Vano tak akan pernah main-main lagi dengan nilai. Ia tak mau menyusahkan diri sendiri apalagi sampai mengecewakan guru. Vano tidak akan menuruti permainan-permainan gila dari sahabatnya lagi. Baginya, nilai baik itu harga mati. Katakanlah hidup Vano terlalu lurus karena hanya memikirkam nilai-nilai daripada menikmati masa-masa SMA. Tapi ia punya prinsip: lebih baik kehilangan masa remaja daripada kehilangan masa depan. Karena jika nanti ia susah, siapa yang akan menolongnya kalau bukan dirinya sendiri?
Vano melangkah menuju taman belakang sekolah untuk menghabiskan waktu istirahatnya dengan membaca n****+. Tetapi, ketika Vano melewati gudang, ia mendengar suara-suara aneh. Vano menajamkan pendengaran, dan suara-suara itu semakin mencurigakan.
“Ah! Gue menang!”
“Gue tekor bandar!”
Vano bukan tipe cowok rumpi, tetapi suara-suara yang ia dengar sangat membuat risih. Akhirnya Vano membuka pintu gudang dan ia menemukan dua orang di sudut ruangan sedang berhadap-hadapan.
“Ngapain lo berdua?” tanyanya datar.
Kedua murid yang sedang bermain kartu seketika beku melihat seorang juara umum yang irit bicara memergoki kegiatan melenceng yang sedang mereka lakukan.
“Sekolah bukan tempat judi.”
Datar, tetapi sukses membuat dua orang itu langsung membereskan sisa-sia kartu dan uang yang bertebaran di atas lantai, lalu terbirit-b***t keluar gudang. Vano geleng-geleng kepala mengetahui moral anak muda semakin hari semakin rusak. Terkadang hal ini terjadi akibat faktor dari lingkungan juga. Contohnya, para ojek yang mangkal menunggu penumpang sering sekali bermain kartu untuk membunuh rasa jenuh. Anak-anak yang melihatnya, bisa saja jadi penasaran, meniru, lalu ketagihan. Tapi, Vano tidak sepenuhnya menyalahkan tukang ojek, ada yang lebih parah jika membicarakan soal moral. Sebut saja; koruptor.
“Kak Vano! Bisa nggak lo jangan ngambil rezeki orang?!”
Vano mencari arah suara yang terdengar sangat tersinggung itu. Di balik triplek, Mara berdiri sambil memegang bola basket dan memandang Vano dengan ekspresi kesal.
“Lo nyewain gudang buat jadi tempat ngebadung?” tuduh Vano cepat.
Mara langsung mengangguk mantap. “Bayar sini ke gue gocap! Gara-gara lo klien gue kabur!”
“Gue nggak mau ngasih,” jawab Vano cuek.
“Dasar Pangeran Es pelit! Kuburannya sempit!!”
Vano menutup kedua telinganya, tak tahan dengan suara berisik Mara. Sifat adiknya yang begitu berandalan ini terkadang membuat seluruh murid dan guru di sekolah tidak percaya bahwa mereka saudara sedarah.
“Mending lo masuk kelas,” titah Vano.
Mara menyeringai.
Vano tahu adiknya akan melakukan kegilaan yang lain.
Bugh!
Sebuah bola basket mendarat tepat di lengan Vano sebelum cowok itu berhasil menghindar. Vano mengaduh, sedangkan Mara tertawa kencang.
“Mampus lo! Dadah, Pangeran Es!!”
Mara keluar gudang. Vano hanya bisa menggeram kecil sambil mengelus lengannya yang membiru akibat bola basket yang dilemparkan oleh adiknya yang durhaka. Tetapi ternyata Mara keluar untuk membeli sesuatu. Ia kembali lagi, memberikan es dan handuk kecil untuk mengompres luka lebam Vano. Selalu berantem, tetapi sebenarnya saling menjaga. Itulah Vano dan Mara. Karena sampai nanti, ikatan darah itu akan selalu kuat melebihi apa pun.
***
Jam kosong hari ini begitu gaduh dan berisik. Vano terganggu, ia langsung mengambil n****+ dari laci meja dan melangkah pergi dengan terburu-buru.
Dia meminta izin keluar pada satpam. Vano ingin membeli segelas strawberry milkshake di kafe yang berada tak jauh dari sekolahnya. Minuman andalan jika mood Vano sedang jelek.
Vano sudah mendapatkan milkshake-nya, dan ia pergi ke taman kota menggunakan angkutan umum. Ia sedang tak ingin duduk di kafe atau kembali ke sekolah. Memilih membaca n****+.
Lalu kursi yang diduduki Vano bergerak, menandakan bahwa ada manusia lain yang duduk di sebelahnya.
“Capek gue!” kata orang asing yang duduk di sebelah Vano. “Hih!! Kenapa coba mereka nggak mau ngerti? Hidup-hidup gue! Kok mereka yang ribet?!”
Vano melirik sedikit, ia melihat orang yang sedang berbicara sendiri di sebelahnya adalah seorang cewek berseragam putih abu-abu tetapi seperti preman karena tangan kemejanya dilipat-lipat asal.
Cewek asing itu menepuk bahu Vano. Refleks, Vano mengerutkan dahi. “Lo pernah ngak diatur-atur gitu? Atau orang bilang lo aneh? Beda? Sering bikin ulah? Hih, rempong banget mulutnya!!”
Vano tak menjawab, ia memilih untuk menggeser duduknya sedikit menjauh.
“Bagi dong! Gue haus!” Dengan seenak jidat, cewek yang sedang curhat colongan itu mengambil minuman berharga milik Vano. “Kan enak! Jadi seger lagi otak gue. Thanks, ya!”
Dengan cuek dia mengembalikan tempat milkshake kosong—yang sekarang pantas disebut sampah, pada Vano. “Nggak usah dipikir yang tadi gue omongin, ya. Gue cuma lagi mengekspresikan kekesalan gue aja,” ujarnya.
Lalu cewek itu berdiri, dan dengan percaya dirinya mengupil di hadapan Vano. Vano langsung mengerutkan dahi, tak percaya bahwa ternyata spesies seperti Mara masih banyak sekali di muka bumi ini.
***
Suasana sekolah ramai, karena ini jam istirahat. Vano yang sudah kembali ke sekolah merasa dongkol karena seharusnya ia kembali lebih lambat agar tidak perlu menemukan keramaian yang tak perlu ini.
“Sayaaaang!!” Leo melambaikan tangannya dengan heboh lalu langsung menarik lengan Vano menuju lapangan basket. Ternyata Bara sedang latihan, dan memang biasanya Vano, Leo, dan Dion selalu menonton.
Vano memilih duduk di kursi yang berada di sekitar lapangan basket untuk melihat Luna yang sedang menyuarakan yel-yel agar tim basket berlatih dengan semangat. Bahkan Luna dam tim-nya sudah melakukan lompatan-lompatan sampai tubuh Luna pun dilempar-lempar ke udara. Vano tak tahu apa namanya, tapi ia menikmati.
Ketika Luna sedang mencoba berdiri di antara paha timnya, membentuk formasi, tiba-tiba sebuah bola basket mengarah pada Luna, membuat gadis itu langsung oleng dan teman-temannya tak bisa menahan bobot tubuh Luna. Gadis itu terjatuh, sangat keras.
Semua orang yang berada di sana langsung menghampiri Luna, termasuk Vano. Bahkan jaraknya dan Luna terbilang cukup dekat, membuat Vano bisa lebih cepat melihat keadaan Luna. Kaki gadis itu sudah baret dan mengeluarkan cairan kental berwara merah. Vano hendak mengangkat tubuh Luna untuk dibawa ke UKS, tetapi tubuhnya seketika membeku. Kepala Vano pusing, dan ia yakin wajahnya sudah pucat seperti mayat.
Bara datang, dengan sigap cowok itu menggendong Luna yang sudah merintih kesakitan. Vano benci pada dirinya sendiri karena ia tak bisa berbuat apa-apa ketika orang yang ia suka sedang celaka dan membutuhkan pertolongan.
Tapi, tadi itu...
Darah.
Kenapa gue kambuh di saat yang nggak tepat?
***
Leo dengan tampang sok seriusnya dan Dion dengan ekspresi kalemnya sedang bermain catur. Mereka berdua asyik sendiri, tak sadar Vano sedang mengaduk-aduk jus mangganya dengan perasaan khawatir.
Vano memikirkan keadaan Luna, dan ia terlalu pengecut karena tak berani menengok gadis itu yang sekarang masih beristirahat di UKS.
“Bar, Luna nggak pa-pa, kan?” Leo bertanya, di sela-sela memindahkan poin. Sementara Vano ingin berterima kasih pada Leo, karena sejak tadi ia ingin bertanya.
Bara mengangguk. “Kakinya berdarah dikit, kena batu-batu kecil di lapangan. Selebihnya, nggak pa-pa.Gue mau ke Luna lagi, nemenin dia.”
Leo langsung memasang wajah menyebalkannya pada Bara. “Cieee!! Perhatian banget sih, Bang!”
Bara terkekeh. “Cowok tuh harus memprioritaskan tiga golongan. Anak-anak, orang tua, dan cewek cakep.”
“Setuju!!” Leo berteriak sambil mengangkat jempolnya. “Cewek kan emang harus diprioritaskan. Maka dari itu wajib ganti-ganti cewek biar bisa memprioritaskan mereka dengan adil.”
Leo dan otak gilanya...
Bara sudah pergi, kini Vano semakin dilema. Ia ingin ikut Bara tetapi nyalinya turun drastis. Mengapa Vano selalu tak berani jika berurusan dengan hal yang menyangkut tentang ketua pemandu sorak itu?
“Yon, lo udah pendekatan sama cewek nerd itu, kan? Inget ya, lo kalah taruhan!” Suara Leo berhasil mengembalikan fokus Vano. Dan ia baru ingat pada taruhan gilanya Leo.
“Iya, tenang aja,” jawab Dion, santai.
Vano bertanya, “Emang nama cewek itu siapa?”
“Anggun Agrella. Adik kelas, jurusan IPA. Dan lo mau tahu nggak, Van? Tuh cewek nerd sama kayak Dion, cenayang!” Leo menjelaskan dengan heboh sedangkan Vano hanya ber-oh ria.
Yang terjadi selanjutnya, Dion bangkit dari duduk kemudian pergi. Meninggalkan Leo beserta papan catur yang belum mendapatkan seorang pemenang.
Vano menepuk bahu Leo, “Gue mau jenguk Luna.”
Tanpa meminta persetujuan Leo, Vano langsung meninggalkan cowok itu. Terdengar desahan Leo yang berkata, “Mengapa semua orang meninggalkanku? Apa aku bau? Apa aku seperti kutu? k*****t!”
Vano hanya tersenyum kecil ketika Leo mulai kambuh lebay-nya. Ia meneruskan langkah menuju UKS sambil mengumpulkan keberanian. Ketika sudah berada di depan pintu dan siap membukanya, bukan keberanian yang Vano dapatkan, melainkan sebuah kejutan.
Kejutan pahit.
Karena di sana, ia menemukan sesuatu yang tidak pantas.