PART 7 - Obrolan Bertiga

1146 Kata
     Yusuf melafalkan sepuluh ayat pertama Surat Al-Kahfi dengan suara yang pelan sembari berjalan menyusuri koridor sekolah. Sekarang hari Jumat, setelah membacakan ayat suci Al-Qur'an bersama-sama lewat pengeras suara, Yusuf dan guru lainnya baru bisa memasuki kelas. Itu merupakan kegiatan rutin SMAN Cianjur.      Sejak kemarin, perkataan ayahnya masih terngiang di benak Yusuf. Sudah benar-benar siapkah ia untuk menikah? Hatinya bimbang, namun ia merasa telah siap untuk melanjutkan langkah ke jenjang yang lebih serius tersebut. Mental? Siap. Ilmu? Insyaallah, Yusuf tidak pernah melewatkan kelas pranikah. Finansial? Yusuf yakin ia sudah memiliki finansial yang oke. Hanya saja, yang belum siap saat ini adalah jodohnya.       Hingga sekarang, Yusuf masih belum dapat mendekati perempuan yang disukainya sejak lama. Jika yang ayahnya katakan adalah ikhtiar untuk menjemput jodoh, maka mulai sekarang Yusuf akan melakukannya. Seserius mungkin.       Allah sudah memberikan kesempatan dan ia harus berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memperoleh keinginannya. Setidaknya ia sudah berikhtiar dengan caranya sendiri. Sebagai seorang hamba,Yusuf hanya bisa berencana dan berusaha sesuai kemampuannya. Tahap terakhir adalah tawakal. Untuk hasilnya, biarlah Allah yang tahu.      Beberapa langkah lagi Yusuf tiba di ruang kelas tempatnya mengajar. Sepuluh ayat pertama Surat Al-Kahfi sudah selesai ia lafalkan sejak tadi. Kemudian dilanjutkan dengan lantunan sholawat hingga ia tiba di kelas. ***      "Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Setelah mengucapkan salam, Yusuf berjalan meninggalkan kelas 11 IPS 2. Jam istirahat baru saja berbunyi beberapa saat yang lalu. Kebetulan hari ini Yusuf tidak membawa bekal makan siang, jadi ia berencana makan di kantin setelah menyimpan seluruh peralatan mengajarnya di ruang guru.      Suasana kantin tampak ramai seperti biasanya, beberapa rekan Yusuf sesama guru juga memilih untuk makan siang di kantin. Setelah memesan roti bakar, Yusuf lalu melihat seluruh penjuru kantin. Mencari tempat kosong yang bisa dipakainya untuk duduk. Namun nihil, semuanya sudah terisi penuh terkecuali salah satu bangku yang diduduki oleh dua orang siswa perempuan.       Kesempatan bagus, pikir Yusuf. Mulai sekarang, ikhtiarnya dimulai.      Setelah pesanan roti bakarnya selesai, Yusuf akhirnya memutuskan untuk menghampiri kedua siswanya tersebut. Berniat untuk bergabung sebab semua meja sudah terisi penuh, Yusuf juga terlalu malas untuk kembali ke ruang guru. Karena jarak dari kantin menuju ke sana cukup jauh.      "Bapak boleh ikut duduk, nggak?" tegur Yusuf saat dirinya sudah tiba di meja tempat mereka duduk.      "Eh, b-boleh Pak, duduk aja," balas salah satu siswanya, Zahra. Yusuf tersenyum tanda ucapan terima kasih, ia lalu mulai memakan roti bakarnya.      "Zahra ... kamu kelas 12 IPA, kan, ya?" tanya Yusuf memastikan.      Zahra mendongak, memandang sekilas pada gurunya lalu mengangguk membenarkan. "Iya, Pak." Dalam hatinya, ia menyesalkan kenapa gurunya memilih untuk duduk di sini, satu meja dengannya, di hadapannya pula.      "Kamu ... siapa namanya? Saya belum tahu." Tunjuk Yusuf pada Santi yang duduk di samping Zahra.      Santi merengut, ia kira, gurunya mengingatnya. "Santi, Pak. Masa bapak nggak tahu, sih. Giliran sama Zahra aja inget banget, padahal kita selalu barengan, lho," keluhnya.       Yusuf terkekeh, "Saya kan emang belum kenal. Belum nanya secara langsung juga."      "Tapi sama Zahra kok hafal," kilah Santi.      Otomatis Zahra menghentikan suapan batagornya saat namanya disebut oleh Santi. Lalu menatap gadis itu dengan pandangan protes. Kenapa harus membawa dirinya?       "Kalau Zahra, sih, saya udah tahu dari lama. Nggak tahu kalau Zahranya sendiri gimana." Yusuf mengerling, menatap Zahra yang kini juga tengah melihat ke arahnya untuk beberapa saat, sebelum kemudian memalingkan wajahnya.       Santi menyikut Zahra. "Tuh, Ra, Pak Yusuf udah tahu kamu dari lama. Masa kamu nggak kenal sama sekali?"      Dengan tergagap, Zahra menjawab. "Ya ... nggak tahu. Udah lama banget, dulu bapak juga nggak pernah ngajak Zahra kenalan secara langsung." Ia melirik Yusuf.      "Ngarep diajak kenalan, nih, ceritanya," timpal Santi usil.       "Ih ... apaan," kilah Zahra. Pipinya memerah. Yusuf tertawa. Senang melihat reaksi Zahra.      "Iya juga, ya. Kenapa dulu saya nggak ngajak kamu kenalan secara langsung," Yusuf berujar.      "Tuh, kan, Bapak nyesel deh. Emang takdirnya kenalan sekarang, kali, Pak."      Yusuf mengangguk. "Kalau memang udah takdir, nggak bakalan kemana, kok. Mungkin takdirnya memang saat ini, di sini."      Zahra tertegun. Kenapa pula gurunya membicarakan takdir? Kenapa bahasannya jadi seperti ini?      Santi mengangguk atas jawaban gurunya, lalu kembali melahap batagornya. "Bapak kok makan di sini, sih?" tanyanya kemudian.      "Kenapa? Nggak boleh?"      "Nggak. Maksudnya, guru-guru kan selalu makan di ruangan. Jarang ada yang ikutan makan di kantin."      "Kemarin saya makan di sini, bareng kalian pula. Kamu suka perhatiin saya, ya?" goda Yusuf sambil tersenyum miring.      "Iiih ... nggak lah. Bapak geer banget, sih," elak Santi.      Yusuf terkekeh, begitu juga dengan Zahra. Gadis itu tertawa kecil sambil menutupi separuh wajahnya dengan telapak tangan. Seolah tidak ingin ada seorang pun yang dapat melihat wajahnya. Tanpa sadar, Yusuf memperhatikan gerak-gerik Zahra. Gadis itu tidak terlalu banyak tingkah seperti kebanyakan remaja lainnya. Zahra malah cenderung pendiam, apalagi jika berhadapan dengan lawan jenis. Begitu yang dapat disimpulkan Yusuf sesuai dengan yang selama ini ia lihat. Yusuf kembali mengalihkan pandangannya dari Zahra dan beristigfar.      "Zahra, kok diem aja?" sapa Yusuf pada Zahra. Sebab sejak tadi gadis berkhimar lebar itu tak terlalu banyak berbicara.      "Eh, nggak kok, Pak. Tadi saya ikut ngobrol."      "Kamu banyak diemnya." Yusuf terkekeh. "Emang begitu, ya, dari dulu?"      "Zahra emang gitu, Pak. Suka malu-malu kalau deket laki-laki, apalagi deket Bapak. Aslinya mah, beuh ... nggak bisa diem. Apalagi kalau sama saya, bawel banget," sahut Santi.      Zahra menyikut Santi, melayangkan tatapan protes pada sahabatnya. "Saya nggak gitu, kok, Pak. Santi emang suka ngaco kalau ngomong." Zahra tersenyum tipis pada Yusuf, menampilkan lesung pada pipi kirinya.      Yusuf mengangguk, obrolannya dengan Santi terus berlanjut. Setelah beberapa saat, Zahra akhirnya ikut bercengkrama meski tidak terlalu sering. Ia lebih banyak diam dan sesekali tertawa. Saat tidak sengaja Yusuf melempar pandang ke arahnya, Zahra selalu memalingkan pandangan ataupun menunduk. Tidak mau jika harus bersitatap secara langsung dengan gurunya.      "Bapak, kenapa masih single? Hehe, nggak papa kan nanya status?" Santi tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.      "Nggak, kok, santai aja kalau sama saya. Kenapa saya masih single? Soalnya, belum nemu aja jodohnya, nggak tahu masih sembunyi di mana." Yusuf menjawab, akan tetapi pandangannya justru tertuju pada Zahra. Namun, lagi-lagi gadis itu menunduk menolak tatapan dari Yusuf.      Santi mengangguk paham. Diam-diam, dia juga ikut memperhatikan gerak-gerik gurunya dan juga Zahra. Ia gemas melihatnya.      "Terus, kenapa nggak dicari kalau emang jodohya masih sembunyi?"      "Nih, saya juga lagi nyari. Lagi usaha. Semoga aja jodoh saya nggak lupa buat nyalain GPS-nya."      Santi tergelak, "Kalau jodohnya murid bapak sendiri gimana? Ini perumpamaan doang, ya."      "Beneran juga nggak papa, kok. Aamiin-in aja. Asyik malah dapet yang muda, hahaha."      Sontak Zahra dan Santi menggeleng mendengar jawaban dari gurunya. Benar-benar kocak. Tingkah laku sangat mencerminkan usia sebenarnya.      Obrolan terus bergulir. Lemparan pertanyaan dan sahutan jawaban berulang terus menerus. Di balik semua itu, ada sepasang mata yang menatap. Ada pula sepasang mata yang terus menunduk, menjaga pandangan, menjaga hati serta menjaga perasaan agar terhindar dari hal yang tidak seharusnya terjadi. Terakhir, ada sepasang mata yang ikut memperhatikan, menerka dengan penuh tanda tanya, apakah yang dipikirkan olehnya benar adanya. Hingga bel tanda masuk berbunyi nyaring, membubarkan perbincangan yang tercipta tanpa sengaja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN