Yusuf segera membereskan perlengkapan mengajarnya, kemudian memasukkannya ke dalam tas punggung berwarna hitam dan segera pulang. Hujan yang turun sejak pukul setengah tiga baru reda pukul lima sore. Tak jauh berbeda dengan Yusuf, guru lainnya pun melakukan hal yang sama, berbenah secepat mungkin dan bergegas pulang sebelum hari semakin gelap.
Udara dingin menyusup melalui celah jaket yang dipakai Yusuf. Pemuda tersebut mengendarai motor dengan kecepatan sedang di atas jalanan yang licin. Meskipun Cianjur bukanlah kota yang cenderung berhawa sejuk ataupun dingin, namun sisa-sisa hujan selalu meninggalkan hawa yang menusuk tulang.
Pukul lima lebih lima belas menit, Yusuf sudah sampai di rumahnya. Ia memasukkan motor ke dalam garasi dan lekas naik ke atas menuju kamarnya. Setelah membersihkan diri dan makan, Yusuf pergi ke gazebo di belakang rumah untuk menemui ayahnya. Sekadar ngobrol singkat sembari menikmati kudapan yang dibuat ibu.
Di gazebo, seorang pria paruh baya tengah membaca koran. Setelan sarung kotak-kotak dan kaos oblong berwarna putih selalu menjadi outfit sehari-hari jika ia berada di rumah. Di sampingnya terdapat secangkir kopi hitam setoples kue kering.
"Asyik banget bacanya," tegur Yusuf, kemudian duduk di samping ayahnya.
Malik—ayah Yusuf—mengalihkan pandangannya dari koran yang ia baca, lalu menatap sang putra dengan pandangan hangat. "Baru pulang, kamu?"
"Iya. Tadi hujannya gede banget." Yusuf mencomot sebuah kue dan memakannya. "Transformasi jadi anak senja, Yah? Nongkrong sore-sore, udah mau maghrib, ditemenin kopi, lagi. Untung nggak sambil dengerin musik indie."
Malik tergelak. "Bisa jadi." Koran yang tadi dibaca olehnya disimpan di samping tubuh. Fokusnya kini berpindah pada sang putra. "Gimana, sekolah? Betah ngajarnya?"
"Ya ... gitu, deh." Pandangan Yusuf menerawang. "Betah. Banyak yang cantik-cantik soalnya."
"Dasar. Nggak bisa lihat yang bening dikit, langsung nengok."
Yusuf tertawa, lalu menunduk selama beberapa detik, menyembunyikan senyumnya. Seketika saja ia teringat seseorang.
"Kenapa? Lagi mikirin sesuatu?" Malik bertanya saat melihat gelagat aneh dari anaknya.
"Yusuf pengen nikah, deh, Yah," celetuknya.
"Lah?" Sang ayah tercengang. "Emang punya calonnya? Udah bosen, ya, dapet undangan walimahan terus? Pengen cepet-cepet ngasih undangan ke orang lain?"
"Kalau calon ya belum ada, sih. Bener, Yah, Yusuf udah bosen dapet undangan terus. Yusuf pengennya tiba-tiba nyebar undangan."
"Makanya, cari. Ikhtiar. Hobinya ngelajang terus, sih."
Helaan napas terdengar pelan di telinga Malik.
"Bukan hobi, tapi emang belum ada yang cocok."
"Yusuf," panggil ayahnya. "Kalau emang kamu mau nikah secepatnya, nikahlah karena kamu siap. Siap mental, siap finansial, siap ilmu, jangan lupa siapin calonnya juga. Jangan mau nikah cuma karena hawa nafsu." Malik memberi jeda pada sela pembicaraannya. "Usia kamu memang sudah cukup matang untuk segera membina rumah tangga. Kamu baru 24 tahun, satu tahun lagi, usia kamu udah ideal buat menikah. Kalau memang kamu udah siap sama perintilan yang tadi ayah sebutin, ya silakan" sambungnya.
Yusuf meresapi nasehat ayahnya dengan baik. "Insyaallah Yusuf siap. Tapi, cari pasangannya itu nggak semudah cari jarum di tumpukan jerami, Yah," ujar Yusuf dengan nada sedikit lebay.
"Lah, emang kata siapa cari jarum di tumpukan jerami mudah? Susah, kali," balas Malik terheran-heran.
"Nah, itu," pekik Yusuf membuat sang ayah sedikit terkejut. "Nyari pendamping hidup itu harus bener-bener teliti, Yah. Kalo salah, bisa-bisa kehidupan rumah tangganya juga kacau nanti."
Kening Malik mengernyit mendengar tutur kata yang dilontarkan anak sulungnya. "Memang betul apa yang kamu bilang, Suf. Tapi, kok rasanya ayah kenal ya kalimat yang kamu bilang tadi. Itu kalimat hasil copas dari ayah, ya?" selidiknya.
"Hehehe, tahu aja sih Bapak Malik."
Malik menggeleng takzim, lalu menepuk pelan pundak anaknya. "Makanya, kalau emang kamu mau nikah, harus usaha. Jangan cuma diem aja, terus nggak ada action sama sekali. Allah nggak akan mungkin kasih kita sesuatu begitu aja, kamu juga harus ikhtiar. Jangan nunggu dikasih jadi," pesan Malik pada Yusuf.
Yusuf mendengarkan baik-baik apa yang diucapkan ayahnya. Perihal jodoh, memang tidak bisa selalu cepat. Terlalu cepat bertindak, bisa jadi keliru dalam memilih pendamping hidup. Semuanya harus dipersiapkan dengan baik dan matang, agar kehidupan rumah tangga kelak juga tidak memburuk.
"Nah, ini juga Yusuf lagi ikhtiar, Yah."
"Ikhtiar gimana, maksudnya?"
"Ikhtiar buat deketin calon jodoh Yusuf." Pemuda itu tersenyum lebar. "Doain, ya, Yah. Semoga dia jodoh yang udah Allah siapin buat Yusuf."
Pandangan Malik berubah penasaran. "Siapa perempuan yang kamu taksir?"
Senyum Yusuf mengembang, kini lebih lebar. "Dia first love Yusuf, Yah."
***
Zahra berdecak kesal ketika otaknya terus saja memikirkan hal yang sama. Gadis itu menggeram. Yusuf, gurunya, kini tengah memenuhi seluruh ruang di kepalanya. Belum lagi, debaran yang tadi dirasakan Zahra. Gadis itu mencoba berpikir positif. Debaran itu adalah hal biasa. Debaran yang muncul karena Yusuf tiba-tiba datang ketika Zahra tengah membicarakannya. Astagfirullah, Zahra beristigfar. Ia sudah berkomitmen pada diri sendiri, untuk tidak melibatkan perasaan pada hal remeh-temeh yang menyangkut soal Yusuf. Tapi ... Yusuf selalu tersenyum padanya. Ia menampilkan jenis senyum yang berbeda.
Zahra menggeleng kuat-kuat. Menyingkirkan pikiran absurd tersebut. Daripada ia berpikir yang tidak-tidak, lebih baik dirinya pergi ke ruang keluarga menemui orang tua dan kakaknya. Lumayan, bisa menyegarkan otaknya. Di sana, rupanya umi, abi dan kakaknya tengah berbincang, dan tampaknya perbincangan tersebut sangat serius. Zahra lantas bergabung dan duduk di samping Umi Nadia.
"Aku minta abi sama umi buat nganter dan nemenin Rizki ke rumahnya Zulaikha."
"Hah?!" pekik Zahra kaget. "Ngapain? Kakak mau ngapel?"
"Eh, enak aja" Rizki membulatkan matanya ke arah Zahra, memberitahu bahwa apa yang dikatakan adiknya itu tidak benar. Sementara Abi Zaki dan Umi Nadia hanya tersenyum simpul mendengar permintaan anak laki-lakinya.
"Kamu udah benar-benar yakin sama keputusan kamu? Udah istikharah juga?" tanya Abi Zaki.
"Insyaallah keputusan Rizki udah bulat, Bi. Rizki udah istikharah, dan sebelumnya juga udah ketemu sama orang tuanya Zulaikha," jawab Rizki mantap.
"Kamu bener-bener yakin, Ki? Udah siap mental? Finansial?" Kini giliran Umi Nadia yang memburu anaknya dengan beberapa pertanyaan.
"Yakin, Mi. Kalau Rizki nggak siap nikah, Rizki nggak mungkin ngajak Zulaikha untuk taaruf. Rizki siap dengan segala halnya. Entah itu mental, ilmu, finansial. Calon jodohnya aja udah siap. Rizki juga insyaallah bisa memenuhi kebutuhan hidup setelah nikah nanti, tentunya dari hasil Rizki kerja selama ini."
"Jadi, kak Rizki mau khitbah Kak Zulaikha?"
"Iya, kenapa? Mau nyusul juga?"
"Dih, aku masih muda, kali. Masa depannya masih panjang."
Rizki mendengus pelan. "Kakak yakin, kamu sebentar lagi pasti bakalan nikah."
"Lho, jangan dong. Nanti kuliah aku gimana?" protes Zahra.
"Ya sambil nikah kan bisa ... eh, maksudnya sambil menjalani kehidupan pernikahan."
Zahra menggeleng beberapa kali. "No, no, no," balasnya sambil menggerakkan jadi telunjuknya ke kiri dan kanan. "Aku baru mau nikah kalau udah lulus kuliah."
"Nggak. Kamu nikahnya habis lulus SMA," tepis Rizki bersikukuh.
Umi Nadia berdecak melihat kelakuan kedua anaknya. Mereka berdua memang selalu berdebat apabila disandingkan seperti sekarang ini. Tiada hari tanpa perdebatan antara dua kakak beradik tersebut.
"Udah, ah. Debat mulu, nggak habis-habis," sela Umi Nadia di tengah perdebatan kedua anaknya. "Jadi, kapan kamu mau ajak umi sama abi ke rumahnya Zulaikha?"
Senyuman kecil muncul pada bibir Rizki. "Kalau bisa weekend ini, Mi, soalnya orang tua Zulaikha minta buat datang secepatnya."
"Duh, yang kepengen nikah, ngebet banget, ya," goda Zahra.
Rizki mendelik kesal, sementara Abi Zaki tersenyum mendengar ucapan putrinya. "Kamu mau juga?"
Zahra kontan menggeleng, "Nggak, Abi. Zahra kan udah bilang nggak mau nikah muda."
Abi Zaki hanya mengangguk kecil, kemudian kembali fokus pada putra sulungnya. "Oke. Weekend ini kita pergi ke rumahnya Zulaikha," putusnya.
Dalam hatinya, Zahra merasa senang karena kakak tercintanya sebentar lagi akan mengkhitbah seorang perempuan yang dikenal sholeha. Ia tahu sifat Zulaikha karena Rizki selalu menceritakan sosok tersebut pada kedua orang tuanya beserta Zahra. Rizki selalu terbuka dalam segala hal, termasuk soal hati. Saat akan melakukan taaruf, ia juga meminta izin terlebih dahulu pada Abi Zaki dan Umi Nadia.
Proses tersebut berlangsung singkat. Rizki berniat taaruf dengan Zulaikha satu bulan yang lalu. Kemudian saat ini ia kembali berniat untuk mengkhitbah Zulaikha. Mungkin kurang dalam satu bulan Rizki juga akan melaksanakan ijab kabul serta walimahan. Senangnya, sebentar lagi Zahra mempunyai kakak ipar.