MUSIK 20

1628 Kata
“Jadi selama ini kalian cuma pura-pura?!” Layaknya petir yang menyambar dahan kering, atau seperti ombak yang menabrak karang di lautan, suara itu terdengar begitu dahsyat. Vano sontak membalikkan tubuhnya ke sumber suara, Jingga pun tak kalah terkejut. “Ma-mara?” Lidah Jingga tak bisa bersuara dengan benar. Tangan kanan Mara secara perlahan mengepal. Air mukanya berubah, matanya menyipit, napasnya memburu. Ia melangkahkan kaki mendekati Vano dan Jingga yang berdiri seperti tanpa nyawa. “Tega kalian bohongin gue! Nipu Mama! Nipu semua orang!” “Maksudnya nggak gitu, Ra.” Jingga benar-benar mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa berbicara lebih baik dari itu. Iris mata Mara melirik Vano tajam.  “Ra, itu nggak sepenuhnya salah Vano.” Jingga menyentuh tangan Mara, namun gadis itu langsung menepisnya. “Oh, jadi cewek lo—maksud gue, cewek pura-pura lo ini ngaku salah juga, Kak Vano?!” Jingga meringis sakit. Bahkan Mara enggan berbicara padanya. Mara membentak,“ Kalian pikir kita semua apa sampai kalian pacaran pura-pura?!” “Mara...” Vano, bingung ingin menjelaskan dari mana. “Gue nggak tahu gimana reaksi Mama jika tahu ini,” Mara melirik sinis pada Jingga, “dan lo, Kak Jingga. Gue bener-bener kecewa sama lo!” Bibir bawah Jingga hampir berdarah karena terus ia gigit agar rasa bersalahnya tidak semakin bertambah. “Gue minta maaf.” Wajah Mara semakin memerah menahan kesal dan juga panas di hatinya. “Apa semua yang kalian lakuin selama di sini itu juga akting? Kalian pura-pura sweet padahal di belakang saling benci?!” Vano yakin ia tidak membenci Jingga. Dan apa yang Vano lakukan di sini dari kemarin, ia sendiri tidak tahu alasannya. Banyak sekali perasaan asing yang mengusik Vano belakangan ini. “Gue udah percaya banget sama lo, Kak Jingga! Gue kira semuanya real! Gue kecewa sama kalian! Dan Mama bakal sama kecewanya kayak gue!” Rasanya sakit ketika seseorang yang percaya pada kita, langsung membenci dalam sekejap karena perlakuan kita sendiri. Dan Jingga merasakannya. Dengan perlahan menahan isakan, Jingga berkata, “Gue akan bilang kalau gue selingkuh dan Vano putusin gue. Please, Ra. Jangan bilang ke Tante Aufa.” Bukannya menjawab ucapan Jingga, Mara lebih memilih berbicara pada Vano dengan nada yang sarat dengan kebencian, “Kak Vano, sebaiknya lo suruh pulang mantan pacar pura-pura lo ini ke Jakarta sekarang juga. Gue bener-bener muak liat mukanya. Cewek pura-pura lo bukan bagian dari keluarga.”             ***   Seharusnya hari ini Vano sekolah, tetapi badannya mendadak demam serta menggigil. Jadi, ia hanya tidur-tiduran di kamar walau sebenarnya ia ingin bertemu Jingga dan mencoba mengambil jalan keluar. Ya, kalau misalnya gadis itu ingin selesai, Vano inginnya selesai dengan baik-baik. Vano tahu, ini pasti akan terjadi: waktu di mana ia berhenti berpura-pura dengan Jingga. Hanya saja Vano belum menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan pada Mama tercintanya. Jingga pulang duluan saja, Vano harus memutar otak mencari alasan. Untung saja Mamanya percaya bahwa Jingga pulang duluan karena harus memperbaiki nilai sebelum UN tiba. Vano mengambil laptop lalu mengecek folder foto. Sekadar membunuh jenuh sebelum ia benar-benar mati karena bosan. Vano men-klik folder bernama Panti, sehingga muncul foto-foto anak panti yang ia ambil beberapa waktu lalu. Vano tersenyum kecil melihat kepolosan mereka, keceriaan mereka, semuanya asli tanpa dibuat-buat. Mata Vano terpaku pada satu foto, di mana ada seorang gadis yang mencium pipinya secara tidak sengaja. Vano tersenyum kecil. “Lo lucu juga.” Lalu Vano tersadar akan pikiran bodohnya dan langsung menutup laptopnya.  Apa yang barusan ia pikirkan? Jingga Lucu? Mustahil. Ponsel Vano bergetar, ada pesan dari adiknya. Mara : Es, lo tahu nggak kalau Kak Bara sama Kak Luna break?   ***   Jingga sudah berada di pesawat. Gadis itu menaruh koper mininya dan menyandarkan punggung di kursi. Ia tidak akan tahu jika seperti ini jadinya. Harusnya tidak seperti ini, harusnya Jingga tidak menangis, harusnya Jingga kuat, tapi semuanya menjadi sulit jika perasaan sudah ikut campur. Jingga men-dial nomer yang sedari tadi ingin ia hubungi. Jingga tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Atau mungkin setelah tahu, orang yang Jingga hubungi juga pasti akan menolak membantunya?  Persetan! Mengapa Jingga tidak punya siapa-siapa?! Panggilan Jingga tersambung. “Hallo, Jingga? Kenapa malem-malem hubungin gue?” Jingga tidak ingin terisak, membuatnya lemah, tapi gagal. “Bara...” “Ada apa, Ji?” “Gue nggak bisa cerita sekarang. Intinya, gue menuju Jakarta. Lo mau jemput gue di Bandara nanti?” “Oke-oke gue jemput. Nanti lo ceritain semua ke gue. Oke?” Untungnya, ia masih punya Bara.             *** Jingga menyeret koper dengan malas sambil mencoba mencari seseorang yang ia tunggu sejak tadi. Ia melihat orang itu juga tengah menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin sama-sama mencari. Tak menunggu lama, secepat rintik hujan yang mengecup bumi, Jingga berlari dan memeluk tubuh tegap itu sambil menutup matanya. “Makasih udah jemput gue.” “Ayo ke mobil.” Jingga mengangguk, ia berjalan beriringan dengan Bara yang membawakan kopernya menuju mobil. Jingga langsung duduk di kursi penumpang tanpa berbicara. Ia tidak menangis, tapi tatapannya kosong. Pemandangan itu membuat Bara semakin bertanya-tanya, karena tiga hari yang lalu Jingga sangat bersemangat pergi bersama keluarga Vano, dan sekarang gadis itu pulang dengan lesu. Sendirian pula. Di mana Vano? “Ada apa?” Bara benar-benar penasaran. Berat, tapi Jingga mencoba memberi tahu bahwa, “Gue putus sama Vano.” Jika tidak ingat ia sedang menyetir, mungkin Bara sudah menatap Jingga, tapi ia hanya bisa berdeham. Mencoba fokus, bersamaan dengan tetap mendengar cerita dari Jingga. “Apa Vano nyakitin lo selama di Bali?” Bara memastikan. Gue nyakitin dia karena maksa buat dia bales perasaan gue. Secara nggak sadar, Gue nyakitin dia! Jingga ingin sekali berteriak seperti itu, tetapi tidak mungkin. Akhirnya ia hanya bisa menundukkan kepala dalam diam, sunyi sebagai temannya. Bara iba walau belum mengetahui apa yang terjadi. Melihat gadis urakan berubah menjadi lesu, itu sangat aneh. Bara tidak menyukai Jingga yang seperti ini. “Apa pun alasannya, lo sekarang tenang. Hubungan berakhir itu hal yang biasa.” Tapi hubungan gue sama Vano nggak biasa. Gue sama dia pura-pura pacaran! Tapi sumpah demi langit dan bumi, perasaan gue nggak semain-main hubungan s****n ini! “Ngomong-ngomong, gue juga break dulu sama Luna,” ujar Bara dengan senyum kecil, membuat Jingga langsung menatapnya dengan sorot terkejut.   ***             “Van, liburan lo seru nggak? Soalnya Jingga nggak mau ngasih tahu. Dia aja dari kemarin mukanya lesu terus.” Mendengar itu, Vano melirik Leo. Alisnya terangkat satu, meminta Leo melanjutkan ucapannya. “Iya. Kayak nggak semangat hidup gitu padahal balik liburan. Ya, walaupun cuma tiga hari. Kalian berantem?” Lebih buruk dari itu. Vano langsung beranjak tanpa menjawab. Ia berjalan menuju kelas gadis itu, dan benar, Jingga ada di kursinya. Jingga mendongak, matanya menatap Vano. Ketika Vano melangkah masuk, dengan cepat Jingga keluar dari kelasnya, hampir berlari. Vano mengikuti gadis itu karena ia benar-benar sudah kesal.  Vano hanya ingin berbicara sebentar, apa salahnya? “Jingga!” Gadis itu masih saja berjalan tanpa peduli apa pun. Tapi Vano berani bertaruh kalau gadis itu sebenarnya mendengar suaranya. Hanya saja Jingga memang menyebalkan. Ia selalu membuat Vano kesal dulu, baru bisa diajak bicara. Vano akhirnya berhasil meraih lengan Jingga, menahan langkah gadis pemarah ini. Jingga diam dengan wajah tanpa ekspresi. Sekuat tenaga ia tak mau terlihat menghindar, tapi nampaknya Vano menyadari itu. Jingga menghela napasnya kemudian menatap manik mata Vano. “Ada apa, ya?” Nadanya sangat teratur, seperti bertanya pada orang asing yang belum dikenalnya. “Kita harus ngomong.” “Maaf, kita?” Vano meralat, “Gue sama lo.” “Soal?” “Hubungan—” “Hubungan apa, ya?” Vano mengerti alasan Jingga bersikap seperti ini, tapi Vano tidak suka. “Berhenti main-main.” “Main-main apa, ya? Maaf, jika tidak ada yang mau dibicarakan lagi, saya mau permisi.” Jingga melepaskan tangan Vano, berjalan pergi meninggalkan cowok itu yang diam mematung. Bahkan Jingga berkata sangat baku. Oh, c'mon, padahal Vano hanya tidak bertemu dengannya dalam waktu dua hari. Apa yang membuat gadis menyebalkan ini berubah menjadi sangat dingin? Vano tak mau berpikiran macam-macam, ia hanya ingin meluruskan tentang hubungan pura-puranya, lalu selesai. Jika memang berakhir, harus berakhir dengan baik. Mereka masih bisa menjadi teman. Vano dengan senang hati akan berteman dengannya, kalau gadis itu mau. “Ji!” Jingga yang mendengar Vano kembali memanggil, hanya berharap benteng di hatinya masih kuat. Bahkan tadi ia hampir menangis menatap bola mata Vano yang luar biasa indahnya, tapi tidak bisa ia miliki. “Gue mohon, sebentar aja.” Suara Vano terdengar lirih. Perisai Jingga akhirnya retak. Ia berhenti melangkah, berbalik untuk melihat wajah tampan Vano dengan jelas. Wajah tampan yang membuatnya uring-uringan akhir-akhir ini. Yang membuatnya lemah, membuatnya cengeng, membuatnya menangis, membuatnya jatuh cinta. Membuatnya merasakan sakit dan bahagia secara bersamaan. “Saya harap penting.” Dan berbicara seperti ini pada Vano, sangat menyakitkan. Vano menatap Jingga, walau gadis itu terlihat enggan. Lalu kalimat itu terucap, “Oke, hubungan pura-pura ini selesai. Tapi gue mau, lo sama gue masih bisa temenan. Gue nggak mau ada benci apa pun antara lo sama gue.” Jingga, bukannya itu yang lo mau? Udahan sama Vano? Jingga mengangguk perlahan, “Oke.” “Jadi kita temenan?” Ternyata mudah, sehingga Vano tersenyum kikuk. Hanya perasaan Vano yang menganggap ini tidak sulit, karena Jingga, ia menggeleng. “Anda pikir, saya masih bisa berteman dengan Anda setelah saya menyadari bagaimana perasaan saya pada Anda? Dan Anda, apa masih mau berteman dengan saya setelah Anda tahu perasaan saya pada Anda? Ini akan menjadi canggung. Anda dan saya tidak perlu menjadi teman. Hanya lanjutkan hidup masing-masing dan anggap saja tak pernah saling kenal.” Banyak hal yang ingin Vano tanyakan. Mengapa harus begini? Mengapa tak seperti itu? Dan banyak lagi. Tapi yang terpenting, mengapa Vano harus repot-repot ingin berteman dengan Jingga? Vano tak mendapatkan alasan. Entahlah. Tapi Vano, benar-benar tidak menyukai Jingga yang seperti ini.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN