MUSIK 02

1601 Kata
“Van, cewek bohay kelas sebelah ngeliatin lo mulu, tuh.” Celetukan Leo membuat Vano menaikkan sebelah alis tak tertarik. Bara langsung melempari cowok palyboy itu dengan kacang. “Dasar player!” ejeknya. Melihat kedua sahabatnya lempar-lemparan kacang, Vano memilih menikmati siomay di hadapannya. Mencoba tak terganggu, karena sekarang, Leo malah bercerita tentang kaset game yang baru saja ia beli. Tentu saja Vano tidak mau dengar, ia bukan para pembuang waktu seperti Leo atau Bara. Kedua sahabatnya itu juga sering ganti-ganti perempuan tanpa memberikan status yang jelas. Sedangkan Vano, ia begitu menghormati perempuan. Bayangan buruk berkelebat jika muncul keinginan menyakiti perempuan. Bagaimana jika Mara, Mei, atau bahkan Mama-nya diperlakukan tak baik oleh laki-laki lain? Sementara Dion, dia tidak senakal Leo dan Bara, tapi jangan terlalu percaya pada sifat cueknya yang mendekati aneh. “Bikin taruhan, yuk?” Leo menggebrak meja, meminta perhatian dari para sahabatnya. Vano hanya mengangkat bahu, sedangkan Bara dan Dion ikut-ikut saja. Mereka berdua adalah pengikut gerakan; Selow, Bro. “Gimana kalau kita taruhan buat punya nilai di bawah KKM pas ulangan Kimia nanti? Yang nggak remedial, harus pacaran sebulan sama cewek kacamata tebel itu, tuh!” Leo menunjuk seorang gadis yang sedang mengantre di depan gerobak bakso. Pakaiannya kebesaran, kacamata berlensa minus, serta rambut dikepang dua. “Nggak.” Vano langsung menyeletuk. “Vano, nggak asyik ah!” Leo melemparkan kacang ke arah Vano, “Lo takut kalah? Come on, pacaran sebulan doang nggak akan bikin otak encer lo itu jadi b**o!” “Van, buat seru-seruan aja,” sekarang Bara yang membujuk Vano. “Ya udah, terserah. Lagian gue nggak ikutan,” sahut Vano, cuek. “Nggak asyik ah, Van. Ikutan dong!” rengek Leo. Bahu itu terangkat dengan cepat. “Terserah.” “Dion, lo ikutan kan?” tanya Leo. “Gue sih, oke aja, lah.” Dion mengangguk setuju. “Van, lo yakin nggak mau remedial? Itu calon pacar lo, tuh.” Bara berbisik-bisik manja, lalu suasana mendadak hening. Membuat canggung, sehingga Vano langsung melirik pelan pada antrean di depan gerobak bakso. “Dia siapa?” Vano mencoba mengalihkan topik. Leo langsung mengangkat bahunya tidak peduli. “Pokoknya, siapa pun dia, akan jadi salah satu pacar kita kalau di antara kita nggak ada yang remedial! Deal!!”   *** Vano membaca perlahan soal Kimia di hadapannya. Sayangnya, ia tahu semua rumus dari sepuluh soal yang beranak ini. Bahkan jika mau, Vano bisa menyelesaikannya hanya dengan waktu lima belas menit. Pertama kali dan untuk yang terakhir, ia menjawab soal ulangan dengan asal hanya demi menuruti permainan bodoh para kawannya. Lalu Vano mengumpulkan kertas jawaban menuju meja Bu Caty. Beliau tersenyum penuh harap pada Vano sedangkan cowok tampan itu merasa bersalah. Karena kali ini, gurunya harus bersakit-sakit mata memeriksa hasil ulangannya. Vano keluar kelas, dan sebuah botol minum berisi air putih berada tepat di depan wajahnya. Ketika Vano tahu siapa yang memberinya, mendadak seluruh aliran darahnya terasa terhenti. “Van? Mau minum? Lo pucet.” Dia. Itu dia.  Gadis yang selalu Vano perhatikan dari balik n****+ ketika ia duduk di bangku taman. Gadis yang selalu menjadi objek utama ketika Vano memainkan jarinya di atas tuts-tuts piano. Dan, menjadi gadis yang selalu diperlakukan dengan dingin oleh Vano. Bukan apa-apa, Vano hanya selalu gugup jika harus berhadapan dengan seorang Luna Amanda Putri. Pemilik hatinya semenjak lima tahun lalu. Gadis cantik itu, Luna, melanjutkan, “Ambil aja, Van.” “Gue bisa beli sendiri,” jawab Vano cuek sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Luna beserta botol airnya. Setelah merasa lumayan berjarak dan jauh, Vano langsung mengatur napas serta ingin menonjok dirinya sendiri karena tak bisa biasa saja jika berhadapan dengan gadis pujaannya. Bagaimana jika gadis baik itu malah benci padanya? Vano tidak mau. Ada dua hal di dunia ini yang tak diinginkan Vano. Satu, Luna tahu perasaannya. Dua, Luna membencinya.   *** Dion mendapatkan nilai 90. Membuat para kawannya, termasuk Vano, menganga. Karena itu artinya, Dion lah yang kalah taruhan. Leo tertawa, disusul dengan Bara yang juga merasa kegelian. Sedangkan Vano hanya diam, menatap Dion dengan pandangan kasihan. “Kenapa lo ngeliatin gue, Van? Jangan kasihan sama gue, karena lo yang harus mengasihani diri lo sendiri,” tutur Dion, ambigu. Kebiasaannya, selalu mengucapkan kalimat yang memusingkan. Vano mengangkat bahunya santai. “Nilai gue 73. Gue remedial, Yon.” Dari arah pintu masuk kantin, Luna datang dengan kostum cheers, berjalan terburu-buru ke arah empat cowok yang sedang membicarakan taruhan tak penting mereka. “Hai, sori ganggu. Gue cuma mau ngomong sama Vano nih, soal tugas remedial.” Luna menunjukkan selembar kertas, dan ia langsung menatap Vano. “Van, kata Bu Caty, gue sama lo satu kelompok. Tugasnya nyalin rumus Kimia dari kelas sepuluh sampai kelas sebelas. Gila, kan?” Vano bingung ingin menjawab apa. Ia cukup kaget dengan kehadiran Luna, terlebih ketika gadis itu mengabarkan bahwa mereka satu kelompok. Astaga! “Iya, tugas remedialnya kejam banget!” Leo mengangguk membenarkan. “Tapi tenang, Lun. Enak kalau sekelompok sama Vano. Pangeran Es ini hapal semua rumus!” Luna terkekeh, mau tak mau Vano melirik sedikit pada gadis itu. Suara renyah dari tawa Luna membuat hati Vano senang. Memang sedikit berlebihan, tetapi katanya, cinta memang seperti ini. Dan Vano menyukainya walau merasakan sensasinya dalam diam. “Van, gimana kalau besok sore ngerjain tugas remedialnya?” usul Luna. Vano berdeham, dengan kaku ia mengangguk. “Oke.” Luna tersenyum, dan Vano jatuh kembali pada pesona ketua pemandu sorak ini. Luna sudah keluar dari kantin, meninggalkan jejak berupa perasaan menggelitik di hati Vano. Terasa geli karena lima tahun lamanya, Vano hanya bisa mengamatinya seperti ini. Diam di tempat, nyaman dengan rasa sepihak. “Bener kan, apa yang gue bilang?” Dion berbisik tepat di telinga Vano, dan Vano sadar bahwa sifat cenayang Dion sedang aktif. Menurut Dion, Vano harus kasihan pada dirinya sendiri karena akan mengerjakan tugas hanya berdua dengan Luna? Karena Vano akan canggung setengah mati atau mungkin mati benaran karena tak bisa mengatur napas? Cinta diam-diam Vano memang sudah tercium keluarganya ketika Mara dengan isengnya menunjukkan beberapa lagu yang Vano tulis khusus untuk Luna kepada orang tua dan kakaknya. Dan Vano melupakan bahwa pikiran Dion pun tahu. Cenayang s****n.   *** Vano turun dari mobil, mencari keberadaan Luna dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kantung jaket. Ia menemukan Luna sedang membantu seorang ibu memungut buah-buahan yang terjatuh dari keranjang. Di zaman serba mementingkan diri sendiri ini, ternyata masih ada sosok baik hati. Salah satu sifat istimewa Luna yang membuat Vano bertahan dengan rasa terpendamnya. “Vano!” Luna melambai-lambaikan tangan. Setelah membantu seorang ibu-ibu, gadis itu sekarang duduk di kursi taman, di bawah pohon yang cukup rindang. Vano berada di hadapan Luna, ia tak mau memperlambat waktu. Vano langsung bertanya apa yang harus ia lakukan dengan tugas-tugas remedial ini. “Duduk dulu, Vano.” Luna tersenyum, lalu bertanya, “Udah makan belum? Tugasnya banyak banget soalnya.” “Udah.” “Kita bagi-bagi aja biar cepet, ya?” “Terserah,” sahut Vano cuek. Ia mengambil buku dan pulpen Luna tanpa melirik sang pemilik. Lantas menulis seluruh rumus Kimia yang ia pelajari di kelas sepuluh. Vano masih menguasai semuanya dengan sangat baik, jadi ini cukup mudah. “Udah,” kata Vano. Luna terbatuk, ia tak percaya pada pencapaian waktu milik Vano dalam mengerjakan sesuatu. “Lima belas menit?! Keren!” Luna mengangkat jempol tangannya sambil tersenyum, dan Vano membalas senyuman gadis itu dalam hati. Vano hanya mengangkat bahu dan dengan santainya mengeluarkan ponsel untuk ia mainkan.  “Apa lo selalu kaya gini kalau ngomong ke cewek?” Vano menatap Luna datar, tak mengerti pada pertanyaan gadis itu. “Gini apanya?” “Nggak, kok. Eh, hujan, Van!” Dengan sigap Luna merapikan buku-buku, lalu tangannya menarik lengan Vano menuju stand makanan yang berada di wilayah taman. “Untung aja tugasnya nggak basah.” Luna berbicara pada dirinya sendiri, ia tak sadar bahwa Vano memperhatikannya. “Kalau basah, kerjaan kita sia-sia ya, Van?” Vano mengangguk kaku, “Iya.” “Gue lupa bawa jaket, nih. Dingin.” Luna menggosok-gosokkan tangannya. “Dingin...” Vano memasukkan tangannya dengan cuek ke kantung jaket. Lumayan, sedikit hangat. “Boleh tanya, Van? Lo nggak pernah nonton film drama romantis ya, Van?” Luna bertanya. “Nggak.” “Oh, pantesan...” “Pantesan apa?” Senyum di bibir gadis itu mengembang. “Lo nggak tahu caranya peka sama kode cewek.” Peka? Kode? “Emangnya cowok di drama romantis ngapain?” tanya Vano, datar. “Hmm… cowoknya peka kalau ada cewek di sebelahnya lagi kode.” “Gue nggak paham.” Sekarang suara kekehan Luna yang manis terdengar. “Gue kedinginan, Van. Lo nggak mau berbuat sesuatu, gitu?” “Emangnya gue harus apa?” “Lupain.” Luna tersenyum kaku. Vano mengangkat alis karena tak paham dan ia tak pernah nonton film romantis. Gue nggak tahu. Gue juga gak tahu kode-kodean. Gue bukan anak Pramuka. “Lo dingin?” tanya Vano pelan dan Luna mengangguk. “Tunggu.” Vano berjalan ke salah satu warung dan membeli sesuatu pada penjual. Tak lama ia kembali, dengan dua bungkus korek. “Gue liat di film Spongebob, pas mereka dingin mereka ngangetin tubuhnya di deket api. Nih, gue beliin korek.” Dengan canggung bagai embun menetes dikala pagi, Luna menggaruk kepalanya. “Nggak usah deh, Van. Udah nggak dingin.” Apa cewek selalu begini? Plin-plan? Sedetik bilang dingin, sedetik bilang nggak. Gue nggak paham sama jalan pikiran cewek. “Van, lo masih ngajar di MVM, nggak?” Luna mengalihkan pembicaraan dari dua bungkus korek api yang disodorkan Vano. “Iya.” “Semester ini gue masuk MVM lho, jurusan vokal. Nanti ketemu di studio ya, Van!” Dan sekarang, Vano panik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN