MUSIK 06

1075 Kata
Ketika Vano berjalan di koridor sekolah, ia melihat ada kegiatan ilegal yang sedang dilakukan seorang siswi. Tersangka itu menaiki tembok samping sekolah, sepertinya berniat kabur. Apakah Vano sudah memberi tahu bahwa ia paling tidak suka jika ada murid yang membandel? Jika belum, maka sekarang Vano beri tahu. Ia langsung saja berlari untuk menghentikan siswi yang berniat kabur itu, tetapi Vano terlambat. Tersangka sudah berhasil keluar dari area Citra Bangsa melewati tembok yang cukup tinggi, tidak peduli padahal dia memakai rok. “Calon-calon madesu,” hardik Vano, ketika siswi itu sudah tak terlihat. Ketika Vano melangkah untuk kembali ke kelas, ia tak sengaja menginjak sebuah buku berwarna biru dongker. Vano memungutnya, mencari nama si pemilik tetapi tak ada. Buku itu berisi banyak tulisan menyerupai curhatan. Sepertinya, buku diary. Vano membawa buku biru dongker itu untuk nanti ia laporkan pada guru BP. Hanya melaporkan satu murid badung memang tidak akan berpengaruh apa-apa, tetapi setidaknya Vano mengurangi jumlah pelanggar tata tertib di sekolah.   *** Malam ini jadwal nongkrong di pub. Vano ingin menolak, tentu saja. Karena ia tak pernah nyaman jika berada di tempat seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Vano tak mau membuat kawan-kawannya kecewa. Yang penting, Vano tetap memegang teguh prinsipnya: tak akan pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan para kawannya. Alias, Vano meminum strawberry milkshake  di saat para kawannya menenggak alkohol. Membaca n****+ dengan fokus di saat para kawannya mengajak cewek random berkenalan. Lalu, jika Vano sudah sangat hafal sifat jelek sahabatnya, mengapa Vano tak mencari teman yang lain? Karena Vano tidak mau. Ia yakin bahwa Bara, Leo, dan Dion adalah orang-orang yang tepat untuk dijadikan kawan dalam keadaan apa pun. Mereka memang punya kebiasaan yang terbilang buruk, tapi tak pernah memaksa Vano mengikuti pola hidup mereka. Mereka juga yang paling mengerti seberapa beku hati dan sikap Vano. Itu alasan mengapa Vano tak ingin punya sahabat dekat yang lain. Bagi Vano, sahabat itu: Bara, Leo, dan Dion. Sudah harga mati. Suara dentuman musik yang begitu keras sampai wangi minuman dengan aroma aneh langsung membuat Vano risih. Ini akan menjadi malam yang berat, untung Vano sudah menyiapkan n****+-nya. Membaca dengan lampu remang dan berkedip lebih baik daripada memperhatikan wanita-wanita dengan pakaian kurang bahan. “Minum, Van?” Bara menawarkan. Ngomong-ngomong, mereka semua sudah duduk di sofa sudut ruangan agar tak ada yang mengganggu. Vano menggeleng. “Gue milkshake strawberry.” Kontan teman-temannya terbahak. “Lo pikir ini pub punya kakek lo, Yayang Mvaaan?” timpal Bara. Vano yang gugup berhadapan dengan Luna lantas memesan mineral water. “Aku sama kayak Vano ya, Bar.” Luna memesan, dan Vano senang mendengarnya. Luna-nya memang gadis baik. Tak lama, Leo datang dengan merangkul seseorang di sebelahnya. “Guys, ini kenalin temen baru gue. Namanya Jingga Aldina. Nah Jingga, ini kawan-kawan gue.” “Mister?!” teriak Jingga sedikit kencang sambil melambaikan tangan pada Vano yang pura-pura sibuk dengan lembaran novelnya. Leo berkata, “Jingga, itu namanya Vano, bukan Mister. Nah yang itu Bara, di sebelahnya Luna pacarnya. Kalau Dion lo udah kenal, kan?” Jingga tersenyum lebar. “Salam kenal semuanya. Gue Jingga!” “Salam kenal,” sapa Bara dan Luna bersamaan. Lalu mata Jingga terarah pada Vano yang hanya diam, tidak menyapanya. “Cowok yang di ujung, sombong banget, sih. Kiw!!!” “Apaan, sih.” Vano menaikkan novelnya, lalu terdengar Leo tertawa cukup kencang. “Vano emang dingin-dingin manja gitu, Ji. Tapi Vano baik, kok.” Leo menepuk-nepuk bahu Jingga. “Lo mau pesen apa? Gue bayarin.” “Wah, oke-oke! Gue mau mie ayam, siomay, mpek-mpek, bakso juga, deh. Pisang bakar boleh nggak?” “Pub rasa kantin ya, Ji?” Bara terbahak. “Lho, emang salah?” tanya Jingga, bingung. “Lo minum bir nggak? Kalau nggak, pesen milkshake aja, mau?” tawar Leo sengaja menggoda Vano. Semuanya terbahak, kecuali Vano yang bertampang datar dan Jingga kebingungan dengan tawa yang serentak. “Tambahin bakpau lah, atau apa kek gitu. Laper gue,” cicit Jingga. “Daging tikus, mau?” Leo beralih menggoda Jingga. Setelah meja itu kembali diramaikan tawa, Leo memesan lemon ice untuk Jingga, lalu ia meminta waktu sebentar pada kawan-kawannya untuk mendekati seorang cewek yang menurutnya bisa diajak berkenalan. “Gue balik sama lo kan, Yo?” Jingga bertanya dan Leo mengangguk lalu berlalu. Bara juga membawa Luna pergi, sehingga di sofa itu hanya tinggal Vano dan Dion. Tak lupa, ada Jingga yang kebingungan harus melakukan apa. Ini pertama kalinya ia diajak ke tempat seperti ini. “Mister, lo lagi apa? Baca n****+ di pub? Ngelawak, ya?” Jingga sudah tertawa, sedangkan Vano tak berkomentar apa-apa. Matanya tetap terfokus pada n****+. “Sombong amat jadi cowok! Gue nggak mau ngatain, tapi lo emang kurang belaian banget jadi sifatnya kaya es, idih,” desis Jingga. “Vano emang dipanggil Pangeran Es. Tapi aslinya nggak sombong, kok.” Dion menjelaskan. “Gue sombong sama yang bukan temen,” celetuk Vano. “Lo nggak mau temenan sama gue?” Jingga langsung menaikkan sebelah alisnya.  Vano mengangkat bahunya cuek. “Emangnya lo siapa? Penting?”  “Belagak! Wah, s****n!” Jingga menggebrak meja, tak terima dihina. “Baru ganteng doang udah sombong. Dasar Pangeran Es kurang belaian!” “Sok kenal,” balas Vano. “Kok jadi berantem? Udah, ah. Mulai dari sekarang, kita temenan.” Dion melerai, ia cinta perdamaian seperti lagu-lagu Qosidah. Pesanan sepuluh gelas minuman milik Jingga akhirnya datang, sehingga gadis itu langsung meneguknya dengan cepat karena kepanasan mendapat hinaan dari seorang cowok tak punya ekspresi yang mempunyai tingkat kesombongan luar biasa. “Eh, nanti lo sakit perut minum ini banyak-banyak.” Dion memperingatkan Jingga yang masih mencoba menghabiskan cairan-cairan berwarna kuning itu. Tak lama, Jingga menghentikan acara minumnya karena kepalanya terasa berputar-putar. Sepertinya perkataan Dion menjadi nyata. Jingga langsung berlari entah ke mana. Melihat itu, Dion berkata pada Vano, “Si Leo mana? Anak orang mabok air lemon, noh.” Dengan cuek Vano mengangkat kedua bahunya. Ia bangkit berdiri, berniat ingin pulang saja karena acara nongkrong kali ini sangat tidak menyenangkan. “Gue duluan, Yon.” Vano pamit, membiarkan sahabatnya duduk sendiri di sofa. Tak sampai dua puluh menit kemudian, Vano tiba di rumah. Duk! Vano sudah keluar dari mobil, tetapi ia mendengar sebuah suara. Duk! Duk! Dari bagasi mobilnya! Vano langsung melangkah menuju bagian belakang mobil yang ternyata tidak tertutup rapi. Padahal Vano yakin sudah mengunci mobilnya ketika masuk ke pub. Tanpa menunda, Vano bergegas membuka bagasi dan sebuah pemandangan membuat Vano terkejut. Kok bisa dia di sini?   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN