"Ya ampun Santiii ... itu ciput kamu ke mana? Kok nggak dipake, sih?" Baru saja Zahra memasuki kelas, ia sudah heboh sendiri saat melihat Santi yang sedang bercermin tidak memakai ciputnya.
"Ih, Zahra apaan, sih, pagi-pagi udah berisik aja. Ciput aku tuh lagi dicuci, makanya nggak aku pake," alibi Santi, padahal itu hanya alasannya saja. Sebab ia selalu mengeluh sakit daun telinga apabila memakai ciput terlalu lama, namun Zahra selalu memaksa Santi untuk terus memakai ciputnya, setidaknya sampai jam pulang sekolah.
"Huh, alesan aja. Paling juga kamu nggak mau pake, telinganya pasti sakit lagi," cibir Zahra seraya meletakkan tasnya.
"Itu tahu." Santi nyengir pada sahabatnya. Zahra hanya mendengus.
Zahra memang paling bawel apabila menyangkut soal tutup menutup aurat. Jika ia melihat Santi tidak memakai ciputnya, baju lengannya tersingkap, kerudungnya terbawa angin sehingga rambutnya terlihat, pasti Zahra selalu sigap membenarkannya atau mengomelinya jika Santi tidak memakai ciput. Tidak hanya pada sahabatnya saja, tapi pada teman-temannya yang lain juga.
Pernah satu kali, ia dikritik oleh temannya yang risi karena Zahra selalu saja berkomentar tentang aurat mereka. Namun, Zahra membalasnya dengan senyum tipis. Ia hanya bermaksud untuk membantu temannya agar dapat menutup aurat dengan sempurna. Benar memang, niat tulus tidak selalu bersambut baik.
"Nanti kalau udah terbiasa juga nggak akan sakit, San, kayak aku nih, biasa aja tuh, malah nyaman pakainya," ujar Zahra mencoba merayu Santi untuk kembali memakai ciputnya.
"Itu sih kamu. Aku kan nggak terbiasa meski udah sering pakai juga. Lain kali aja, deh," tolak Santi.
Zahra menghela napas pelan. Ia juga tidak bisa memaksa Santi untuk mengikuti kehendaknya meskipun itu dalam hal kebaikan. Terkadang ia merasa heran, mengapa banyak orang selalu menganggap hal baik itu buruk, dan hal buruk itu baik. Terlebih lagi jika sudah bersangkutan dengan agama. Dunia memang benar-benar sudah terbalik.
"Hari ini olahraga apa, ya?" Setelah beberapa saat saling diam, Zahra akhirnya kembali bersuara.
Santi memandang sahabatnya sejenak, lalu menyahut, "Nggak tahu. Paling main bola voli."
Zahra mengangguk. Seperti biasa, ia akan mengeluarkan bekal makan siangnya dan memakannya sebelum bel masuk berbunyi. Hari ini, menu makan siangnya nasi tumpeng dan telur balado.
Pagi-pagi sekali Umi Nadia sudah berkutat dengan segala macam bumbu dapur untuk memasak panganan tersebut. Bukan tanpa alasan Umi Nadia tiba-tiba saja memasak nasi tumpeng saat pagi-pagi buta. Ini semua karena permintaan Abi Zaki. Semalam, ia mendadak ingin nasi tumpeng buatan istrinya. Jadi, daripada harus repot kembali memasak makan siang untuk Zahra, lebih baik ia membekali Zahra dengan nasi tumpeng dan telur balado buatannya.
"Ih, itu tumpeng buatan umi kamu, Ra?" Mendadak Santi bertanya sambil mendekatkan dirinya ke dekat kotak bekal milik Zahra.
"Iya," jawab Zahra setelah mencoba satu suap nasi beserta telur.
"Mau dong, hehe. Kangen nasi tumpeng buatan umi, deh." Tanpa persetujuan Zahra, Santi langsung menyuap nasi dan telur dalam porsi yang besar.
"Dasar," cibir Zahra pelan.
***
"Zahra, tolong simpan bola volinya di ruang olahraga," titah Pak Bimo, guru olahraga di sekolah Zahra.
Zahra mengangguk, kemudian membawa bola tersebut dibantu oleh satu temannya yang lain. Setelahnya, semua siswa 12 IPA 2 berhamburan karena jam olahraga telah berakhir. Ada yang pergi ke kantin, ada juga yang langsung mengganti baju olahraganya dengan seragam putih abu.
"San, kamu mau beli apa? Bawa bekel nggak?"
Sambil terus melangkah menuju kantin, Santi menyahut, "Aku mau jajan bakso aja, deh, aku nggak bawa bekel soalnya."
"Aku juga mau beli bakso. Nasi tumpeng tadi pagi udah habis."
"Ya iyalah, belum juga istirahat udah kamu makan lagi."
Zahra terkekeh ringan, "Habisnya lapar, sih."
Keduanya tiba di kantin dan langsung memesan dua mangkuk bakso. Sambil menunggu bakso disiapkan, keduanya kemudian duduk pada salah satu meja yang terdapat disana.
Cukup lama saat menunggu bakso pesanan mereka siap. Sebab, banyak sekali murid lainnya yang juga sedang mengantri membeli bakso.
"Akhirnya ... datang juga," seru Santi dengan nada yang terdengar sangat lega. Berhubung sejak tadi perutnya sudah berbunyi minta diisi.
"Alhamdulillah. Cacing di perut Santi udah nggak demo lagi," ujar Zahra kemudian terkekeh geli. Santi mendelik sesaat, lalu ia mulai melahap baksonya.
Beberapa menit berlalu, Zahra akhirnya membuka obrolan. "San, aku mau cerita soal Pak Yusuf," ujar Zahra pelan, takut ada orang lain yang dapat mendengar suaranya.
"Apa, tuh?" Santi mencondongkan tubuhnya ke arah Zahra, penasaran.
Zahra berdeham. "Jadi, waktu hari pertama beliau ngajar, tuh, kan aku disuruh ngambil buku ke perpustakaan. Waktu mau balik ke kelas, beliau manggil nama lengkap aku, dong."
"Kalian udah saling kenal emangnya?"
"Nggak sama sekali. Terus, beliau bilang, kalau mau tahu soal dia, tanya aja sama Rizki."
"Rizki kakak kamu, maksudnya?"
Zahra mengangguk. "Dan ... ternyata, Pak Yusuf itu teman SMA-nya Kak Rizki."
"Whaaat?" Santi memekik tertahan. Mulutnya terbuka lebar. "Beneran?" tanyanya memastikan.
"Iya, bener. Katanya, dulu emang suka main ke rumah. Mungkin beliau tahu aku dari lama, waktu aku masih kecil. Tapi aku nggak pernah tahu, habisnya teman kakakku yang suka ke rumah banyak banget."
Santi berdecak. "Gila, sih. Pak Yusuf manggil nama lengkap kamu, kan, Ra?"
"Iya."
"Kayaknya, dia suka, deh, sama kamu." Dengan yakin, Santi menyimpulkan pendapatnya.
"Ih ... kamu suka ngaco kalau ngomong. Mana ada—"
"Pasti ada! Udah ketahuan banget itu mah. Lagian, kalau bukan karena suka, ngapain coba dia sampai segitunya tahu nama lengkap kamu? Terus, ini udah bertahun-tahun sejak dia lulus SMA, dan dia masih inget sama kamu."
Zahra membuang napas, niatnya hanya bercerita tentang gurunya pada Santi, eh, sahabatnya justru menyimpulkan pendapat yang tidak-tidak. Tapi, kenapa teori yang dibuat Santi dapat diterima hati Zahra dengan mudahnya?
Eits, hati? Tidak. Zahra tidak mau melibatkan hatinya dalam persoalan ini. Masa, ia baper hanya karena perkara remeh-temeh? Gadis itu segera mengenyahkan segala teori dan kemungkinan yang berkecamuk di dalam kepalanya.
"Ck, kamu beruntung banget, Ra, Pak Yusuf bisa suka sama kamu. Udah masih muda, ganteng lagi. Apalagi, dia temannya kakak kamu, auto bisa ketemu tiap hari."
Zahra mencubit kecil tangan sahabatnya. "Kamu jangan ngomong aneh-aneh, ah. Suka apanya, coba. Mungkin aja dia emang tahu nama aku dari Kak Rizki, terus masih inget sampai sekarang."
"Ih ... kamu harus percaya sama aku, Ra. Dia pasti beneran su—eh, ada Pak Yusuf, Ra. Pak, assalamualaikum." Santi melambaikan tangannya sembari tersenyum.
Zahra terkesiap. Karena posisi duduknya berlawanan dengan Santi, lantas ia menoleh ke belakang, matanya bertemu pandang dengan Yusuf. Tanpa pikir panjang, Zahra lalu mengucapkan salam seperti apa yang dilakukan Santi.
"Assalamualaikum, Pak." Zahra berucap sambil menampilkan senyumnya.
"Waalaikumsalam." Yusuf menjawab salam kedua muridnya dan kemudian tersenyum tipis. "Habis olahraga?" tanyanya, berhubung kedua gadis itu masih mengenakan seragam olahraga.
"Iya, Pak," jawab Santi. "Eh, bapak kenal sama Kak Rizki, ya? Kakaknya Zahra."
Zahra memelototi sahabatnya. Ia menggeram, kesal. "Pak, jangan dengerin Santi. Dia ngomongnya emang suka ngaco."
Santi menjulurkan lidah pada Zahra. Yusuf terkekeh, tampaknya menyenangkan jika bergabung dengan kedua muridnya. Akhirnya, ia mengambil tempat diantara mereka berdua, di samping Zahra. Santi menahan senyum mati-matian. Sementara Zahra, ia menahan napas, memejamkan matanya sekilas, lalu mengembuskan napas. Kenapa jantungnya jadi menggila seperti ini?
"Iya, kenal. Emangnya kenapa?"
"Nggak, Pak. Tadi Zahra cerita sama saya, kalau Bapak itu kenal Kak Rizki. Malah, katanya bapak teman SMA-nya."
Yusuf menoleh pada Zahra. "Oh ... berarti kalian habis ngomongin bapak, ya?"
"Sedikit, kok, Pak, hehehe," Santi menjawab.
Hingga beberapa menit ke depan, Yusuf masih bertahan dengan kedua siswanya. Mereka mengobrol sembari menikmati kudapan masing-masing. Zahra merutuki Santi, sebab karenanya, Yusuf jadi duduk di sampingnya. Karenanya, Zahra jadi malu pada gurunya. Karenanya lagi, Zahra jadi lebih sering bungkam, Yusuf dan Santi yang dominan berbincang. Ia canggung, ia ... berdebar-debar?