Adik dan kakak itu masih berdebat perihal orang yang sekarang sedang tertidur dengan wajah tanpa dosa di sofa ruang tamu. Dua puluh menit yang lalu, Mara sedang enak-enaknya bermain PS, dan Vano mengganggu sambil berkata ada orang asing yang tertidur di bagasi mobil milik Vano. Mara kira si kakak menculik seorang gadis karena frustrasi kehilangan Luna, ternyata bukan.
“ Gue nggak mau tanggung jawab!” Mara langsung berlari ke kamarnya, membuat Vano menggeram. Ia semakin pusing karena orang tua mereka sedang di luar kota.
Lantas Vano melirik gadis yang masih terlelap dengan antengnya. Kenapa juga dia harus tidur di bagasi mobil? Dari sekian banyak bagasi di dunia ini, kenapa harus bagasi milik Vano? Dasar s**l.
***
Setelah membangunkan Mara yang sulit bangun pagi, Vano langsung turun ke dapur untuk membuat sarapan. Tapi ada satu yang terlupakan oleh Vano.
Ada seseorang di kamarnya!
Vano berjalan terburu-buru menuju kamarnya, lalu sayup terdengar suara alunan musik.
Vano tanpa basa-basi membuka pintu dengan cepat. Ia melangkah ke arah orang yang tidak tahu sopan santun itu untuk mengambil kotak musik miliknya dan langsung mematikannya. “Jangan sembarangan nyentuh barang orang,” ujar Vano kesal.
Jingga tertawa keras. “Gue di kamar Mister? Ngapain?” Seketika ia terdiam dan dengan panik melihat keadaan tubuhnya. Rupanya pakaian yang ia pakai telah berganti, bukan baju miliknya.
“Aww!! Lo apain gue?!” Jingga menjerit heboh. “Ya ampun! Gue diperkosa cowok dingin!”
“Nggak jelas.” Vano menaruh kotak musiknya di dalam lemari lalu melemparkan handuk pada gadis yang sedang berteriak gila. “Semalem baju lo kena muntahan. Adek gue cewek, bantu gantiin baju lo.”
Gadis itu terdiam, masih memeluk tubuhnya sendiri. “Jadi gue nggak diperkosa?”
“Terus, gue diculik ya?!”
Vano mengerutkan dahinya bingung. Ini cewek bener-bener bodoh.
“Lo sendiri yang tidur di bagasi gue,” tegas Vano.
“Masa?”
“Iya.”
“Eh, iya, gue mabuk es lemon semalem.”
“Baju lo yang semalem udah kering. Lo bisa mandi di sana.” Vano menunjukkan kamar mandi di kamarnya dan gadis itu mengangguk dengan kikuk. Lalu Vano berkata, “Gue udah pesenin makan. Kalau pesenannya dateng, nanti gue panggil.”
“Iya.”
“Jangan turun sebelum gue panggil.”
“Hmm.”
Vano mengangkat bahu dengan cuek lalu meninggalkan kamar. Dia kembali ke dapur untuk membuat sarapan berupa nasi goreng. Vano sengaja menyuruh gadis itu diam di tempat karena Vano tidak mau ada orang lain yang melihat dan mengetahui dirinya mahir memasak, turunan dari ayahnya yang memang seorang chef. Karena sepanjang hidupnya, hanya keluarganya saja yang tahu ia bisa memasak. Bahkan ketiga sahabatanya sendiri saja belum tahu.
“Baunya enak!”
Vano tersentak dan langsung berhenti mengaduk nasi goreng. Ia berbalik dan melihat seseorang sedang duduk di meja makan sambil tersenyum-senyum riang.
“Gue bilang kan, jangan turun sebelum gue panggil,” suara Vano tertahan.
“Emangnya kenapa?”
Vano kembali menghadap kompor dan mengaduk nasi goreng yang hampir gosong itu.
“Takut ketahuan kalo lo bisa masak ya, Mister?”
Vano pura-pura tak mendengar celotehan Jingga.
“Cowok bisa masak malah keren, kok. Nggak usah malu.”
Vano tetap diam sambil memindahkan nasi goreng ke piring.
“Kok malu sih, Mister?”
“Gue nggak malu.” Akhirnya Vano menjawab.
“Kalau nggak malu, kenapa gue nggak boleh turun?”
Vano berjalan menuju meja makan dan meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Jingga. “Karena cuma keluarga gue yang boleh liat gue masak, orang asing jangan.”
Vano melirik ke arah Jingga sedikit, gadis itu tak berkomentar lagi. Mungkin ucapan Vano terlalu berlebihan padahal maksud Jingga bukan mengejeknya.
“Makan,” suruh Vano.
Gadis itu malah menatap Vano dengan sorot serius.
“Kenapa lo liatin gue kaya gitu?” Vano penasaran dengan tatapan anehnya.
Jingga mengangkat sebuah buku berwarna biru dongker ke atas dengan wajah datar. “Kenapa benda ini ada di kamar lo?” Lalu Ekspresi Jingga berubah menjadi berseri-seri. “Akhirnya… gue kira hilang.”
Vano sedikit bingung dengan perubahan mood gadis di hadapannya. Vano kira, Jingga akan marah. Dan tunggu, buku biru dongker itu milik Jingga? Berarti Jingga adalah siswi yang bolos kemarin?
“Lo nyuri buku ini dari gue, ya?! Ngaku!” Jingga berteriak.
“Sembarangan,” bela Vano.
“Mana ada maling ngaku! Lo harus tanggung jawab karena bikin gue hampir stres!”
“Kenapa gue harus tanggung jawab?”
“Atau gue bilang kalau lo jago masak! Biar semua orang tahu!”
Vano menatap emosi si gadis yang dengan berani menatapnya balik. Vano benci jika ada orang baru yang mengusik masalah pribadinya.
“Dan gue juga bakal bilang kalau lo punya kotak musik warna pink yang cute pake banget! Doyan juga minum milkshake strawberry!”
“Tukang ngancem,” desis Vano. “Lo minta apa? Duit?”
“Lo pikir gue matre?! Karena buku ini berharga, gue minta lima permintaan pertanggungjawaban!”
“Gila.”
Gadis itu meringis. “Ya udah, karena lo semalem udah nolongin gue, permintaan pertanggungjawabannya jadi tiga! Nggak mau tahu, lo harus tanggung jawab!”
Salah apa gue?
“Apa?” Vano ingin cepat-cepat selesai.
Gadis itu menyeringai. Ia memanfaatkan ketaklukan Vano dengan meminta: satu, cowok itu minta maaf. Dua, berteman dengannya, dan permintaan yang terakhir ia simpan dulu. Jingga tidak bisa berpikir kalau sedang lapar.
Dan Vano? Hanya bisa melongok.
Sialan.
***
Suara ketukan pintu berbunyi. Vano bersiap membukanya, tetapi Mara sudah berlari kencang mengalahkan Boboi Boy.
Mara langsung pergi mencari Papanya, sedangkan Vano menyalami sang Mama yang baru saja pulang dari dinas luar kota. Jiwa Vano lebih baik jika dibandingkan adiknya yang rusuh itu.
Aufa nyengir kecil pada Vano, lalu berjalan menaiki tangga meninggalkan Vano. Sekitar sepuluh menit berlalu, suara teriakan dari lantai atas terdengar. Itu suara Mamanya. Ada apa?
“Renooooo!!!!”
“Aduhhh, Reno!!!” Aufa berteriak karena suaminya dari tadi belum datang juga.
Reno yang baru masuk ke rumah langsung mencari keberadaan sang istri lalu bertanya, “Kenapa Mama teriak-teriak?”
“Haduh, Ren...” Sekarang Aufa bertingkah seperti orang yang sedang menahan pusing. “Kita terlambat, Ren... haduh!”
Reno dan Vano kebingungan, bahkan Mara yang baru masuk ke rumah lagi juga bingung dengan apa yang Aufa sedang lakukan.
“Gimana ini, Ren?” Aufa masih berlaku aneh. Sedetik kemudian melirik Vano. Lalu meraung-raung membuat semua orang tambah bingung.
“Bilang kamu kenapa? Aku bingung, Aufa sayang,” kata Reno menenangkan.
“Vano...” Aufa terisak lalu menunjukkan sesuatu di genggamannya. “Huaa!! Anak kamu ini, Ren! Jadi begini!”
Reno bertanya dengan dahi mengkerut, “Ini b*a siapa, Aufa? Terus kamu kenapa lirik Vano dari tadi?”
“Aku nemuin ini di kamar mandi Vano. Huaaa, terlambat sudah!”
Mara yang sedang makan ubi langsung tersedak. “Maksud Mama, kak Vano pake b*a?!” tanya Mara heboh.
“Iya!” Mamanya mengangguk, masih histeris.
“Sembarangan.” Vano membela diri. Karena memang tidak benar.
Aufa sudah menjerit. “Vano, bilang sama Mama, sejak kapan kamu berubah kaya gini, Sayang? Ya ampun, Vano!”
Vano tak bisa menjelaskan, ia pun bingung itu b*a siapa. Dan kenapa juga Mamanya berpikir yang aneh-aneh?
Ia melirik b*a yang masih berada di tangan Mama: warna hitam dan ukurannya cukup kecil. Ya, Vano tak peduli pada ukurannya, yang penting itu punya siapa?!
Dia mengingat-ingat, belum pernah ada orang yang masuk ke kamarnya, kecuali Mamanya, itu pun baru tadi. Katanya, b*a itu ditemukan di kamar mandi Vano.
Yang jelas bukan milik ketiga perempuan di rumah ini. Karena mereka sensitif masalah daleman.
Vano masih berdiri terdiam. Tiba-tiba Mara menyenggol lengannya. “Apa mungkin itu punya cewek yang semalem?” kata Mara, dengan suara kecil. Vano langsung teringat tadi pagi gadis itu mandi di sana. Dan... masa iya sampai b*a-nya tertinggal?
Dia nggak make dong?
Kemudian Mamanya menyuarakan sebuah ultimatum, “Vano, kamu akan Mama kenalkan dengan anak-anak teman Mama. Tak ada penolakan. Ini untuk kebaikan kamu juga agar kamu kembali normal!”
Astaga!