Sabtu pagi, Zahra dan Santi menghabiskan waktu untuk berlari di taman kota. Keduanya memilih hari Sabtu karena ingin menghindari keramaian. Jadi mereka bisa leluasa berolahraga. Tempat itu banyak dipenuhi oleh orang-orang maupun pedagang saat hari Minggu, sehingga suasanya selalu penuh sesak.
Setelah putaran ke lima, kedua gadis itu menyudahi kegiatannya lalu duduk pada kursi di bawah pohon palem. Air mineral yang sengaja dibawa keduanya dari rumah kini hanya tersisa setengah. Mengitari lapangan yang berdiameter cukup luas benar-benar menguras tenaga mereka.
Zahra mengibaskan khimarnya sesekali, menghalau rasa panas yang menyergap. Meskipun masih jam delapan pagi, namun matahari sudah bersinar cukup terik. Membuat cuaca di sekitar menjadi panas. Santi pun juga melakukan hal yang sama, mengibaskan khimar yang dikenakannya sambil mengipasi wajahnya menggunakan kertas bekas bungkus gorengan yang tadi pagi sempat ia beli. Meski Santi rutin melakukan lari pagi, tapi tetap saja ia selalu memakan makanan yang banyak mengandung lemak serta berminyak.
"Habis ini mau jajan apa?" Santi membuka obrolan. Zahra menghentikan gerakannya yang semula mengibaskan khimar panjangnya. "Terserah kamu aja," jawabnya.
"Aku mau beli gurilem."
"Aku juga mau. Sepuluh biji, ya," sahut Zahra. Santi mengacungkan jempolnya tanda setuju. Ia lalu berjalan meninggalkan Zahra sendirian untuk membeli gurilem yang letak gerobak dagangannya tidak jauh dari tempatnya duduk.
Saat Santi tengah membeli gurilem, Zahra memilih untuk memainkan ponselnya. Ia lalu memotret sepasang kakinya yang dibalut sepatu olahraga berwarna biru muda, senada dengan jilbab yang dikenakan Zahra saat ini. Meski sedang berolahraga, Zahra tidak pernah lupa untuk memakai jilbab. Walau terkadang Santi menyarankan agar memakai celana biasa saja, namun Zahra tetap menolak. Ini kewajiban, katanya.
Nilai-nilai agama memang telah ditanamkan dalam diri Zahra sejak ia masih kecil. Baik itu Umi Nadia ataupun Abi Zaki, mereka tidak luput untuk memberi Zahra asupan ilmu agama. Terlebih lagi Umi Nadia, sebagai seorang ibu ia telah mendidik Zahra dengan tatanan syariat Islam. Bahkan saat memasuki usia empat tahun, Zahra sudah belajar memakai kerudung. Lalu saat ia baru memasuki jenjang sekolah dasar, Umi Nadia sudah mengenalkannya perihal kewajiban menutup aurat.
Beberapa menit berlalu, Zahra melihat Santi menghampirinya sambil menenteng kantong berwarna merah yang berisi gurilem. Rona wajahnya terlihat senang, ia berjalan sambil tersenyam-senyum sendiri. Zahra yang melihatnya hanya bisa mengernyit keheranan.
"Kenapa, sih?"
Santi duduk lalu membuka gurilem yang dibawanya, kemudian melahapnya dengan segera. Setelah kunyahan di mulutnya selesai, ia baru menjawab pertanyaan Zahra.
"Abang gurilemnya tadi ngasih bonus dua, hehehe."
Mulut Zahra sedikit terbuka saat mendengar alasan Santi. Benar-benar konyol, hal sekecil itu saja bisa membuat sahabatnya senang bukan main. "Dasar, aku kira kenapa senyum-senyum sendiri."
Santi terkekeh kecil. Keduanya lalu menikmati gurilem tersebut tanpa banyak bicara. Hingga Zahra menghabiskan gurilemnya, ia teringat akan sesuatu yang ingin disampaikannya pada Santi.
"Eh, San, ngomong-ngomong, sebentar lagi kakak aku bakalan nikah."
"Hah!?" Santi membulatkan kedua matanya tidak percaya. "Kok bisa, sih?" lanjutnya bertanya.
"Ya bisa, lah. Emangnya nggak boleh kalau kakak aku nikah?"
"Nggak dong. Kan jodohnya aku."
"Hih, ngarep."
Santi mengerucutkan bibirnya kesal. Ia memang menyukai Rizki yang notabene kakak dari sahabatnya sendiri. Akan tetapi, suka di sini bukan berarti Santi menginginkan Rizki. Namun, Santi menyukai Rizki karena ia merupakan kakak yang baik. Sebab Santi tidak mempunyai seorang kakak, terkadang ia selalu berkhayal jika Rizki juga kakaknya.
"Emang, kakak kamu udah ngelamar perempuan yang waktu itu taaruf sama dia?"
"Rencananya Minggu besok kita sekeluarga mau ke rumahnya dia. Mau khitbah sama lamaran gitu, deh."
"Terus, akad nikah sama walimahannya kapan?"
"Nggak tahu, lah. Orang khitbahnya juga baru mau besok. Kamu nih, gimana."
Santi terkekeh. Bicara soal menikah, ia jadi teringat soal gurunya yang sampai saat ini belum juga menikah. Siapa lagi kalau bukan Yusuf. Mengingat Yusuf, memori Santi terputar kembali saat dirinya dan Zahra mengobrol dengan guru lajang tersebut tempo hari.
"Eh, Ra, kamu inget nggak waktu hari Jumat kita ngobrol bertiga sama Pak Yusuf di kantin?"
Deg.
Kunyahan Zahra pada gurilemnya terhenti saat mendengar nama gurunya disebut. Bukan apa-apa, obrolan tempo hari memang begitu melekat di pikirannya. Saat sang guru selalu saja menatapnya, entah disengaja atau tidak. Juga dengan pembicaraannya yang menurut Zahra juga ambigu. Huft, Zahra sangat tidak terbiasa dengan hal itu.
"Inget, emang kenapa?"
"Itu lho, Ra, kamu ngeh nggak sih kalau Pak Yusuf tuh lihatin kamu terus?"
Zahra bahkan masih ingat hingga sekarang.
"I-iya ... kenapa emangnya? Sama kamu juga pasti ngeliatin kan? Nggak cuma sama aku aja."
Santi berdecak kemudian menggeleng. "Bukan itu, ish. Cara dia mandang kamu tuh beda gitu, Ra. Masa kamu nggak sadar, sih."
Lagi-lagi ingatan Zahra kembali pada jam istirahat Jumat lalu. Bukannya Zahra tidak sadar, ia bahkan juga merasa aneh. Itu sebabnya Zahra terus menunduk atau mengalihkan pandangan saat Pak Yusuf menatap matanya.
"Ya ... nggak tahu, deh, San. Buat apa juga dipikirin."
Santi menggeleng untuk ke sekian kalinya. "Nggak, Ra. Menurut aku, ya, Pak Yusuf itu suka sama kamu."
"Mana mungkin," kilah Zahra. Namun, tak ayal ia juga selalu terpikirkan akan hal tersebut. Tapi ia selalu menyangkal dan menepisnya. Tak mau tenggelam dalam penalaran yang belum tentu benar adanya.
"Beneran, Ra. Nggak mungkin kalau aku salah. Dilihat dari matanya aja udah ketebak kalau Pak Yusuf suka sama kamu. Terus, waktu aku nanya gimana kalau dia nikah sama muridnya sendiri, dia jawab nggak papa. Itu pasti kode, Ra, nggak salah lagi. Terus, pas jawab kayak gitu dia juga sambil liat ke arah kamu."
Penjelasan Santi semakin membuat Zahra waswas. Bagaimana jika itu semua benar? Zahra menggeleng kuat-kuat, mencoba menghilangkan anggapan tersebut dari kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa berpikiran kalau gurunya sendiri menyukainya. Konyol.
"Nggak mungkin, San."
***
Setelah turun dari angkot dan membayar, Zahra berdiri di samping jalan raya. Sesekali melihat ke arah kanan dan kiri untuk memastikan jika tidak ada kendaraan yang lewat saat ia akan menyebrang. Kompleks perumahan Zahra memang berada di dekat jalan raya. Jadi, Zahra harus menyebrang terlebih dahulu baru bisa berjalan memasuki kawasan perumahannya.
Saat tengah memastikan kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di jalanan lumayan sepi, Zahra tidak sengaja melihat sebuah motor matic berwarna hitam yang sama persis dengan milik gurunya.
Pak Yusuf? Batin Zahra menerka.
Namun saat motor itu kian mendekat, justru seorang bapak-bapak berumur yang mengendarai kuda besi tersebut. Segera Zahra beristigfar atas apa yang dilakukannya barusan. Mengingat seseorang yang bukan mahram tidaklah baik.
Astagfirullah, apaan sih, Zahra. Pake inget dia segala.