hapeeee aku Mah!"
"Biarin sekalian mau Mamah masak, ini kan apel." Muliya selanjutnya melipir pergi setelah menunjukkan logo apel di HP Farel.
Farel langsung guling-guling ngamuk di atas kasur.
Gea mengelus d**a melihat kelakuan Kakak kandungnya ini. "Dek Ran jangan bengong terus, orang yang bengong itu lebih mudah dirasuki oleh setan dan jin." Ceramah Gea yang merupakan seorang pendakwah itu.
Kiranti masih saja bengong, malah yang terdengar cuma bunyi rengekan Farel.
"Hape aku huwaaaa!"
"Dek Ran!" guncang Gea jadi gemas ingin menabok Adiknya ini.
"Hapeeee akooooh!!"
"Ck! Mas Farel kalo masih rewel mending keluar sana!!" tunjuk Gea ke arah pintu. Farel seketika kicep, nah kok dirinya yang dimarahi? Padahal ini kan kamarnya sendiri?
"DEK!!"
Kiranti akhirnya mengerjapkan mata kaget.
Gea menggeleng tak habis pikir. "Kenapa sih bengong aja?"
"Halah pasti abis dicipok Max tuh!" ujar Farel ngawur seperti biasa.
"Loh Bang .... kok tau?" tanya Kiranti melongo.
Dan setelahnya, keheningan panjang melanda.