MUSIK 01
Suara piring yang sengaja dijatuhkan membuat seorang cowok yang sedang menikmati jus jambu menghentikan aktivitasnya. Ia melirik sang pembuat gaduh dengan wajah datar, mencoba memberi tahu bahwa ia tak terganggu. Lebih tepatnya, tak peduli.
“Tovano Malik Adiputra!” Suara geraman itu terdengar sangat kesal, bahkan hentakan-hentakan kaki pada lantai menandakan bahwa sebentar lagi akan ada perang dunia.
“Hmm?”
“Astaga, Kak Vano!”
Vano menjauhkan gelas berisi jus jambu nikmat, lalu menatap malas pada seorang gadis yang memakai setelan dengan gaya preman pasar.
“Apa, Mara?”
Amara Deissa Adiputra, adik kandung Vano, kembali berteriak pada sang kakak. “Lo minum jus jambu gue lagi!!”
“Oh,” jawab Vano, santai.
“Dasar lo, s****n—”
“Nih, gue udah nggak mau jus-nya.”
Dengan cuek, Vano memberikan gelas bekas jus jambu yang tinggal sisa-sisa perang pada Mara. Gadis SMA kelas sebelas itu langsung naik pitam, ia tak rela diperlakukan semena-mena oleh kakaknya yang irit bicara. Mara mengambil piring, hendak ia lempar lagi tetapi suara deheman dari pintu dapur membuat kegiatannnya terhenti.
“Ma, Pa! Kak Vano nyebelin!” Mara langsung mengadu pada orang tuanya. Ia memasang wajah paling dramatis, agar dibela. “Masa jus Mara diminum kak Vano lagi?! Ini nggak adil! Dunia ini kejam!”
Reno dan Aufa, dua orang berpredikat pasangan teromantis sepanjang masa menatap kedua anaknya sambil geleng-geleng kepala karena rumah mereka tak pernah sepi. Perang terooos!
“Mara pecahin piring, Ma.” Vano berkata dengan datar, tetapi Mara langsung kembali kesal. Gadis itu berkata, “Dasar tukang ngadu! Benci!!”
“Sama. Gue juga benci,” jawab Vano.
“Oke, berhenti. Vano, lain kali jangan minum jus adik kamu lagi. Dan, Mara, Mama nggak mau liat piring-piring Mama pecah lagi. Uang jajan kalian Mama potong.” Aufa bersuara, memberikan hukuman paling setimpal ketika dua Minions ini berbuat ulah. Sebenarnya yang sering membesar-besarkan masalah adalah Mara.
“Mengapa dunia ini kejam? Apakah salah hamba?! Uang jajan, kekasih halalku, selamat tinggal, Sayang!!”
Melihat adiknya seperti kesurupan jin, Vano langsung menyentil dahi Mara lalu melenggang dengan santainya keluar dari dapur, berjalan melewati tangga untuk melangkah ke kamarnya. Setelah sampai di ruang pribadinya, Vano langsung duduk, menghadap sebuah alat musik keyboard. Menikmati hobi sebelum tidurnya di kala libur sekolah.
Ketika alunan nada indah itu mulai terdengar, saat itu juga pintu kamar Vano terbuka. Seorang gadis berparas cantik, mirip sekali dengan Mamanya tersenyum lebar, meminta izin agar diperbolehkan masuk. Dia Meitha Kereen Adiputra, kakaknya.
“Kakak ganggu, nggak? Minta waktunya, ya.” Mei membawa kakinya mendekati Vano yang sudah menghentikan acara bermain keyboard.
Mei menampilkan senyuman yang selalu ia pamerkan jika sedang butuh bantuan Vano lalu berkata, “Kamu tahu kan, sekolah musik kita udah buka pendaftaran murid baru? Kakak mau kamu jadi coach piano lagi.”
Vano langsung mengerutkan dahi, mencoba mencerna permintaan kakaknya yang sudah ia tekadkan dalam hati bahwa ia tak akan pernah melakukannya lagi. Menjadi pengajar di sekolah musik keluarganya adalah hal yang paling salah.
“Nggak, Kak. Vano nggak mau,” katanya, dengan nada yang diusahakan tak membuat Mei tersinggung.
Mahasiwi Kedokteran sekaligus owner sekolah musik itu mendesah. “Mereka pasti seneng banget kalau kamu yang ngajarin.”
Tidak bagi Vano. Tahun-tahun kemarin adalah neraka. Ia pergi ke studio MVM—sekolah musik keluarganya—untuk mengajar dengan sungguh-sungguh. Membagi ide serta apa pun tentang musik dan piano. Lalu apa yang Vano dapatkan? Murid-murid cewek malah menggodanya, bahkan ‘menembak’-nya berulang kali.
Dia tak suka cewek agresif, terlebih jika mereka terlalu cerewet. Akan langsung dihapusnya dari daftar target pendamping hidup.
“Vano mau, ya? Please banget,” rayu Mei dengan wajah memelas.
Kalau lo tahu apa yang dilakukan murid-murid lo, Kak, lo nggak akan ngizinin gue masuk ke studio neraka itu.
“Vano nggak mau, Kak. Maaf.”
“Kenapa?”
“Vano udah kelas 12, mau fokus belajar,” sergahnya dengan nada serius.
Mei langsung cemberut, faham benar sifat adiknya. Jika sudah menolak, maka Vano tak akan melakukannya. Kecuali... kedua bola mata Mei berputar lincah, jika Mei menggertak dengan kalimat, “Kamu udah nggak sayang sama Kakak ya...” Ekspresinya pura-pura penuh iba.
“Kak...”
“Ya udah kalau nggak sayang.”
Vano menghela napas kasar, lalu mengangguk terpaksa. “Oke, Vano mau.”
The power of sister? Completed!
***
Vano mendesah ketika ia melihat mejanya penuh dengan barang-barang tak berguna. Hadiah dari seluruh siswi di SMA Citra Bangsa yang mengaku sebagai penggemarnya.
Alay.
“Cie, yang tumpukan kadonya semeja.”
Tepukan di bahu Vano membuatnya melirik. Di sana ada Bara, salah satu sahabat sekaligus sepupu Vano yang mempunyai senyum manis dan terkenal karena keramahannya.
“Buat lo aja.” Vano langsung memindahkan barang-barang serba warna pink itu pada meja Bara karena Vano yakin barang-barang tak berguna ini akan ia buang jika masih mengganggu pemandangannya.
Untung saja Bara pengertian. Ditambah cowok itu memang ramah pada siapa pun, tidak seperti Vano yang malas bersosialisasi. Sebenarnya ada dua orang lagi yang menjabat sebagai sahabat Vano, yaitu, Leo dan Dion. Mereka berdua pun berbeda sifat dengan Vano.
“Yayang Mvaaaaan!!”
Leo, sahabat Vano yang gesrek datang berniat mengacaukan jam istirahat Vano. Berdiri di depan pintu dengan wajah sok ganteng, meski sebenarnya memang ganteng. Lalu Dion berada disebelah Leo, mencoba menghentikan kegiatan alay yang sedang dilakukan sahabatnya.
“Gue kangen lo! Mau peluuuuuk!!” Leo berlari ke arah Vano, dan dengan sigap cowok berpredikat Pangeran Es itu menjauh.
“Gue masih normal,” cegah Vano.
Leo cemberut, lalu kepalanya ditempeleng Bara seenak jidat. “Berisik, Yo.”
“Gue kan kangen. Kita nggak ketemu selama lima jam!”
Jika Vano irit bicara, Leo kebalikannya. Jika Vano senang menyendiri, Bara kebalikannya. Jika Vano begitu dingin, maka Dion hampir mirip dengannya. Malah, Dion bisa melihat kejadian-kejadian di masa yang akan datang, alias cenayang. Seperti sekarang, Dion sedang menatap Vano, sementara yang ditatap sudah waswas. Dion selalu berhasil membaca pikirannya.
“Kalian berdua normal, kan? Ngapain pandang-pandangan?” Leo menyeletuk dengan mulut rempongnya.
“Oh.” Setelah berkata dengan nada datar, Vano melangkah keluar dan tak lupa membawa serta novelnya.
Vano duduk di bangku taman yang berada di depan lapangan basket. Di sana, beberapa anak cewek yang memakai kostum pemandu sorak khas SMA Citra Bangsa sedang latihan. Ada satu gadis yang menjadi titik fokus Vano saat ia menghabiskan waktu di tempat ini. Satu gadis yang diam-diam selalu Vano perhatikan dari balik n****+ yang sengaja ia bawa. Dan ketika menyaksikan sang gadis latihan bersama teman-temannya seperti inilah, Vano mampu melengkungkan bibirnya. Selain pelit senyum, ia termasuk pelit mengutarakan perasaan yang sudah tumbuh sejak lima tahun lalu.
Jika sudah melihat begitu riang gadisnya, biasanya Vano bersenandung asal, mengambil secarik kertas lalu menulis beberapa nada lagu. Pulang sekolah nanti, ia akan menggubahnya menjadi nada-nada yang lebih sempurna, hasil mengamati seorang gadis dari balik n****+.
Sebuah lagu bagi gadisnya. Tak usah orang lain tahu. Cukup keluarganya yang mengetahui rasa terpendamnya. Vano bosan jadi bahan ejekan ketika makan malam tiba.
Karena setiap nada yang mengalun dari tuts piano milik Vano, menggambarkan setiap detail perasaannya tanpa harus mengutarakan. Dan ini, adalah musik pembuka dari kisah seorang Pangeran Es yang menggenggam kuat cinta pertamanya.