3) Semusim

1644 Kata
Tak berapa lama mobil sudah sampai di garasi rumah Bu Nurul. Beberapa saat wanita yang sudah memiliki dua orang anak yang sudah mahasiswa itu, duduk bersandar pada sandaran jok. Dia tidak buru-buru turun dari mobil seperti biasanya. Terpaksa aku pun ikutan duduk menungguinya. “Apakah cerai bisa menjadi solusi terbaik, Pras?” Bu Nurul bicara sangat lirih. Jantungku seketika berdetak kencang. Entah mengapa aku selalu trauma setiap kali mendengar kalimat perceraian. Aku dan Prili sudah dua kali menjadi korban perceraian Mama. Dan adikku Patria pun harus mengalamainya, hingga kini jagoan kecilku jadi rada nakal. Apapun adanya,  perceraian tak pernah memberikan nilai tambah yang baik untuk anak-anak yang menjadi korbannya. Bisa jadi aku menjadi berandalan karena perceraian Mama. Belum lagi ayahku yang suka banget cerai kawin hingga 8 kali. Gila memang! Semoga saja adik-adikku tidak sampai mengalamai pahitnya menjadi anak korban perceraian orang tua. Ingin rasanya aku menyampaikan bahwa perceraian hanya akan membuat luka yang tak terhingga bagi anak-anak mereka. Namun aku tak berani mengatakannya. Belum saatnya Bu Nurul tahu siapa aku sesungguhnya. Masih banyak misi yang harus aku kerjakan demi kebaikan banyak orang.      “Oh iya Pras. Tolong jaga rahasia yang barusan ibu ceritakan. Tapi memang setelah bercerita sama kamu, ibu merasa sedikit plong. Ya, ibu memang tidak boleh terlalu egois dan harus benar-benar memahami kesibukan dan kondisi suami ibu sendiri,“ ujar Bu Nurul sambil tersenyum dan menatapku dengan sedikit sayu di bawah cahaya lampu garasi. Entah apa yang dia dapatkan dalam perenungan dan terdiam beberapa saat dalam mobil ini. Bu Nurul memang sangat ajaib, sifat dan karakternya bisa berubah-ubah dalam hitungan menit, bahkan detik. “Syukurlah Bu kalau sudah plong.  Pokoknya walau pun saya belum tentu bisa memberikan solusi atau jalan keluar, tapi jika curhat bisa membuat ibu plong, saya siap menjadi pendengar setia, kapan pun ibu membutuhannya.” Aku kembali menghibur dan sudah terbayang hadiah sebungkus rokok dari Pak Arnadi karena sudah bisa membuat Bu Nurul kembali tersenyum. “Hmmm.” Bu Nurul menggumam, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan namun ragu. “Yang penting ibu harus kembali ceria. Jangan memendam duka dan kesedihan seorang diri. Siapa tahu nanti bisa curhat secara terbuka juga dengan Bapak.” Entah darimana datangnya aku tiba-tiba menjadi seorang brondong yang sok tahu tentang hubungan suami istri. “Beneran ya? Kamu harus janji dulu sama Ibu, kalau kamu mau membantu ibu keluar dari kesedihan dan kegalauan itu, Pras.” Bu Nurul bicara dengan suara yang sedikit serius. “Iya Bu, saya janji. Selagi memang curhat itu bisa membuat ibu bahagia. Siapapun tentu saja akan selalu butuh teman untuk berbagi. Suatu saat mungkin saya juga butuh ibu untuk sekedar curhat.” jawabku dengan sangat antusias dan berharap Bu Nurul segera turun dari mobil dan melupakan masalah yang membuatnya sedih dan cemberut. Sejatinya aku juga sudah ingin segera masuk ke kamar mandi karena kebelet ingin buang air besar. Sebenarnya rasa ingin BAB ini sudah sejak selesai makan bakso tadi. Namun terpaksa aku tahan-tahan dan tanggung kalau harus numpang BAB di pom bensin. Aku baru masuk kamarku sekitar jam 9 malam. Sama saja dengan hari biasa. Padahal tadi menjemput Bu Nurul jam lima sore. Ternyata cukup lama juga aku dan dia ngobrol di mobil dan di kedai bakso. Namun demikian aku berharap semoga besok dia sudah kembali ceria seperti lima hari yang lalu. Kegiatan hari ini benar-benar menguras tenaga. Badanku rasanya lengket semua. Setelah selesai BAB dan mandi, aku segera memakai kaos dan training. Rencananya malam ini mau main ke rumah teman, namun sepertinya harus aku batalkan karena mataku sedikit ngantuk. Ketika akan mengirim pesan pada sahabatku untuk membatalkan rencan bertemu, tiba-tiba masuk sebuh pesan dari Bu Nurul. [Pras, sudah mandi belum?] [Sudah Bu, baru saja selesai] balasku [Kamu mau makan gak? kalau mau makan bareng aja temani ibu] [Sebenarnya masih kenyang sih, Bu. Tapi saya siap menemani ibu makan] [Ya udah Ibu tunggu di ruang makan ya, Pras] [Siap Bu!] Walau sebenarnya agak ngantuk namun dengan sangat terpaksa aku kembali masuk ke rumah utama. Dan ternyata di meja makan Bu Nurul sudah siap dengan segala hidangan yang baru saja disajikan Bi Asi. Mataku sedikit kelilipan melihat Bu Nurul dalam pakaian bebas yang sedikit membuka aurtanya di bagian sana-sini. Baru kali ini aku melihat dia memakai daster yang lebar belahan lehernya hingga dua gunung kembarnya tampak sedikit terpampang indah. “Temani ibu makan ya. Biar gak marah-marah mulu. Hanya Mas Pras yang bisa membuat ibu tersenyum. Kami orang-orang rumah, sangat berharap sama Mas Pras,” pesan Bi Asih dalam bisikannya saat kami berpapasan di dapur. Walau awalnya aku tak berniat untuk makan, namun karena menu yang terhidang sangat menggugah selera. Akhirnya lidahku tak kuasa untuk menahan liur yang hampir menetes. Sepanjang menimati makan malam, telingaku dijejali dengan berbagai cerita Bu Nurul yang telah kembali semringah. Wajahnya pun aku lihat tambah cantik dan berseri-seri. Mungkin karena pengaruh pakaian rumah yang relatif terbuka serta cahaya ruang makan itu yang terang benderang. Setelah makan selesai, kami tidak lantas beranjak dari meja makan, tetapi melanjutkan obrolan dengan berbagai topik yang ujung-ujungnya pada urusan ranjang kembali. Sedikit rikuh, namun harus diladeni. Sejujurnya si Jagur sudah mulai cenat-cenut karena Bu Nurul bercerita seperti sengaja menggodaku atau mengajakku untuk kembali berkhayal pada masa-masa lalu, saat aku masih sangat nakal. Dan itu semua sudah aku tinggalkan, secara pelahan-lahan sejak kenal dengan Pak Budi. Dengan sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak sampai si jagur terbuai dengan obrolan yang sudah mulai menjurus sedikit panas. Beberapa kali aku mengirim WA pada Bi Asih agar segera merapikan meja, namun tampaknya wanita berusia 35 tahun itu sudah tidur. Selang beberapa menita ketika Bu Nurul sedang seru-serunya bercerita tentang masa remajanya yang ternyata belum pernah pacaran dengan Pak Budi itu, tiba-tiba Bi Asih yang matanya sudah sangat redup datang untuk membereskan meja makan. Wajah Bu Nurul terlihat sedikit kesal, namun kehadiran Bi Asih sesungguhnya sebuah anugerah. Tubuhku sudah mulai gerah dan panas dengan cerita panasanya. Hampir berbarengan dengan Bi Asih, aku pun kembali ke kamar. Beberapa kali Bu Nurul seperti ingin bicara padaku, namun dia batalkan. Aku bisa paham jika dia masih sangat ingin curhat denganku. Tetapi sejujurnya aku mulai merasa tak enak hati duduk berdua dengan istri orang. Khawatir ada orang lain yang mencurigai. Walau sebenarnya sangat kecil kemungkinan ada yang mengintip, kecuali Bi Asih dan Mang Sarta. Beberapa saat setelah sampai di kamar, aku tertegun sambil merenungi kembali semua obrolan Bu Nurul. Sebagai lelaki yang sudah sangat paham dengan urusan dewasa, aku tahu betul kemana arah pembicaraannya. Apalagi selama ngobrol berlangsung, sepertinya dia tak pernah bosan-bosannya memuji ketampanan dan keindahan bentuk tubuhku. Rayuan maut berkedok modus itu sudah terlalu sering aku dengar dari wanita-wanita seusiaya. Sejujurnya aku sudah bosan dengan gaya basi demikian. Setelah sekian lama aku telentang dan merenung di atas kasur, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk ke whatappku dari Pak Budi yang menanyakan berbagai kegiatan hari ini. Sepertinya dia masih akan menunda lagi rencana kepulangannya karena masih ada banyak kliennya yang masih menunda waktu untuk membayar hutang. Sebenarnya aku sendiri sedikit aneh dengan gaya Pak Budi. Semua relasi bisnisnya selalu memabayar semua transaksi dengan sistem transfer. Namun dia merasa tak puas jika tidak bersilaturahmi langsung dengan para sahabatnya itu. Menurut pengakuannya, minimal tiga bulan sekali dia akan menyempatkan diri untuk mendatangi semua relasinya baik yang punya utang atau pun tidak. Masih menurut dirinya bahwa jaringan bisnis tidak cukup hanya dijalin dengan sistem online. Dia justru banyak mendapatkan planggan baru, bukan dari online tapi dengan cara belusukan seperti itu. “Penambahan konsumen, bisa lebih diatas sepuluh persen, Pras setiap kali bapak sambangi mereka,” ujar Pak Budi waktu itu. “Nanti Pras juga akan bapak ajak jalan-jalan, jika waktunya sudah pas. Sekarang bapak masih ingin sendiri dulu.” Namun demikian menurut Bu Nurul, juga Bi Asih, Pak Budi tak pernah mengajak orang lain saat sedang berdinas luar. Sopir pribadinya yang dulu, walau sudah hampir sepuluh tahun ikut dengannya, namun tak pernah diajak jalan-jalan ke luar Jawa Barat. Bahkan jika terpaksa Pak Budi harus membawa kendaraan, maka dia akan mengendarainya sendiri. “Mungkin bapak punya istri lain di sana,” gosip dari Bi Asih. Mungkin juga demikian, sehingga dia benar-benar menyembunyikan segalanya.      Pukul setengah dua belas malam. Tak terasa malam sudah beranjak jauh, hingga mendekati setengahnya. Aku kembali rebahan dan baru saja beberapa menit tiba-tiba kembali hapeku membunyikan notifikasi pesan whatapp. Kali ini dari Bu Nurul. Aku sedikit tersentak, ternyata wanita setengah baya yang masih super cantik itu masih belum tidur. [Pras sudah tidur belum] Sebenarnya aku ingin membalasnya dengan kata ‘sudah’. Namun ketahuan banget bohongnya karena pesan yang dia kirim sudah terlanjur aku baca dan dia pasti tahu jika aku masih beum tidur.  [Belum, Bu] Akirnya aku membalas demikian. [Pras bisa mijit gak? badan Ibu rasanya greges-greges semua] [Boleh, Bu. Dimana?] [Di kamar Ibu aja ya. Ibu tunggu ya, Pras. Kalau gerah pakai celana pendek aja] Beberapa saat aku tertegun. Sudah sangat paham apa maksud Bu Nurul memintaku memijat. Bukankah bisanya jika dia sedang tidak enak badan atau greges-greges selalu meminta Bi Asih? Sepertinya aku lihat tadi saat ngobrol dia segar bugar bahkan tak sedikit pun mengeluhkan badannya yang pegal-pegal. Jadi seharian kemain senam dan nyalon apa saja? Bukankah di salon juga sering melakukan pemijatan? Mengapa harus tengah malam begini dan mengapa harus di kamarnya. Dan mengapa aku harus pakai celana pendek. [Cepetan ya Pras, takut keburu malam] Takut keburu malam? Ini sudah tengah malam kali. Walau dengan sejuta keraguan, aku segera memakai celana dalam, celana pendek bahan dan terakhir memakai celana training. Bukan munafik, namun aku harus berjaga-jaga jangan sampai tergoda saat memijatnya nanti. Gerah sih tapi di kamar Bu Nurul kan ada AC. Apapun adanya aku harus tetap memposisikan diri sebagai sopirnya, sebelum misiku tercapai. Harus memegang teguh janjiku pada Mama dan keluargaku untuk menjadi orang yang baik, tidak lagi mudah terbawa arus birahi yang telah menyengsarakan diriku dan keluargaku.  “Ma, doakan Aa, agar tetap tegar dan waras Amiin!” ucapku lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN